AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN

MEMBENTUK ANAK USIA DINI YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN/ KEBUDAYAAN


[Mata Kuliah Filsafat Ilmu]

 Disusun oleh : Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)

PASCASARJANA PRODI PAUD UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG, 2018


 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.   LATAR BELAKANG

Pendidikan yang benar adalah yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik hingga seoptimal mungkin. Hal tersebut diungkapkan oleh BP3K Kemendiknas dengan catatan bahwa upaya pendidikan tidak boleh terlepas dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budaya sebab mereka didik hidup terikat dengan dan berada di sana. Maka benar jika Pidarta (2013) berpendapat bahwa pendidikan adalah upaya membudayakan manusia, di mana upaya tersebut harus mencakup segala hal yang bertalian dengan perkembangan manusia agar tumbuh dan berkembang menjadi insan yang semakin sempurna.

Pidarta (2013) juga melanjutkan bahwa pendidikan dapat berlangsung seumur hidup, bahkan sejak dalam kandungan atau ketika sudah menginjak usia lanjut. Manusia yang masih hidup sebaiknya terlibat dalam upaya pendidikan, apalagi bagi umat beragama Islam yang memang diwajibkan untuk mencari ilmu sebagai bekal hidup kehidupan dan agar ditinggikan derajatnya. Itulah kenapa pendidikan adalah kebutuhan penting bagi manusia usia dini atau anak-anak. Mereka yang belum lengkap dari segi fisik dan mentalnya perlu mendapatkan pendidikan yang baik sejak dini. Penulis pun setuju dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan menjadi lengkap apabila terjadi di dalam tiga lingkungan—tri pusat pendidikan—yaitu oleh keluarga di rumah yang didukung oleh pendidikan formal di sekolah (lembaga PAUD hingga jenjang seterusnya) (Suyadi & Ulfah, 2017 : 143). Prosesnya tidak boleh main-main, melainkan harus melayani anak dalam prinsip 3A (asah asih asuh) untuk mengembangkan potensi anak di seluruh aspek perkembangan (moral, agama, bahasa, kognitif, sosial emosi, dan fisik motorik).

Demi menjalankan tugasnya pada prinsip 3A, para pendidik wajib tahu bahwa hal tersebut sudah diatur dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pengertian tersebut melengkapi undang-undang sebelumnya yaitu UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan para peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau pelatihan bagi perananannya di masa mendatang.

Makna yang sama karena inti keduanya tersebut yaitu mengupayakan agar tercipta pendidikan berkualitas nasional seperti tertera dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab IV Pasal 3 bahwa pendidikan nasional harus mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Munib, dkk (2010 : 21) menyatakan bahwa penggalan kalimat terakhir dalam bunyi pasal tersebut menjadi deskripsi manusia Indonesia seutuhnya (MIS), yaitu manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis bertanggungjawab. Manusia tersebut adalah sosok manusia Indonesia ideal yang Pancasilais sehingga mampu menempatkan dimensi kemanusiaan (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religi) secara serasi, selaras, dan seimbang. Hingga kini harapan tersebut masih didambakan karena termasuk dalam rumusan kerangka besar pembangunan PAUD 2011-2025 dalam menciptakan AIH (Anak Indonesia Harapan) sebagai Kado 100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Di tahun penciptaan rumusan tersebut, Dirjen PAUD (2011) menyatakan bahwa Anak Indonesia Harapan adalah awal dari Manusia Indonesia Seutuhnya.

Ketika Indonesia bersiap dan mengharap tujuan pendidikan nasional sesuai UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, nyatanya masih terhambat oleh faktor dari luar. Adalah globalisasi, yang merupakan fenomena keren yang telah mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Indonesia, positif atau negatif. Sementara itu bentuk pendidikan yang diharapkan masyarakat yaitu yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia (Pidarta, 2013 : 154), namun globalisasi terkadang mengikis harapan tersebut.

Apabila pendapat Saddoen (2018) mengenai globalisasi yang disebabkan oleh semakin canggihnya bidang teknologi informasi, disambung pernyataan bahwa perkembangan teknologi terkini menyangkut semakin majunya media massa (juga ilmu pengetahuan) mampu mengendalikan perubahan aspek kehidupan manusia (Khamidun, 2012); memberi arti bahwa globalisasi teknologi informasi mampu berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Hal tersebut selaras dengan gagasan Ibrahim bahwa media teknologi informasi mampu memberikan pengaruh melalui kehadiran (presence) dan isi (content) (1997: 199). Sisanya adalah, masih perlu dicermati bagaimana pengaruh yang telah dihasilkan globalisasi tersebut terhadap kehidupan manusia, apakah pengaruh yang positif atau justru negatif.

