TOKOH PAUD LUAR NEGERI

TOKOH PAUD LUAR NEGERI

(DASAR PEMIKIRAN DAN IMPLEMENTASI PEMIKIRAN MEREKA TERHADAP BIDANG PENDIDIKAN ANAK)

 

[Tugas Mata Kuliah Pengantar PAUD] 

Disusun oleh Dwitirta Mayasari & Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)


BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.   LATAR BELAKANG

Saat ini semakin tinggi saja kesadaran bahwa anak adalah investasi besar dan generasi penerus bagi keluarga dan bangsa, sehingga melahirkan kesadaran lain bahwa pendidikan anak juga penting dalam menciptakan para generasi baru tersebut. Meskipun baru beberapa pihak/ orang saja yang menyadari pentingnya pendidikan anak dan kedudukan anak sebagai penerus masa depan.

Satu nama dari Indonesia yang dianggap paling peduli dengan hal tersebut adalah Ki Hajar Dewantara yang mencetuskan istilah tut wuri handayani yang hingga kini selalu terpatri dalam logo biru putih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sementara terdapat pula tokoh-tokoh dari luar negeri, yang ternyata tidak hanya berasal dari bidang pendidikan saja, seperti J.J. Rosseau yang cukup lama bersekolah di sekolah musik, atau Montessori yang sebenarnya adalah seorang dokter yang sibuk melayani para pasien. Meski begitu, kepedulian mereka terhadap anak dan pendidikan anak akhirnya menghasilkan gagasan tentang pendidikan anak yang setara dengan dasar pemikiran Pestalozzi, John Dewey, Froebel, Weikart, Malaguzzi, Jean Piaget, dan Lev Vygotsky yang semuanya lebih dulu terjun ke dalam dunia pendidikan.

Kenyataannya, sumbangan pemikiran para tokoh tersebut berhasl memberi pengaruh yang berarti terhadap penyelenggaraan PAUD di seluruh dunia, sebagai contoh terciptanya pembelajaran untuk anak usia dini menggunakan model High Scope, Bank Street, Sekolah Montessori dan lain-lainnya. Termasuk pula dengan penyelenggaraan PAUD di Indonesia yang menggunakan dasar pemikiran mereka sebagai inspirasi untuk diadopsi metode-metode yang sekiranya baik dan pantas untuk diberlakukan, karena tentu saja masih terdapat pengembangan aspek baru lainnya seperti pemanfaatan kearifan lokal dari masing-masing daerah.


 

B.   RUMUSAN MASALAH

1.     Siapa sajakah tokoh-tokoh PAUD luar negeri?

2.     Bagaimana dasar pemikiran para tokoh PAUD luar negeri tersebut?

3.     Bagaimana implementasi pemikiran para tokoh PAUD dari luar negeri di bidang pendidikan anak (PAUD)?

 

C.   TUJUAN PENULISAN

1.     Memahami para tokoh PAUD dari luar negeri.

2.     Memahami dasar pemikiran para tokoh PAUD dari luar negeri.

3.     Memahami implementasi pemikiran para tokoh PAUD dari luar negeri di bidang pendidikan anak (PAUD).


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Untuk memahami sejarah PAUD di kancah internasional, maka perlu pula memahami siapa saja para tokoh PAUD dari dalam maupun luar negeri. Seperti yang kita ketahui, Ki Hajar Dewantara adalah tokoh PAUD dari Indonesia yang terkenal dengan pendirian Taman Indria-nya, bahkan menjadi tokoh pendidikan di negara kita yang akan selalu diingat setiap tanggal 2 Mei setiap tahunnya. Adapun para tokoh PAUD yang berasal dari luar negeri yaitu sebagai berikut, yang akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan implementasi dasar pemikiran mereka terhadap bidang pendidikan anak (PAUD):

A.    Jean Jacques Rousseau (1712-1778)

Rousseau lahir di Ganeca, Swiss yang sebagian besar waktunya ia habiskan di Perancis. Rousseau pada awalnya adalah seorang musisi, meski ia tidak selesai menempuh pendidikan musik, ia sempat menjadi guru musik. Gagal dari dunia musik, ia pun belajar berbagai ilmu pengetahuan dan membaca karya-karya John Locke, Newton dan Fenelon. Berbagai pengalaman otodidak Rousseau melahirkan berbagai karya yang cukup mempengaruhi masyarakat dan pemerintah antara lain : The Sosial Contract (1762), Emile (1762), dan The Confession (1781-1788).

1.     Dasar Pemikiran J.J. Rousseau

Pandangannya tentang dunia anak pertama kali lahir sebagai responnya terhadap pemikiran Commenius yang menggagas pendidikan anak yang seolah tidak ada bedanya dengan pendidikan untuk orang dewasa. Kemudian Rousseau mendesak agar pendidikan anak diselenggarakan secara ilmiah dan cocok dengan dunia anak (Aswandi Sudjud, 1997). Pandangan Rousseau ini tentu sangat berbeda dengan Commenius.