Nazari, dkk (2012) telah meneliti tentang media massa dengan temuan bahwa media abad ini seperti radio, televisi, film, video games, dan jaringan komputer dianggap penting oleh manusia. Seberapa pentingnya terlihat dari dampaknya bagi kehidupan, keyakinan, dan perilaku. Dinyatakan pula bahwa paparan dari media tersebut menjadi isu terkini yang mempengaruhi aspek persepsi dan sikap perilaku manusia. Kekhawatiran mulai terlihat, karena mungkin saja justru dampak negatif dari media massa selagi globalisasi diharapkan dapat menguntungkan manusia.

Dikatakan globalisasi atau zaman informasi adalah karena informasi bisa hadir begitu cepat berkat alat canggihnya, dan semua itu berpangkal dari kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk itu, sekolah sejak jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi patut mengutamakan materi tentang ilmu dan teknologi, tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan lain agar semua ilmu pengetahuan diterima secara optimal oleh anak. Pendidik sebaiknya menantang diri agar pendidikan di sekolah tidak ketinggalan zaman, sehingga membantu anak berpacu dengan teman seperadaban dan tidak kalah dari anak bangsa lain. Tentu saja tanpa melupakan budaya bangsanya. Maka pendidik perlu meningkatkan profesionalismenya agar memiliki kualitas yang sejajar dengan para pendidik dari mancanegara.

Melihat kenyataan di lapangan, PAUD di Indonesia diselenggarakan dengan dasar pemikiran filsuf bidang pendidikan anak dari seluruh dunia. Sebut saja John Dewey, Rousseau, Pestalozzi, Froebel, Montessori, dan nama-nama lain. Meski begitu Indonesia memiliki sosok Ki Hajar Dewantara sebagai pencetus asas tut wuri handayani­. Pemikiran mereka dapat disarikan bahwa program PAUD harus berpusat pada anak (children-centered learning), yaitu anak menjadi pembelajar aktif; menggunakan pengetahuan apapun dari lingkungannya. Inilah yang saat ini begitu digencarkan meski sebelumnya Indonesia pernah menganut pendidikan yang pembelajarannya terus berpusat pada guru dan anaknya begitu pasif.

Harapan untuk mendapatkan kado ulang tahun pada tahun 2045 akan terwujud jika tujuan pendidikan nasional telah terwujud; yaitu pendidikan komprehensif di ranah afeksi, kognisi, dan psikomotorik yang dikembangkan berimbang, optimal, dan integratif. Maka PAUD sebaiknya diselenggarakan dengan prinsip tersebut. Namun sayangnya, masalah masih saja menghambat di sana-sini. Terlebih lagi ketika zaman sudah semakin dihiasi dengan isu-isu kehidupan, seperti isu etika atau kemajuan peradaban/ kebudayaan, dan lain sebagainya.

Pidarta (2013) pernah merumuskan masalah praktik pendidikan di Indonesia yang di antaranya adalah praktik pendidikan yang mayoritas hanya membimbing kognisi dan psikomotorik selagi afeksi hampir terabaikan. Masalah kedua yaitu Indonesia belum memiliki filsafat dan teori pendidikan yang khas sebab masih mengadopsi dari barat yang belum tentu serasi dengan Pancasila. Jika ditelusuri, masalah pertama disebabkan karena minimnya kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik/ personalia yang bertanggungjawab. Hambatan tersebut lantas berujung pada penyelenggaraan PAUD belum selaras dengan perkembangan anak, terlebih jika lingkungan belajarnya kurang mendukung. Untuk masalah kedua perlu proses panjang, yang alternatifnya disebutkan oleh Pidarta dengan membentuk karakter kepribadian peserta didik yang berasaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Lalu bagaimana cara untuk merealisasikan alternatif Pidarta (2013) dalam hal membentuk karakter kepribadian peserta didik yang Pancasila berasaskan Bhineka Tunggal Ika? Penulis akan mengkaji masalah tersebut dengan dasar bahwa peserta didik atau anak dapat dididik untuk hidup pada suatu era dengan tetap berpegang teguh pada filosofi bangsanya. Era saat ini adalah globalisasi dengan kemajuan di segala bidang termasuk peradaban dan kebudayaan, sehingga perlu pula mengajak anak dalam pendidikan multikultural yang menyadari nilai pentingnya keragaman budaya atau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) dengan beretika dan penuh toleransi. Adapun tujuan pendidikan berprinsip multikultural yaitu mampu melangsungkan proses pendidikan terus menerus bagi seorang individu manusia, tanpa mempedulikan bagaimana latar belakang dan budayanya.

 

B.    IDENTIFIKASI MASALAH

Akibat minimnya kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik/ personalia di jenjang PAUD, pembelajaran menjadi kurang optimal bagi anak. Di samping itu, masalah praktik PAUD juga masih disebabkan oleh perkembangan zaman, yaitu aspek-aspek kehidupan yang terus-menerus berubah, tidak peduli pada siapa saja yang mengalaminya, di mana tempatnya dan kapan, ataupun pada hal apa saja dan bagaimana perubahannya. Di antaranya aspek teknologi, etika, dan peradaban atau kebudayaan yang semakin maju yang terpilih menjadi yang paling berpengaruh.