Pandangan Rousseau tentang pendidikan anak yang paling terkenal adalah bahwa suatu pendidikan harus disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan individu setiap anak. Bahkan, ia menyatakan bahwa dorongan hati setiap anak tidak boleh dibatasi karena seorang anak lahir dengan sifat-sifatnya yang baik. Anak hanya akan memiliki sifat-sifat jahat jika ada pengaruh dari orang dewasa yang biasanya salah dalam membimbingnya, yaitu dengan disiplin keras dan contoh-contoh yang buruk. Rousseau juga mengatakan bahwa setiap manusia yang lahir tidak saja hanya memiliki naluri untuk menjaga diri, tetapi juga rasa simpati dan perasaan baik terhadap sesamanya serta sifat-sifat dermawan lainnya. Dalam hal ini, kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya semakin membuat jiwa anak rusak. Kesalahan orangtua termasuk guru yang paling besar adalah memperlakukan anak sebagai miniatur orang dewasa. Akibatnya, orangtua tidak menyadari bahwa anak perlu mengungkapkan isi hati, kegiatan dan kebebasan untuk membentuk kekuatan jasmani dan rohaninya pada masa-masa kanak-kanak itu sendiri. Hal terbaik yang harus dilakukan para orangtua dan guru adalah membiarkan anak mencapai minat dan kebutuhannya secara alamiah. Percaya akan alam—kata Rousseau, karena alam merupakan sumber dari segala kebaikan dan kebenaran. Peraturan mutlak dalam pendidikan anak adalah membebaskan mereka.

Untuk membantu anak untuk memahami dirinya sendiri, orangtua atau guru harus mengerti dan mengetahui keadaan fisik, sosial, intelektual, serta kebutuhan anak masing-masing. Rousseau lantas membagi masa hidup suatu individu menjadi lima periode atau tahap pertumbuhan dan perkembangan (Aswardi Sudjud, 1997). Adapun lima periode dalam dalam pandangan Rousseau tersebut adalah :

a)     Tahap perkembangan pertama masa kanak-kanak (0-5 tahun)

b)    Tahap perkembangan kedua (5-12 tahun)

c)     Tahap perkembangan ketiga (12-15 tahun)

d)    Tahap perkembangan keempat (15-20)

e)     Tahap perkembangan kelima (20 ke atas)

2.     Implementasi Pemikiran Rousseau dalam Pendidikan Anak

Rousseau menyarankan konsep kembali pada alam dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak. Baginya, pendekatan alamiah berarti anak akan berkembang secara optimal tanpa adanya manipulasi. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan penuh rasa bahagia, spontanitas dan penuh rasa ingin tahu. Oleh karena itu, untuk mengetahui kebutuhan alami anak, guru harus mempelajari ilmu yang berkaitan dengan ilmu tumbuh kembang anak-anak secara ilmiah. Tujuannya adalah agar guru dapat memberikan pelajaran yang sesuai minat anak. Jadi, yang menjadi titik pangkal adalah anak, bukan kehendak orangtua ataupun guru.Rouuseu memiliki keyakinan bahwa seorang ibu dapat menjamin pendidikan anaknya secara alamiah. Ia berprinsip bahwa dalam mendidik anak, orangtua perlu memberi kebebasan pada anak agar mereka dapat berkembang secara alamiah.

 

B.    Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)

Pestalozzi merupakan seorang ahli pendidikan dari Swiss. Pada tahun 1774, Pestalozzi menulis sebuah catatan terperinci tentang metode pengajaran dalam mendidik anaknya yang berumur 3 tahun sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang terdapat dalam karya Rousseau yang berjudul Emile. Kemudian pada tahun 1798, Pestaloozzi menjadi guru di biara Orde Ursuline di Stans. Programnya menitikberatkan pada pelajaran alam, darmawisata dan penghapalan yang digabungkan dengan kegiatan-kegiatan anak secara spontan, pelajaran tentang benda, dan pekerjaan tangan lainnya. Pestalozzi dan anak didiknya menghabiskan waktu sehari-hari dengan penelitian, penghapalan, bercakap-cakap, bekerja dan belajar dalam kelompok. Pestalozzi memperlakukan semua anak secara adil, terlepas dari status sosial. Semua anak diperhatikan, dihormati, dan dibantu untuk mengembangkan kemampuan atau bakat jasmani maupun rohani, keterampilan dan rasa cinta terhadap orang lain. Dikatakan pula oleh Pestalozzi, bahwa setiap anak ingin menyatakan pendapatnya secara bebas, melatih kemampuan jasmani maupun rohaninya, dan ingin belajar dari alam, teman-temannya, orangtuanya, guru dan pengalamannya.