Dengan judul “Membentuk Anak Usia Dini yang Beretika di Era Kemajuan Peradaban/ Kebudayaan, penulis akan mengaitkan etika anak usia dini di era saat peradaban atau kebudayaan sekitarnya menjadi semakin maju. Etika anak terikat dengan karakter dan kepribadiannya, sehingga penulis akan membahas tentang pendidikan karakter dan budaya bangsa yang sekarang semakin dikuatkan oleh pemerintah. Kemudian mengenai etika anak pada era penuh kemajuan peradaban/ kebudayaan, akan dibahas kaitannya dengan pendidikan multikultural.

 

C.    RUMUSAN MASALAH :

Rumusan masalah tersebut juga disusun dalam tiga kajian filsafat, yaitu secara ontologi (hakikatnya), epistemologi (kebenarannya), dan aksiologi (nilai).

1.     Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter dan budaya bangsa, dan  bagaimana pemerintah menenguatkan kebijakan pendidikan tersebut? Apa pula maksud dari pendidikan multikultural bagi anak usia dini?

2.     Bagaimana kebijakan pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta konsep pendidikan multikultural dapat membimbing anak usia dini agar mampu menghadapi isu-isu peradaban/ kebudayaan?

3.     Bagaimana nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta manfaat pendidikan multikultural bagi anak usia dini?

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethikos yang bermakna timbul dari kebiasaan. Etika anak berkembang tidak lepas dari perkembangan moral. Dalam dokumen Kurikulum 2013 PAUD, perkembangan moral digabung dengan aspek agama, sehingga keduanya meliputi : kemampuan mengenal agama yang dianut, mengerjakan ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengetahui hari besar agama, menghormati, dan toleran terhadap agama orang lain. Dasar tersebut penting diamalkan di PAUD sebagai upaya pendidikan dalam membangun Manusia Indonesia Seutuhnya.

Seperti pernyataan Khamidun (2012), bahwa anak dapat diajak agar mengenal kehidupan pribadinya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan menghargai perbedaan di lingkungan rumah, mengenalkan peran jenis kelamin dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran hak dan tanggung jawab. Tujuan akhirnya adalah keterampilan afeksi untuk merespon orang lain dan pengalaman barunya, serta memunculkan perbedaan di dalam kehidupan. Hal inti dalam pengembangan moral adalah pembentukan karakter, kepribadian, dan perkembangan sosial anak. Maka pendidik perlu menguasai strategi pengembangan emosional, sosial, moral dan agama bagi anak; serta perlu mengadakan penelitian tentang pengembangan dan inovasi di bidang PAUD. Adapun cara menanamkan moral anak disarankan secara ipsatif, persuasif, demokratis, keteladanan, informal, dan agamis. Apapun program kegiatannya, pendidik tidak boleh melupakan nilai-nilai moral agama untuk mengembangkan etika anak. Pendidik dapat merancang program sesuai pedoman Kurikulum 13 PAUD bahwa pengembangan nilai agama dan moral anak tertuang sebagai Kompetensi Inti (KI) 1 sikap spiritual dan KI 2 sikap sosial.

Bersama dengan sistem berpikir, nilai, norma dan keyakinan; moral dan etika berguna bagi manusia untuk menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, bahkan teknolog atau aspek kehidupan lainnya. Manusia adalah makhluk sosial penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; yang interaksi dengan sesama manusia dan alam; dia juga diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, hingga keyakinan yang dihasilkannya. Ketika hidup manusia berkembang seiring kemajuan peradaban dan kebudayaan, maka berkembang pula segala sistem yang telah diciptakannya.

Selanjutnya tentang kebudayaan yang dinyatakan Pidarta (2013) melingkupi seluruh cara hidup dan kehidupan hasil ciptaan manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Budaya menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dari lingkungan terdekat menuju lingkungan budaya nasional bangsa dan budaya universal. Lain dari kebudayaan, peradaban adalah kebudayaan yang sudah maju (Hassan, 1983). Pidarta membagi kebudayaan dalam 3 kelompok besar : kebudayaan umum atau kebudayaan Indonesia, kebudayaan daerah/ suku, dan kebudayaan populer dengan masa berlaku yang pendek dan muncul karena fenomena globalisasi.

Apabila anak asing dengan kebudayaan daerah, maka dia tidak mengenal baik budaya bangsa dan dirinya sendiri sebagai anggota. Mereka pun rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung menerima tanpa pertimbangan. Hal tersebut terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasional yang digunakan untuk melakukan pertimbangan. Untuk itu, ketiga kebudayaan tersebut pantas dikenalkan pada waktu dan tempat yang sesuai. Kebudayaan umum harus dikenalkan, selagi kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan kurikulum lokal, sedangkan jenis yang populer cukup dikenalkan dalam proporsi kecil.

 

1.    Kebijakan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Pendidikan Multikultural Bagi Anak Usia Dini

Mengkaji moral berarti membahas tingkah laku di mana tingkah laku bermoral adalah yang mengikuti norma masyarakat yang wajib sebagai hal baik, ideal dan didambakan masyarakat. Pemahaman individu terhadap moral berkembang secara bertahap. Teknik untuk menerapkan perilaku bermoral pada anak yaitu pada cara yang menyenangkan dan berarti agar direkam baik oleh anak. Khamidun (2012) menyebutkan beberapa metode berikut : belajar dengan mencoba ralat, pendidikan langsung, dan identifikasi—dengan pengembangan yang menghadirkan kebiasaan atas dasar nilai agama dan moral. Metode pembelajarannya harus sesuai dengan karakteristik anak, seperti : bercerita, karyawisata, bernyanyi, dan mengucapkan sajak dengan ketentuan masih bisa dikembangkan sesuai kreativitas pendidik.

 

1.     Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

BP3K Kemendiknas menjabarkan tentang persoalan budaya dan karakter bangsa, seperti: korupsi, tindak kekerasan, kejahatan seksual, perkelahian massa, perusakan, hidup konsumtif, dan politik kurang produktif. Mereka dapat diatasi melalui pendidikan sebagai upaya preventif (pencegahan) agar persoalan tersebut dapat berkurang atau sirna di kehidupan mendatang, yaitu jika generasinya utuh berkembang sebagai manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter bangsa. Pendidikan juga diharapkan dapat mengembangkan mutu generasi muda bangsa di berbagai aspek kehidupannya demi mengurangi penyebab masalah tersebut.

Untuk itulah terbit kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dokumennya diterbitkan oleh BP3K Kemendiknas dengan rincian berikut.

a.     Budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.

b.     Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang sebagai hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan dipakai sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

c.     Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik.

d.     Pendidikan budaya dan karakter bangsa, upaya yang sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, dan mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.

PAUD sebagai pelayanan pendidikan anak sebaiknya menyisipkan jenis pendidikan ini ke dalam kurikulum tanpa memisahkan anak dari masyarakat dan bangsanya. Lingkungan sosial, budaya, dan bangsa anak adalah Pancasila; maka pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi anak harus berasaskan sila-silanya. Pendidik boleh mengembangkan nilai Pancasila kepada anak melalui pendidikan hati, otak, dan fisik; melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan dengan metode yang efektif dalam usaha bersama oleh seluruh anggota lembaga pendidikan. Pendidik PAUD di seluruh Indonesia juga tidak perlu pusing untuk menentukan nilai-nilai mana saja dari Pancasila yang harus dikembangkan kepada anak karena pemerintah sudah memilih nilai agama, nilai Pancasila, nilai budaya, dan nilai tujuan pendidikan nasional sebagai pedoman. Maka tidak perlu enggan untuk menerapkan. Keempat nilai tersebut kemudian dispesifikkan lagi ke dalam 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa. Penjelasannya sebagai berikut.

a.     Nilai Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama

Karena kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaan, secara politis kehidupan kenegaraan juga didasari pada nilai-nilai agama. Maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah agama.

b.     Nilai Pancasila

NKRI tegak atas prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya. Nilai-nilai di dalamnya menjadi aturan kehidupan berpolitik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

c.     Nilai Budaya atau Nilai Kebudayaan

Benar bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat tanpa didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui di sana. Nilai-nilai itu menjadi dasar dalam memberi makna terhadap konsep dan arti dalam komunikasi di masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

d.     Nilai Tujuan Pendidikan Nasional

Adalah rumusan mutu yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan. Tujuan tersebut memuat berbagai nilai kemanusiaan milik bangsa Indonesia. Jadi, tujuan pendidikan nasional adalah sumber paling operasional dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 

NILAI

DESKRIPSI

1. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama  yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi

Sikap dan  tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif

Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari  sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis

Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/ Komuniktif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15.  Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggungjawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.


Dalam penerapannya, para pendidik PAUD boleh melibatkan partisipasi orangtua atau masyarakat. Pendidikan karakter dan budaya bangsa diintegrasikan ke dalam kurikulum melalui pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak, mungkin dengan metode bermain, bernyanyi, atau bercerita. Pengalaman anak perlu ditekankan, sehingga perlu dilakukan pembiasaan agar kedelapan belas nilai tersebut semakin tertanam dalam keseharian budaya dan karakter anak.

2.     Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Pemerintah terus berinovasi demi kemajuan bangsa agar tidak tergerus peradaban yang terus dinamis. Untuk itu, kebijakan baru pun dibuat pada tahun 2016 sehingga terjadi penguatan terhadap pendidikan karakter dan muncul istilah PPK atau Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam dokumen indografisnya, PPK berarti sebagai gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Maknanya terdengar serupa dengan pendapat Munib (2010: 27-28) bahwa pendidikan akan mengolah hati manusia (mendidik), mengolah otak (mengajar), dan mengolah lidah dan tangan (melatih) bagi manusia agar menjadi sosok yang beriman, cerdas, dan terampil.