1.     Dasar Pemikiran Pestalozzi

Menurut Pestalozzi ketika anak-anak di rumah, sosok ibu mampu membuat mereka patuh terhadap ucapannya, mencontoh tingkah lakunya dan belajar serta tumbuh dengan cara-cara yang dicontohkan itu pula. Atas dasar ini, Pestalozzi berkesimpulan bahwa ibu adalah guru yang baik bagi anaknya (Aswandi Sudjudm 1997).

2.     Implementasi Pemikiran Pestalozzi dalam Pendidikan Anak

Berbekal dari pengalamannya menjadi penulis lepas dari berbagai media dan guru pada biara Orde Ursuline di Stan, mengantarkan Pestalozzi menjadi tokoh besar dalam dunia pendidikan yang memiliki pengaruh cukup luas. Salah satu teori Pestalozzi yang terkenal adalah pandangannya tentang pembawaan anak. Ia berpandangan bahwa anak pada dasarnya memiliki pembawaan yang baik, pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada anak berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Di samping itu Pestalozzi berpandangan bahwa segala bentuk pendidikan adalah berdasarkan pada pengaruh pancaindera dan melalui pengalaman tersebut potensi-potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan. Selanjutnya, metode pengajaran Pestalozzi didasarkan pada pandangan umum tentang pengetahuan yang harus dimulai dari suatu pengertian, pengamatan, dan berhubungan dengan alam. Oleh karena itu, anak harus dibimbing oleh guru yang penuh perhatian terhadapnya. Pestalozzi mengajarkan bahwa pendidikan harus berdasarkan pada psikologi anak karena setiap anak membutuhkan bimbingan secara psikologis dalam memilih benda atau gejala alam yang akan mereka amati (Aswardi Sudjud, 1997).

Dengan demikian, pandangan Pestalozzi tentang pendidikan anak harus aktif untuk dapat menolong atau mendidik dirinya sendiri. Perkembangan anak berlangsung secara teratur dan maju secara bertahap. Hal ini berimplikasi pada pembelajaran yang harus maju secara teratur selangkah demi selangkah. Pestalozzi memandang bahwa keluarga merupakan cikal bakal pendidikan pertama sehingga ibu atau orangtua berfungsi sebagai guru pertama karena kasih sayang yang diperoleh anak dari lingkungan keluarga akan mengembangkan potensinya, khususnya potensi emosi. Dari uraian tersebut, nampak bahwa Pestalozzi menghendaki bentuk pendidikan yang harmonis dan seimbang antara jasmani, rohani, sosial, moral, dan agama.

C.    John Dewey (1859-1952)

Dewey adalah teoritikus pendidikan terkemuka abad ke-20 di seluruh Universitas Amerika. Ia dilahirkan pada 20 oktober 1859 di Burlington.  Pada tahun 1888-1889 dewey menjadi professor mata kuliah di filsafat di Universitas Minnesota.

1.     Dasar Pemikiran Dewey

Pemikiran Dewey tentang pendidikan pada umumnya, dan pendidikan anak pada khusunya tertuang dalam karya monumental yang berjudul “Democracy and Education”. Melalui karya tersebut, Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman secara konstan. Dewey mengatakan pendidikan adalah formasi akal pikiran. Adolph E.Meyer pun merangkum prinsip umum dalam pendidikan Dewey sebagai berikut (Adolph E. Mayer, 1949) :

a)     Pendidikan itu adalah hidup, bukan sekedar persiapan untuk hidup

b)    Pendidikan adalah perkembangan, karena selama perkembangan itu berlangsung, maka pendidikan juga terus berlangsung

c)     Pendidikan adalah rekonstruksi dari sekumpulan pengalaman suatu individu  secara terus-menerus

d)    Pendidikan adalah proses sosial, dan untuk merealisasikan hal itu sekolah harus berbentuk komunitas demokratis.

2.     Implementasi Pemikiran Dewey dalam Pendidikan Anak

Tori-teori pendidikan Dewey difokuskan pada sekolah sebagai children-centered dan menekankan kurikulum yang mengutamakan aktivitas (activity-centered curriculum). Program sekolah tercermin pada kebutuhan dan minat anak. Anak adalah peserta belajar yang aktif. Mereka memiliki gagasan untuk meneliti sesuatu dan melaksanakannya secara mandiri atas dorongan dan pengawasan guru (Ellis, 1986). Selanjutnya, Dewey menekankan sistem belajar melalui kegiatan dan pengajaran anak secara mendalam, sama seperti yang telah dianjurkan oleh Pestalozzi dan Froebel pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Teori-teori Dewey tersebut adalah, anak harus benar-benar tertarik pada kegiatan, pengalaman atau pekerjaan yang edukatif, anak harus menemukan dan memecahkan masalah sendiri dan anak harus mencoba cara terbaik untuk memecahkan sesuatu melalui penerapan dalam pengalaman, percobaan, atau kehidupan sehari-hari.