Gerakan PPK merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental atau GNRM. Revolusi tersebut dilakukan melalui pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik yang disebut sebagai dimensi pengolahan karakter, yaitu :

§  Olah Hati (Etik), terhadap individu yang memiliki kerohanian mendalam, beriman dan bertakwa.

§  Olah Rasa (Estetis), terhadap individu yang memiliki integritas moral, rasa berkesenian dan berkebudayaan.

§  Olah Pikir (Literasi), terhadap individu yang memiliki variasi keunggulan akademis sebagai hasil pembelajaran dan pembelajar sepanjang hayat.

§  Olah Raga (Kinestetik), terhadap individu yang berfisik mental sehat serta mampu berpartisipasi aktif sebagai warga negara.


Untuk melaksanakan revolusi tersebut, lembaga dapat menkgembangkan proses pendidikan menggunakan lima nilai karakter utama dari PPK, yaitu :

§  Nilai religius sebagai cerminan iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebab seluruh peserta didik hakikatnya adalah makhluk religi yang diatur kehidupannya oleh zat di luar dirinya yaitu Tuhan.

§  Nilai nasionalis untuk bersedia/ mampu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

§  Nilai gotong royong yang mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, hal ini penting karena di setiap peserta didik nantinya akan hidup bermasyarakat dan berorganisasi di dalam lingkungan hidup yang lebih luas.

§  Nila integritas atau upaya menjadikan dirinya sebagai pribadi yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Hal tersebut menjadi indikator bahwa peserta didik adalah generasi sukses di kemudian hari dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai bangsa.

§  Nilai mandiri atau tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita.

Perlu ditegaskan bahwa yang terlibat di dalam PPK adalah seluruh komponen yang terlibat dalam situasi pendidikan, yaitu : siswa, guru , kepala sekolah sebagai inspirator, komite sekolah, keluarga, dan pemerintah. Porsi untuk siswa nampak di dalam tiga fokus utama PPK yaitu dalam struktur program, struktur kurikulum, dan struktur kegiatan. Struktur program difokuskan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan memanfaatkan ekosistem pendidikan di lingkungan sekolah serta penguatan kapasitas kepala sekolah, guru, orang tua, komite sekolah dan pihak lain yang relevan. Setelah itu tidak merubah kurikulum yang sudah ada melainkan optimalisasi kurikulum pada satuan pendidikan melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, dan nonkurikuler di sekolah. Sedangkan bermaksud mengajak masing-masing sekolah untuk menemukan ciri khasnya sehingga sekolah menjadi sangat kaya sekaligus unik, serta mewujudkan kegiatan pembentukan karakter empat dimensi pengolahan karakter yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara meliputi olah rasa, olah hati, olah pikir, dan olah raga.

Penerapan PPK oleh guru dilakukan dalam gerakan yang berbasis di dalam kelas, berbasis budaya sekolah, dan berbasis masyarakat. Gerakan di dalam kelas harus mengintegrasikan proses pembelajaran melalui isi kurikulum di dalam mata pelajaran (tematik, terintegrasi); memperkuat manajemen kelas, pilihan metode, dan evaluasi pengajaran; mengembangkan muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah. Gerakan budaya sekolah dilakukan melalui pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian sekolah; keteladanan orang dewasa di lingkungan pendidikan; dibantu ekosistem sekolah; kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler di ruang yang luas; memberdayakan manajemen sekolah; memperhatikan norma, aturan, dan tradisi di sekolah. Terakhir gerakan berbasis masyarakat berupa bantuan potensi lingkungan sebagai sumber pembelajaran seperti eksistensi dan dukungan pegiat seni budaya, tokoh masyarakat, dunia usaha dan dunia industri; sinergi PPK dengan berbagai program dalam lingkup akademisi, pegiat pendidikan dan LSM; sinkronisasinya melalui kerja sama dengan pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua siswa.

3.     Pendidikan Multikultural

Morrison menyatakan bahwa salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa adalah yang memiliki praktik pengajaran yang sesuai dengan perkembangan dan budaya. Praktik tersebut mencakup pemenuhan kebutuhan anak dan rasa sensitif terhadap latar belakang budaya dan etnis anak  (2012 : 6). Hal tersebut berlaku di PAUD, sebab anak usia dini datang ke lembaga ditemani keunikan, gender, budaya, status sosial-ekonomi, dan rasnya. Untuk itu, pendidik dituntut agar mampu merangkul anak, menghargai, dan menggabungkan multikulturalisme dalam praktik pengajarannya.

Petunjuk tentang pendidikan multikultural bagi anak usia dini, dikaji dari pemikiran Morrison (2012 : 6-7) bahwa setelah memahami potensi anak serta menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan anak, pendidik perlu menerapkan kurikulum yang anti bias. Kurikulum tersebut menjalankan program yang sesuai perkembangan dan budaya anak, disertai kegiatan dan materi yang mengatasi dan mengubah segala bentuk penyimpangan yang mengelompokkan anak berdasarkan gender, sosial-ekonomi, ras, budaya, keterbatasan, dan bahasa. Penulis simpulkan bahwa kurikulum tersebut memiliki prinsip toleransi dan anti diskriminasi.

Bagi Morrison, kurikulum anti bias memberi layanan yang lebih inklusif : (1) lebih mempertimbangkan keragaman budaya dengan menganggap gender dan perbedaan sebagai kemampuan fisik; (2) berdasarkan pada tugas perkembangan anak di saat membangun identitas dan perilaku; (3) secara langsung menangani dampak stereotip, bias, dan diskriminasi dalam perkembangan dan interaksi anak.

Tugas inti pengembangan identitas anak adalah mengembangkan identitas individual dan identitas budaya. Identitas individual berupa pembelajaran tentang diri sendiri—“Siapakah saya?” (di Indonesia dipetakan dalam tema diri sendiri). Sementara identitas budaya mencakup pembelajaran tentang budaya tempat anak berada sebagai anggotannya, bagaimana anak tersebut memahami budayanya, dan perannya di sana. Sudah dibahas sebelumnya bahwa budaya menyebabkan anak tumbuh dan berkembang; sejak budaya lingkungan terdekat menuju lingkungan luar yaitu budaya nasional dan universal yang dianut seluruh umat manusia.


Kembali pada kurikulum anti bias, berikut ini disajikan beberapa petunjuk dari Morrison (2012 : 8-9) mengenai penerapannya di kelas-kelas PAUD : 

a.     Evaluasi lingkungan kelas dan materi pengajaran.

b.     Susun rencana untuk merancang ulang kelas.

c.     Evaluasi kurikulum dan pendekatan- pendekatan tentang keragaman.

d.     Amati interaksi anak di saat bermain untuk memastikan jika semua anak terlayani dengan penuh toleransi dan tanpa diskriminasi.

e.     Evaluasi cara dalam berinteraksi dengan anak.

f.      Masukkan kegiatan belajar/ bermain yang anti bias.

g.     Bekerjasama dengan orangtua/ wali dalam penerapan kurikulum anti bias.

Dengan demikian, penulis sarikan bahwa kurikulum yang anti bias dengan konsep multikultural bagi PAUD Indonesia dapat diterapkan ke dalam program penanaman kuat dalam diri anak tentang identitas individual dan identitas budaya. Dalam pengembangan identitas individual, dapat menggunakan tema diri sendiri yang biasanya menjadi tema pembelajaran pertama yang dikembangkan di setiap lembaga PAUD. Tema tersebut mencakup pengenalan pada anak tentang panca indera atau tubuh (bagian, fungsi, dan cara merawat). Tentang identitas budaya, pendidik dapat mengenalkan kebudayaan daerah dan kebudayaan umum yang ada di Indonesia. Meski terdengar berat, dua hasil karya manusia tersebut tetap dapat dikenalkan pada anak berkat keahlian pendidik sebagai profesional. Beberapa cara boleh dipilih; metode bercerita (dongeng, ceramah), karyawisata atau kunjungan, bernyanyi, mengucapkan sajak, metode permainan (bermain), presentasi, metode kerja kelompok besar, bertanyajawab, metode proyek sederhana, penugasan, atau demonstrasi. Pendidik PAUD juga perlu kritis terhadap arus globalisasi (begitu pula seluruh pelaku pendidikan di lembaga) dan bekerjasama dengan orangtua/ keluarga, serta masyarakat demi tercapainya tujuan pendidikan multikultural.

 

2.    Bukti Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Konsep Pendidikan Multikultural Perlu Membimbing Anak Usia Dini dalam Menghadapi Isu-Isu Peradaban/ Kebudayaan

Sebuah artikel menyebutkan bahwa jumlah kasus korupsi di Indonesia terus meningkat. Data dari Mahkamah Agung (MA) menunjukkan bahwa sebanyak 803 kasus korupsi telah terjadi selama periode tahun 2014-2015 dan meningkat jauh dibanding tahun sebelumnya. Hasil riset dari Laboratorium dan Departemen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada menungkap 803 kasus tersebut menjerat 967 terdakwa korupsi. Sebuah pepatah mengiringi kondisi tersebut, “ilmu anpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Pasalnya, para koruptor tersebut adalah mereka yang pintar namun mimiliki moral sangat buruk. Satu hal lagi tentang perayaan kelulusan siswa SMA yang terkesan tidak berpendidikan dengan berhura-hura, mencorat-coret seragam, konvoi yang mengganggu arus lalu lintas, bahkan berujung pada aksi tawuran antar pelajar.