Dalam proses belajar, setiap anak harus memusatkan perhatian pada pemecahan masalah pokok, harus berpandangan luas dan menerima semua sumber informasi atau saran yang masuk akal, harus tetap tertarik pada suatu masalah dan mencari cara pemecahannya dan mau menerima segala akibat dari kesimpulan atau keputusan yang ia buat. Pendidikan harus dapat mengembangkan minat maupun kemampuan anak sehingga anak akan berperan serta dengan baik di sekolah atau masyarakat. Anak harus menggunakan bangunan, alat-alat permainan, pengamatan alam, pengungkapan diri (bukan hanya kepatuhan) dan hasil aktivitas sebagai cara belajar atau pengembangan dirinya.

3.     Model Pembelajaran Bank Street

Dewey bersama Lucy Sprague Mitchell bersama mengembangkan suatu model pembelajaran bernama Bank Street yang berprinsip pada perkembangan dan interaksi anak dengan lingkungan sosial dan fisik, yang kemudian disebut dengan pendekatan pengembangan interaksi. Adapun hal-hal dasar pendekatan pengembangan interaksi yaitu :

a)     Pertumbuhan fungsi kognitif tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan proses antarpribadi.

b)    Anak dipandang sebagai pembuat makna aktif, jadi sekolah harus memberikan kesempatan pada pemecahan masalah yang nyata.

c)     Terlibat secara aktif dengan lingkungan, agar anak tumbuh dengan membentuk cara dari sederhan menuju rumit dalam memahami dunia.

d)    Individu tidak pernah diam ditempat tapi bergerak dalam berbagai kemungkinan.

 

D.    Frendrich W. Froebel (1782-1852)

Merupakan bapak pendiri kindergarten atau Taman Kanak Kanak (Diana, 2012; Suyadi & Ulfah, 2017). Froebel mengagumi filsafat Pestalozi sehingga mengadopsi pemikiran bahwa pendidikan anak sebaiknya lebih menekankan keluarga—khususnya ibu, sebagai aktor utama. Namun dia juga sependapat dengan kecenderungan ultra-nasionalis dari filsuf Fichte tentang perlunya lembaga pendidikan anak di luar keluarga. Maka dengan menggabungkan kedua gagasan tersebut, Froebel kemudian mencetuskan suatu gagasan lembaga kindergarden (kindergarten) dengan kesengajaan memilih istilah “garten” yang nampak sepadan dengan istilah “garden” yang berarti taman daripada “school” (Formen, 2009).

1.     Dasar Pemikiran Froebel

Froebel mempercayai bahwa terdapat “kekuatan dalam” yang mampu mengatur alam, termasuk kehidupan anak. Perkembangan anak sejak masa primitif menuju kompleksnya ditunjukkan dengan aktivitas produktif atau justru evolusi perilaku. Froebel pun menemukan hukum alam bahwa perkembangan manusia selalu melalui tahap-tahap tertentu, yaitu : masa bayi, masa kanak-kanak kecil, masa kanak-kanak besar, masa muda, dan masa dewasa—tanpa dia perlu menyusun dulu batasan tahap atau usianya. Maka setiap perkembangan anak harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh di mana anak memiliki potensi yang harus dibina agar tidak hilang (Suyadi & Ulfah, 2017).

2.     Implementasi Pemikiran Froebel dalam Pendidikan Anak

Tujuan pendidikan menurut model Froebel adalah untuk agar mampu membangkitkan kesadaran anak akan “kebenaran ilahiah (divine truth), kebenaran Tuhan, atau barangkali Tuhan itu sendiri (Brewer, 2007 dalam Formen, 2009). Froebel adalah insan yang taat agama, sehingga teori pendidikannya didasarkan atas keyakinannya terhadap kesatuan alam (adanya hukum alam yang universal) dan Tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia sebagai bagian dari alam (Suyadi & Ulfah, 2017).

Sejalan dengan pemikiran tersebut, hakikat mendidik bagi Froebel adalah membangkitkan manusia sebagai makhluk sadar, yang berpikir, dan mampu mengerti sehingga mampu pula menerjemahkan hukum Tuhan di bumi (Diana, 2013).

Menurut batasan tersebut, pendidikan harus dimulai dari dalam diri anak dan tidak memaksakan dari luar ke dalam diri anak. bahwa fungsi utama pendidik adalah membangktikan otoaktivitas (sifat aktif atas dorongan diri) pada anak agar bersedia melakukan kegiatan belajar. Untuk itulah, pengembangan otoaktivitas menjadi prinsip utama dalam model pembelajaran Froebel. Prinsip kedua adalah kebebasan atau suasana merdeka. Otoaktivitas akan tumbuh dan berkembang jika anak diberikan kesempatan dalam suasana bebas agar mampu berkembang sesuai potensinya. Melalui suasana merdeka, anak akan memperoleh kesempatan mengembangkan daya fantasi untuk menciptakan sesuatu. Adapun prinsip ketiga Froebel selaras dengan dasar pemikiran Pestalozzi bahwa pengamatan dan peragaan dianggap penting untuk mengembangkan seluruh indera anak (Diana, 2013).

Dalam pendidikan Froebel juga dikembangkan dan ditanamkan tentang pengamatan yang menumbuhkan kecintaan anak terhadap lingkungan sekitar—seperti pada tumbuhan dan binatang, dengan prinsip bahwa pembelajaran harus terjadi pada suasana dengan 3F yaitu damai (friede), gembira (freude), dan merdeka (freheit) (Diana, 2013).

Adapun kurikulum pendidikan gagasan Froebel masih serupa dengan kurikulum masa lalu yaitu disusun atas dasar filsafat dan teologi agama (Barnes, 1908 dalam Formen, 2009). Untuk mencapai tujuan tersebut, Froebel menggunakan dua konsep mendasar, yaitu :

a)     Froebel menyuguhkan kepada anak mainan yang mencerminkan hubungan anak secara individual dengan dunia secara keseluruhan dan hubungan antara keagamaan dengan kesatuan.

b)    Froebel menyuguhkan serangkaian kegiatan yang akan dilakukan anak atau (okupasi/ occupation, yaitu pekerjaan/ kesibukan).

 

E.    Maria Montessori (1870-1952)

Bila Jerman mensejarahkan nama Froebel salah satu pendidik terbaiknya, Italia memilih nama Montessori, yang juga menyebut tempat pendidikan anak sebagai “Casa dei Bambini” atau Rumah Anak-Anak. Pemikiran Montessori tentang pendidikan anak tidak terlepas dari gagasan Rousseau dan Pestalozzi, yang menekankan pada lingkungan bebas dan penuh kasih agar potensi anak dapat berkembang optimal (Suyadi & Ulfah, 2017).

1.     Dasar Pemikiran Montessori

Anggapannya adalah bahwa pendidikan hanyalah bantuan pada saat anak berada dalam perkembangannya di mana mereka telah memiliki kodrat pribadi (pembawaan dan bakat) dalam tempo dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan yang lain (Diana, 2013). Oleh karena itu pusat kegiatan pendidikan bukanalah pada guru, bahan pengajaran atau metode pendidikan melainkan pada anak, dan lahirlah konsep pendidikan yang dikenal dengan nama pedosentris.

Adapun filosofi paling mendasar sebagai keyakinan Montessori tentang anak dan pendidikan anak tertuang ditegaskan dalam salah satu bukunya The Absorbent Mind (1949 : 2), sebagai berikut :

“[Setiap] anak diberkati dengn kekuatan yang misterius, dan kekuatan ini menuntun kita menuju masa depan yang cemerlang. Pendidikan tidak boleh lai menjadi semata-mata [kegiatan] memberikan pengetahuan; pendidikan harus mengambil jalan yang berbeda. Pertimbangan akan kepribadian, perkembangan potensi-potensi manusia haruslah menjadi pusat kendali pendidikan itu sendiri.”

2.     Implementasi Pemikiran Montessori dalam Pendidikan Anak

Metode Montessori bertumpu pada keyakinan bahwa anak berbeda dari orang dewasa saat berkembang dan berpikir, dan membuktikan tesis Aries bahwa anak bukanlah “miniature of adults” (Aries, 1973).

Berbeda dengan umumnya kurikulum pendidikan pada masanya dulu, Montessori justru memperjuangkan keyakinan tentang hak-hak anak untuk bebas mengarahkan selera mereka dengan tetap pada lingkungan belajar dalam praktik pembelajaran yang terstruktur. Adapun bidang kurikulum pembelajaran model Montessori, meliputi :

a)     Keterampilan dan kecakapan hidup sehari-hari (practical life), yang direpresentasikan melalui sejumlah media pembelajaran yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari dengan tujuan untuk melatih kemampuan keterampilan motorik halus dan kasar, misalnya menali sepatu atau mengancingkan sepatu.

b)    Keterampilan inderawi yang melatih koordinasi antara alat indera dan otak, seperti latihan mencium atau mendengarkan suara tertentu.

c)     Bahasa, matematika, geografi, sains, dan seni.