Fadhilatul (2017) menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan karakter tidak lepas dari teladan guru atau pendidik sebagai panutan anak. Sosok guru teladan tidak akan berhasil menjadi panutan, apabila mereka hanya menjadi pribadi baik hanya di lingkungan sekolah, namun tidak di lingkungan masyarakat. Hal tersebut selaras dengan tulisan Budi (2017) bahwa guru berperan penting dalam mendidik karakter siswa. Tulisannya berdasarkan sambutan Anas M. Adam selaku Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah di Seminar Nasional Pendidikan Dasar tahun 2017 bahwa selain mengajarkan materi pokok sesuai dengan bidang studi, guru seharusnya mengisi dengan karakter yang sesuai dengan tema pembelajaran, istilahnya terintegrasi dalam pembelajaran. Untuk itu, guru perlu berinovasi dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah sebagai hal yang sangat penting dan menentukan dalam upaya menumbuhkembangkan karakter diri siswa.

Maka benar saja jika penguatan pendidikan karakter dianggap sebagai gerbang memasuki pembenahan pendidikan nasional. Penguatan karakter adalah salah satu program prioritas Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam nawa cita pemerintah untuk merevolusi karakter bangsa. Pada tahun 2017, Presiden bahkan menarahkan agar pendidikan karakter pada jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi lebih besar dibandingkan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan. Untuk SD sebesar 70%, sedangkan di SMP sebesar 60%. Gerbang tersebut akan terbuka melalui penguatan tri pusat pendidikan sebab PPK mendorong sinergi tiga pusat pendidikan—sekolah, keluarga (orangtua), dan komunitas (masyarakat) agar dapat menyusun suatu ekosistem pendidikan. Selain itu, guru juga perlu mengembalikan jati diri guru. “Peran guru sangat penting dalam pendidikan dan ia harus menjadi sosok yang mencerahkan, yang membuka alam dan pikir serta jiwa, memupuk nilai-nilai kasih sayang, nilai-nilai keteladanan, nilai-nilai perilaku, nilai-nilai moralitas, nilai-nilai kebhinnekaan. Inilah sejatinya pendidikan karakter yang menjadi inti dari pendidikan yang sesungguhnya,” harap Sang Presiden.

Adapun salah satu realisasinya, kini, melalui perbaikan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008 menjadi PP No 19 Tahun 2017, Kemendikbud mendorong perubahan paradigma guru agar berperan sebagai pendidik profesional dalam hal mencerdaskan anak didik sekaligus dan membentuk karakter positif agar menjadi generasi emas Indonesia berkecakapan abad ke-21. Dari pasal 15 PP No 19 Tahun 2017, pemenuhan beban kerja guru dapat diperoleh dari ekuivalensi beban kerja tugas tambahan. Kegiatan lain di luar kelas berkaitan dengan pembelajaran juga dapat dikonversi ke jam tatap muka. “Guru tak perlu lagi mencari jam tambahan mengajar di luar sekolahnya untuk memenuhi beban kerja mengajar. Dia harus bertanggungjawab terhadap perkembangan siswanya.” kata Mendikbud.

 

3.    Manfaat Kebijakan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Praktik Pendidikan Multikultural bagi Anak Usia Dini

Pendidikan karakter menurut Khan (2010) adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dengan segala upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan peserta didik. Pendidikan tersebut berupa proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi pekerti dan nilai-nilai moral yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap peserta didik agar berkompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan. Sehingga pendekatan pendidikan karakter dilakukan langsung di pendidikan moral dengan memberi materi tentang pengetahuan moral dasar untuk mencegah peserta didik melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Sebenarnya pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, seimbang, dan sesuai standar kompetensi kelulusan. Sementara dalam dokumen pedomannya, pendidikan budaya dan karakter bangsa dikelompokkan menjadi tiga fungsi; (1) pengembangan (terhadap potensi peserta didik), (2) perbaikan (memperkuat kiprah pendidikan nasional), dan (3) penyaring (terhadap budaya bangsa/ budaya bangsa lain). Sementara tujuannya untuk :

a.     Mengembangkan potensi afektif dalam diri peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

b.     Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

c.     Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab bagi peserta didik.

d.     Mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.

e.     Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai suatu lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.

Setelah dikuatkan, pendidikan karakter dan budaya bangsa yang lebih singkat menjadi PPK dilakukan di satuan pendidikan dalam integrasi intrakurikuler (yang mempelajari mata pelajaran umum dalam kurikulum), kokurikuler (memperdalam kompetensi dasar kurikulum), dan ekstrakurikuler (asah bakat, minat, agama). Harapannya, PPK tersebut akan bermanfaat sebagai: (1) penguatan karakter dalam mempersiapkan daya saing siswa dengan kompetensi abad 21 (pikir kritis, kreatif, mampu berkomunikasi, dan kolaborasi); (2) pembelajaran terintegrasi di sekolah/ di luar sekolah dengan pengawasan guru; (3) revitalisasi peran kepala sekolah sebagai manajer dan guru sebagai inspirator PPK; (4) revitalisasi komite sekolah sebagai badan gotong royong sekolah dan partisipasi masyarakat; (5) penguatan peran keluarga melalui kebijakan pembelajaranlima hari; dan (6) kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga masyarakat, pegiat pendidikan dan kebudayaan, serta  sumber belajar lainnya.

Karena pendidikan karakter tidak lepas dari budaya siswa, maka diperlukan suatu pendekatan pendidikan yang mendukung. Pendidikan multikultural rasanya pantas untuk diselaraskan oleh guru yang menerapkan pendidikan karakter sebab siswa diajak untuk memahami perbedaan lalu menoleransinya. Suku, agama, ras, atau golongan tidak boleh menjadi penghalang integrasi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler; melainkan menjadi hal asing yang harus dikenali karena dapat dimanfaatkan sebagai sumber dan ekosistem pembelajaran. Berkat ragam perbedaan yang sudah ditoleransi tersebut, siswa akan semakin menyukuri karunia Tuhan, semakin mencintai tanah air, semakin antusias bergotong-royong, dan senantiasa menjadi sosok mandiri untuk hidup bersama dengan masyarakat.

 

 


 

BAB III

SIMPULAN & SARAN

 

A.   SIMPULAN

Arus globalisasi mendatangi kebudayaan seseorang atau masyarakat sehingga merubahnya menjadi kebudayaan semakin maju atau disebut dengan peradaban. Seluruh lapisan masyarakat sejak berusia dini hingga yang berusia lanjut dapat merasakan dahsyatnya, menerima efek positifnya, bahkan juga efek yang negatif. Pemerintah mati-matian mengupayakan kebijakan untuk menghadapi hal tersebut, di antaranya dengan cara menciptakan landasan pendidikan budaya dan karakter bangsa pada tahun 2010 yang dikuatkan menjadi PPK di tahun 2016. Prinsipnya yaitu pengembangan, perbaikan, dan penyaring agar generasi muda berkembang menjadi manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter bangsa.

Cara kedua adalah pendekatan pendidikan multikultural yang sifat inklusifnya semakin digencarkan di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk bagi layanan PAUD untuk anak usia dini. Pendekatan tersebut cukup selaras dengan kebijakan pendidikan budaya dan karakter. Dalam penerapannya, pendidik dapat didukung dengan menyelenggarakan kurikulum yang anti bias untuk menanamkan identitas individual dan identitas budaya dalam diri anak. Pengembangan identitas individual diterapkan pada ragam kegiatan pada tema diri sendiri (tematik di kelas PAUD). Sementara identitas budaya dapat dikenalkan mengenai budaya daerah dan budaya umum yang hidup Indonesia, dengan tetap kritis terhadap globalisasi.

 

B.   SARAN

Demi mencapai tujuan pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta tujuan pendidikan multikultural; pendidik profesional harus berinovasi kreatif dalam hal penyusunan dan penerapan kurikulum anti bias. Orangtua sebaiknya mendukung upaya pendidik dan lembaga PAUD yang menjalankan misi tersebut melalui anak mereka yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa yang beretika dalam menghadapi kebudayaan dan peradaban yang akan terus berkembang nantinya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. (tt.) 11 Metode Pembelajaran PAUD yang Wajib Guru PAUD Ketahui. Diakses dari www.karyatulisku.com

BP3K. (2010). Dokumen Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa. Jakarta: Kemendiknas

Dirjen PAUD dan Pembinaan Masyarakat. (2015). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 PAUD. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025. Jakarta : Kementerian Pendidikan Nasional

Fadhilatul, Vivi. (2017). Rapuhnya Pendidikan Karakter di Indonesia. Diakses dari www.kompasiana.com

Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Life Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia/ David Chaney. Yogyakarta : Percetakan Jalasutra

Kemdikbud. (2016). Indografis PPK. Diakses dari www.kemdikbud.go.id

Khamidun. (2012). Bahan Ajar Metode Pengembangan Moral dan Agama Anak Usia Dini. Semarang : Jurusan PG-PAUD FIP Unnes

Khamidun. (2012). Environmentally  Awareness  Behaviour  Increase  in  Early Childhood Using Story Telling Method. IJECES 1 (1) (2012). ISSN 2252-6374. Tersedia di : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijeces

Kurniasih, Budi. (2017) Guru Berperan Vital dalam Pendidikan Karakter Siswa. Diakses dari www.kompas.com

Morrison, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta : PT INDEKS

Munib, Achmad., dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/ MKDK-LP3 Unnes

Nazari, Mohammad Reza., et, al. (2012). TV exposure as a Risk Factor for Aggressive Behavior Among Primary School Students. Vol 65, No. 8

Penguatan Pendidikan Karakter Jadi Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional. (2017). Diakses dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/

Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta

Saddoen, Arifin. (2018). 9+ Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli/ Umum, Faktor Penyebab, Teori, Ciri, Dampak. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018 dari https://moondoggiesmusic.com/pengertian-globalisasi/amp/

Suyadi & Ulfah. (2017). Konsep Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANA PENDIDIKAN 20% DARI APBN & ABPD? BENARKAH?