Menyesuaikan kurikulum tersebut, Montessori lantas mengharapkan guru agar berperan dalam memperkenalkan anak pada media-media pembelajaran tersebut dengan bersikap “hadir tetapi diam” (silent presence) di kelas. Dengan begitu, nilai-nilai dasar dalam pedagogi Montessori seperti yang dikemukakan Formen (2009) meliputi :

a)     Anak mampu untuk belajar mandiri, sehingga biarkan anak memilih sendiri bagaimana dan dengan apa mereka belajar.

b)    Guru sebagai pengamat, sebagai dasar bagi guru untuk menyediakan bahan-bahan pembelajaran baru dan “rute” lanjutan pembelajaran.

c)     Masa peka dalam perkembangan anak, sebagaimana anak (2 s.d 6 tahun) yang mempunyai kebutuhan atau dorongan spontan dalam jiwanya yang menghendaki pemuasan untuk berkembang.

d)    Absorbent mind sejak lahir hingga usia 6 tahun, yakni pikiran anak yang serupa spons penyerap air—dalam hal ini informasi.

e)     Anak adalah tuan dari kelas mereka, yang perlu dilayani secara baik dengan menyediakan dan mempersiapkan lingkungan belajar.

f)     Anak belajar melalui penemuan, karenanya media yang bersifat didaktik dan memiliki “kendali kesalahan” perlu digunakan.

g)    Anak-anak belajar secara mandiri pada saat mereka berada pada saat mereka situasi konsentrasi penuh.

h)    Tangan memiliki hubungan erat dengan otak, maka sebaiknya anak diberi kesempatan  untuk menyentuh beragam benda (alat main).

 

F.    David Weikart

Weikart adalah filsuf PAUD yang mengembangkan pendekatan high scope sebagai salah satu model pembelajaran untuk anak dengan komponen penting bahwa anak sebagai pembelajar aktif di mana anak menggunakan mayoritas waktunya di dalam variasi learning center. Pendekatan tersebut memiliki 5 unsur yang mendukung pembelajaran aktif anak yaitu : benda-benda yang dieksplor dan dimanipulasi oleh anak, pilihan anak, bahasa  anak, dan dukungan dari dan/atau oleh orang dewasa (Diana, 2013).

1.     Dasar Pemikiran Weikart

Anak dianggap memiliki potensi dan kemampuan mengembangkan pengetahuannya dengan melibatkan interaksi yang bermakna di antara dirinya dengan orang dewasa. Untuk itu, anak sebagai murid dalam pembelajaran high scope disebut sebagai a student centered approach for an active learner, bahwa semua anak merupakan pembelajar alami (natural learner) dan bahwa setiap anak memiliki kekhasan dalam memuaskan rasa ingin tahunya (Diana, 2013).

2.     Implementasi Pemikiran Waikart dalam Pendidikan Anak

Karena anak atau murid memiliki posisi sebagai pembelajar alami yang aktif, maka lingkungan belajar yang ada dituntut memungkinkan anak dapat mengekspresikan kehausannya akan ilmu. Pembelajarannya diharapkan merangsang agar anak berpikir analitis, memiliki jiwa kepemimpinan, memecahkan masalah, percaya diri, mengemukakan pendapatnya, dan pemahaman atas konsekuensi logis terhadap segala kejadian. Adapun penerapannya yaitu dengan menjadikan proses pendidikan sebagai hal yang penuh warna dan menyenangkan bagi anak didik dan bukan sebagai bekal pikulan (Diana, 2013).

 

G.   Loris Malaguzzi (1920-1994)

Bukan nama orang rupanya, sebab istilah Reggio Emilia yang sering kita dengar sebenarnya adalah sebuah kota makmur di perbukitan Italia utara yang kaya dalam budaya dan terkenal karena cuka vintage, keju Parmigiano, dan anggur Lambrusconya. Namun di kota yang mengagumkan itulah Malaguzzi melahirkan gagasan hebatnya hingga mendirikan sekolah Reggio Emilia yang berpendekatan Reggio, yang awalnya dikembangkan menjadi kota-perawatan anak dan program pendidikan yang melayani anak-anak di bawah enam tahun.

 

1.     Dasar Pemikiran Loris Malaguzzi

Malaguzzi menggagas melalui pendekatan Reggio-nya, memandang anak-anak sebagai pribadi yang kompeten, banyak akal, ingin tahu, penuh imajinasi, kreatif, dan memiliki keinginan untuk berinteraksi-komunikasi dengan orang lain. Untuk itu visi dari pendekatan Reggio Emilia adalah menjadikan anak sebagai pembelajar yang kompeten, yaitu didasarkan atas prinsip-prinsip berikut ini :

a)     Emergent kurikulum, yaitu kurikulum yang dibangun berdasarkan minat, kemampuan dan kebutuhan anak—selaras dengan prinsip DAP (Develompentally Appropriate Practice) misalnya saja dibahas dari pembicaraan anak-anak atau kejadian faktual yang terjadi di sekolah, masyarakat, bahkan lingkungan keluarga anak.

b)    Kerja proyek, di sini guru membantu anak membuat keputusan tentang arah penelitian, cara-cara grup akan riset topik, media representasi yang akan menunjukkan dan menampilkan topik dan pemilihan bahan yang dibutuhkan untuk mewakili pekerjaan.

c)     Kolaborasi, baik besar maupun kecil yang melibatkan keluarga dan masyarakat untuk bekerjasama mengembangkan program belajar.

2.     Implementasi Pemikiran Malaguzzi dalam Pendidikan Anak

Adapun inti kurikulum Reggio Emilia adalah perencanaan proyek sebagai hasil dari ketertarikan anak pada suatu hal, di mana proyeknya tumbuh dari pengalaman pertama oleh guru agar anak mengeksplorasi budaya atau lingkungan fisik di sekitar mereka atau hasil dari kejadian spontan seperti ide atau pertanyaan terhadap guru. Adapun aktivitas proyek yang dapat dilakukan tersebut, seperti (Diana, 2013) :

a)     Ide dapat muncul dari anak-anak dan/ atau kepentingan anak

b)    Ide dapat diprovokasi oleh guru

c)     Guru dapat mengenalkan pada anak untuk mengetahui apa yang menarik untuk dibahas atau menjadi bahan materi bagi anak

d)    Harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan

e)     Kegiatannya harus konkret dan jelas

 

H.   Jean Piaget (1896-1980)

Piaget berpikir bahwa tubuh fisik seorang individu memiliki struktur yang mampu beradaptasi dengan dunia, begitu pula dengan struktur mentalnya (Santrock, 2011). Penekanan lainnya bahwa anak secara aktif membangun dunia kognitif mereka sendiri; jadi informasi dari lingkungan tidak begitu saja dituangkan menuju pikiran mereka. Ia juga menemukan bagaimana anak, pada tahapan-tahapan yang berbeda dalam perkembangan mereka, memandang dunia dan bagaimana perubahan terjadi dalam pikiran mereka.

1.     Dasar Pemikiran Piaget

Teori Piaget memberikan kontribusi pada bidang perkembangan psikologi terutama kognitif anak sejak terbentuknya skema, dilanjut dengan munculnya kemampuan kognisi seperti adaptasi (asimilasi dan akomodasi), organisasi, penyeimbangan (ataupun ketidakseimbangan), permanensi obyek, semiotikasi, konservasi, klasifikasi, hingga berakhir pada pemikiran formal yang abstrak-idealis-logis; perihal pandangan bahwa anak sebagai pemikir aktif dan konstruktif. Penekanan Piaget juga begitu kuat bahwa anak pasti mengalami perkembangan kognitif dalam tahapan (perkiraannya) secara berurutan yang secara murni diperoleh dari kemampuan anak itu sendiri (Santrock, 2011).

2.     Implementasi Pemikiran Piaget dalam Pendidikan Anak

Berikut ini beberapa saran Piaget dalam mengembangkan kognisi anak bila diterapkan dalam proses pembelajasan (Santrock, 2011) :

a)     Gunakan pendekatan konstruktif, sebab anak-anak belajar dengan baik ketika aktif dan mencari solusi secara mandiri.

b)    Melakukan pembelajaran filsafatif, dan bukan pembelajaran langsung. Di mana guru yang efektif mendesain situasi-situasi yang membiarkan para siswanya dapat belajar sambil bertindak.

c)     Pertimbangkan pengetahuan dan tingkat pemikiran anak. Guru perlu menerjemahkan apapun yang dikatakan siswa dan merespon secara yang tidak terlampau jauh dari tingkat pemikiran mereka.

d)    Gunakan penilaian berkesinambungan, dengan metode apapun.

e)     Tingkatkan kesehatan intelektual siswa. Anak seharusnya tidak dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini dalam perkembangan mereka, sebelum mereka siap dan matang.

f)     Ubahlah ruang kelas menjadi ruang untuk eksplorasi dan penemuan. Guru mendorong interaksi antarsiswa selama pelajaran dan permainan berlangsung karena perbedaan sudut pandang siswa justru memberikan kontribusi terhadap kemajuan berpikir mereka.

 

I.      Lev Vygotsky (1896 - 1934)

Vygotsky menekankan bahwa anak secara aktif membangun pengetahuan dan pemahaman mereka. Dalam teorinya, anak-anak lebih sering digambarkan sebagai makhluk sosial yang mengembangkan cara berpikir dan pemahaman mereka, terutama melalui interaksi sosial (Gauvain, 2008; Gauvain dan Parke, 2010). Perkembangan kognitif anak-anak tersebut juga tergantung pada alat yang tersedia dalam masyarakat, dan pikiran mereka dibentuk oleh konteks budaya sekitar (Gredler, 2008; Holzman, 2009).

1.     Dasar Pemikiran Vygotsky

Vygostky menekankan dalam teori perkembangan kognitif anak bahwa anak memperoleh memiliki pemahaman tentang dunianya dalam area ZPD dan dibantu dengan scaffolding oleh pihak yang lebih terampil. ZPD dapat diartikan sebagai rangkaian tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai anak seorang diri namun dapat dipelajari dengan bantuan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih; sementara scaffolding dapat disamakan dengan perubahan tingkat dukungan dari orang yang lebih ahli guna memantapkan kemampuan anak (Santrock, 2011). Dia menggagas betapa pentingnya pengaruh sosial dan budaya dalam perkembangan anak melalui pendekatan konstruktivisme yang menekankan pada konteks sosial dalam pembelajaran dan konstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial (Mooney, 2006).

Satu hal penting lainnya yang dapat memantapkan kognisi anak bagi Vygotsky adalah pentingnya private speech (inner speech) atau ucapan dalam hati yang bermakna untuk pengaturan diri (self regulation) anak.  Karena anak menggunakan bahasa tipe tersebut untuk merencanakan, membimbing, dan memantau perilaku mereka sendiri.

2.     Implementasi Pemikiran Vygotsky dalam Pendidikan Anak

Jika dikaji seksama, baik Vygotsky rupanya memiliki persamaan dasar pemikiran dengan Piaget untuk diimplementasikan dalam pendidikan anak, yaitu memposisikan anak sebagai pusat proses pembelajaran, di mana guru menjadi fasilitator atau motivator atau pelayan bagi mereka. Adapun beberapa saran Vygostky lainnya adalah sebagai berikut :

a)     Nilailah ZPD anak dan gunakan dalam mengajar. Lantas penilaian sebaiknya difokuskan untuk menentukan ZPD anak sehingga guru lantas mengenalkan anak pada tugas-tugas yang bervariasi tingkat kesulitannya.

b)    Manfaatkan lebih banyak teman sebaya yang terampil sebagai guru sebab anak juga dapat memperoleh manfaat dari dukungan dan bimbingan anak-anak lain yang lebih terampil darinya.

c)     Awasi dan dorong anak agar memanfaatkan private/ inner speech, sekaligus melatih mereka untuk regulasi dan evaluasi diri sendiri.

d)    Tempatkan instruksi pada konteks yang bermakna. Para pendidik bisa memberi kesempatan pada anak untuk belajar dari materi yang abstrak. Maka tetap berpegang pada ZPD anak.  

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    SIMPULAN

1.     Bahwa penyelenggaraan PAUD di Indonesia ternyata dipengaruhi oleh para filsuf bidang pendidikan anak dari seluruh belahan dunia, dalam hal ini berarti : John Dewey, Rosseau, Pestalozzi, dan seterusnya.

2.     Penyelenggaraan PAUD yang dipengaruhi oleh para filsuf luar negeri tersebut akhirnya menghasilkan prinsip bahwa pembelajaran PAUD yang berpusat pada anak (children-centered learning) dan anak adalah pembelajar aktif; tentunya dengan menggunakan pengetahuan apapun yang berasal dari lingkungan di sekitar anak.

3.     Pendidikan setiap anak memang dimulai sejak dari lingkungan rumah/ keluarga, tetapi perlu pula mendapatkan stimulasi dari pendidikan di luar yaitu dari lembaga PAUD yang diharapkan mampu membantu, membimbing, dan mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak (moral dan agama, bahasa, kognitif, sosial emosi, dan fisik motorik).

 

B.    SARAN

1.     Supaya selaras dengan penyelenggaraan pendidikan anak dengan prinsip pembelajaran student centered (berpusat bagi anak)—seperti yang banyak diagungkan oleh para tokoh PAUD luar negeri yang telah dibahas sebelumnya, sebaiknya para pendidik atau guru senantiasa memposisikan dirinya cukup sebagai fasilitator atau motivator saja selagi anak menjadi pihak yang paling aktif untuk mengembangkan pengetahuan, minat, dan kemampuannya di kelas, tidak peduli pada model pembelajaran apapun yang diterapkan.

2.     Selain guru atau pendidik, sebaiknya orangtua (keluarga) dapat ikut serta berupaya menyediakan pendidikan bagi anak yang disesuaikan dengan karakteristik, minat, dan kebutuhan anak di rumah. Kalaupun merasa kesulitan, bolehlah gunakan saran dari sekolah atau pihak yang ahli; sebagai contoh parenting/ sosialisasi orangtua dari sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

 

Diana, Diana. (2013). Model-Model Pembelajaran Anak Usia Dini. Yogyakarta : Deepublish

Formen, Ali. (2009). Buku Ajar Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini. Semarang : Universitas Negeri Semarang

Santrock, John. W., (2011). Perkembangan Anak Jilid 1. New York : McGraw-Hill

Suyadi & Ulfah. (2012). Konsep Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANA PENDIDIKAN 20% DARI APBN & ABPD? BENARKAH?

AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN