AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN
MEMBENTUK ANAK USIA DINI YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN/ KEBUDAYAAN
[Mata Kuliah Filsafat Ilmu]
PASCASARJANA PRODI PAUD UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG, 2018
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pendidikan
yang benar adalah yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik hingga
seoptimal mungkin. Hal tersebut diungkapkan oleh BP3K Kemendiknas dengan
catatan bahwa upaya pendidikan tidak boleh terlepas dari lingkungan peserta
didik berada, terutama dari lingkungan budaya sebab mereka didik hidup terikat dengan dan berada di sana. Maka benar
jika Pidarta (2013) berpendapat bahwa pendidikan adalah upaya membudayakan
manusia, di mana upaya tersebut harus mencakup segala hal yang bertalian dengan
perkembangan manusia agar tumbuh dan berkembang menjadi insan yang semakin sempurna.
Pidarta
(2013) juga melanjutkan bahwa pendidikan dapat berlangsung seumur hidup, bahkan
sejak dalam kandungan atau ketika sudah menginjak usia lanjut. Manusia yang
masih hidup sebaiknya terlibat dalam upaya pendidikan, apalagi bagi umat beragama
Islam yang memang diwajibkan untuk mencari ilmu sebagai bekal hidup kehidupan
dan agar ditinggikan derajatnya. Itulah kenapa pendidikan adalah kebutuhan
penting bagi manusia usia dini atau anak-anak. Mereka yang belum lengkap dari
segi fisik dan mentalnya perlu mendapatkan pendidikan yang baik sejak dini.
Penulis pun setuju dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan menjadi
lengkap apabila terjadi di dalam tiga lingkungan—tri pusat pendidikan—yaitu
oleh keluarga di rumah yang didukung oleh pendidikan formal di sekolah (lembaga PAUD hingga jenjang seterusnya) (Suyadi &
Ulfah, 2017 : 143). Prosesnya tidak boleh main-main, melainkan harus melayani
anak dalam prinsip 3A (asah asih
asuh) untuk mengembangkan potensi anak di seluruh aspek perkembangan (moral,
agama, bahasa, kognitif, sosial emosi, dan fisik motorik).
Demi menjalankan tugasnya pada
prinsip 3A, para
pendidik wajib tahu bahwa hal tersebut sudah diatur dalam UUSPN Nomor 20 Tahun
2003 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pengertian tersebut melengkapi
undang-undang sebelumnya yaitu UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan para peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau pelatihan bagi perananannya di masa
mendatang.
Makna
yang sama karena inti keduanya tersebut yaitu mengupayakan agar tercipta pendidikan
berkualitas nasional seperti tertera dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab IV
Pasal 3 bahwa pendidikan nasional harus mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Munib,
dkk (2010 : 21) menyatakan bahwa penggalan kalimat terakhir dalam bunyi pasal
tersebut menjadi deskripsi manusia Indonesia seutuhnya (MIS), yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa pada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis bertanggungjawab. Manusia
tersebut adalah sosok manusia Indonesia ideal yang Pancasilais sehingga mampu
menempatkan dimensi kemanusiaan (sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk susila, dan makhluk religi) secara serasi, selaras, dan seimbang.
Hingga kini harapan tersebut masih didambakan karena termasuk dalam rumusan kerangka
besar pembangunan PAUD 2011-2025 dalam menciptakan AIH (Anak Indonesia Harapan)
sebagai Kado 100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Di tahun penciptaan
rumusan tersebut, Dirjen PAUD (2011) menyatakan bahwa Anak Indonesia Harapan
adalah awal dari Manusia Indonesia Seutuhnya.
Ketika
Indonesia bersiap dan mengharap tujuan pendidikan nasional sesuai UUSPN Nomor
20 Tahun 2003, nyatanya masih terhambat oleh faktor dari luar. Adalah
globalisasi, yang merupakan fenomena keren yang telah mampu memberi pengaruh
terhadap pendidikan di Indonesia, positif atau negatif. Sementara itu bentuk pendidikan
yang diharapkan masyarakat yaitu yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan
hidup dalam pergaulan manusia (Pidarta, 2013 : 154), namun globalisasi
terkadang mengikis harapan tersebut.
Apabila
pendapat Saddoen (2018) mengenai globalisasi yang disebabkan oleh semakin
canggihnya bidang teknologi informasi, disambung pernyataan bahwa perkembangan
teknologi terkini menyangkut semakin majunya media massa (juga ilmu
pengetahuan) mampu mengendalikan perubahan aspek kehidupan manusia (Khamidun,
2012); memberi arti bahwa globalisasi teknologi informasi mampu berpengaruh
terhadap kehidupan manusia. Hal tersebut selaras dengan gagasan Ibrahim bahwa
media teknologi informasi mampu memberikan pengaruh melalui kehadiran (presence) dan isi (content) (1997: 199). Sisanya adalah, masih perlu dicermati bagaimana
pengaruh yang telah dihasilkan globalisasi tersebut terhadap kehidupan manusia,
apakah pengaruh yang positif atau justru negatif.
Nazari,
dkk (2012) telah meneliti tentang media massa dengan temuan bahwa media abad
ini seperti radio, televisi, film, video
games, dan jaringan komputer dianggap penting oleh manusia. Seberapa
pentingnya terlihat dari dampaknya bagi kehidupan, keyakinan, dan perilaku.
Dinyatakan pula bahwa paparan dari media tersebut menjadi isu terkini yang
mempengaruhi aspek persepsi dan sikap perilaku manusia. Kekhawatiran mulai
terlihat, karena mungkin saja justru dampak negatif dari media massa selagi
globalisasi diharapkan dapat menguntungkan manusia.
Dikatakan
globalisasi atau zaman informasi adalah karena informasi bisa hadir begitu
cepat berkat alat canggihnya, dan semua itu berpangkal dari kemajuan ilmu dan
teknologi. Untuk itu, sekolah sejak jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD)
hingga perguruan tinggi patut mengutamakan materi tentang ilmu dan teknologi,
tanpa mengabaikan ilmu pengetahuan lain agar semua ilmu pengetahuan diterima
secara optimal oleh anak. Pendidik sebaiknya menantang diri agar pendidikan di
sekolah tidak ketinggalan zaman, sehingga membantu anak berpacu dengan teman
seperadaban dan tidak kalah dari anak bangsa lain. Tentu saja tanpa melupakan budaya
bangsanya. Maka pendidik perlu meningkatkan profesionalismenya agar memiliki
kualitas yang sejajar dengan para pendidik dari mancanegara.
Melihat kenyataan di lapangan,
PAUD di Indonesia diselenggarakan dengan dasar pemikiran filsuf bidang
pendidikan anak dari seluruh dunia. Sebut saja John Dewey, Rousseau,
Pestalozzi, Froebel, Montessori, dan nama-nama lain. Meski begitu Indonesia memiliki
sosok Ki Hajar Dewantara sebagai pencetus asas tut wuri handayani. Pemikiran mereka dapat disarikan bahwa program
PAUD harus berpusat pada anak (children-centered
learning), yaitu anak menjadi pembelajar aktif; menggunakan pengetahuan
apapun dari lingkungannya. Inilah yang saat ini begitu digencarkan meski
sebelumnya Indonesia pernah menganut pendidikan yang pembelajarannya terus berpusat
pada guru dan anaknya begitu pasif.
Harapan untuk mendapatkan kado
ulang tahun pada tahun 2045 akan terwujud jika tujuan pendidikan nasional telah
terwujud; yaitu pendidikan komprehensif di ranah afeksi, kognisi, dan
psikomotorik yang dikembangkan berimbang, optimal, dan integratif. Maka PAUD sebaiknya
diselenggarakan dengan prinsip tersebut. Namun sayangnya, masalah masih saja
menghambat di sana-sini. Terlebih lagi ketika zaman sudah semakin dihiasi
dengan isu-isu kehidupan, seperti isu etika atau kemajuan peradaban/
kebudayaan, dan lain sebagainya.
Pidarta (2013) pernah merumuskan
masalah praktik pendidikan di Indonesia yang di antaranya adalah praktik pendidikan
yang mayoritas hanya membimbing kognisi dan psikomotorik selagi afeksi hampir
terabaikan. Masalah kedua yaitu Indonesia belum memiliki filsafat dan teori
pendidikan yang khas sebab masih mengadopsi dari barat yang belum tentu serasi dengan
Pancasila. Jika ditelusuri, masalah pertama disebabkan karena minimnya kualifikasi
dan kompetensi tenaga pendidik/ personalia yang bertanggungjawab.
Hambatan tersebut lantas berujung pada penyelenggaraan PAUD belum selaras dengan perkembangan anak,
terlebih jika lingkungan belajarnya kurang mendukung. Untuk masalah kedua perlu
proses panjang, yang alternatifnya disebutkan oleh Pidarta dengan membentuk
karakter kepribadian peserta didik yang berasaskan Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika.
Lalu
bagaimana cara untuk merealisasikan alternatif Pidarta (2013) dalam hal
membentuk karakter kepribadian peserta didik yang Pancasila berasaskan Bhineka
Tunggal Ika? Penulis akan mengkaji masalah tersebut dengan dasar bahwa peserta
didik atau anak dapat dididik untuk hidup pada suatu era dengan tetap berpegang
teguh pada filosofi bangsanya. Era saat ini adalah globalisasi dengan kemajuan
di segala bidang termasuk peradaban dan kebudayaan, sehingga perlu pula
mengajak anak dalam pendidikan multikultural yang menyadari nilai pentingnya
keragaman budaya atau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) dengan
beretika dan penuh toleransi. Adapun tujuan pendidikan berprinsip multikultural
yaitu mampu melangsungkan proses pendidikan terus menerus bagi seorang individu
manusia, tanpa mempedulikan bagaimana latar belakang dan budayanya.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Akibat minimnya kualifikasi dan kompetensi
tenaga pendidik/ personalia di jenjang PAUD, pembelajaran menjadi kurang
optimal bagi anak. Di samping itu, masalah praktik PAUD juga masih disebabkan
oleh perkembangan zaman, yaitu aspek-aspek kehidupan yang terus-menerus
berubah, tidak peduli pada siapa saja yang mengalaminya, di mana tempatnya dan kapan,
ataupun pada hal apa saja dan bagaimana perubahannya. Di antaranya aspek
teknologi, etika, dan peradaban atau kebudayaan yang semakin maju yang terpilih
menjadi yang paling berpengaruh.
Dengan judul “Membentuk Anak Usia Dini yang Beretika di Era Kemajuan Peradaban/
Kebudayaan, penulis akan mengaitkan etika anak usia dini di era saat
peradaban atau kebudayaan sekitarnya menjadi semakin maju. Etika anak terikat
dengan karakter dan kepribadiannya, sehingga penulis akan membahas tentang
pendidikan karakter dan budaya bangsa yang sekarang semakin dikuatkan oleh
pemerintah. Kemudian mengenai etika anak pada era penuh kemajuan peradaban/
kebudayaan, akan dibahas kaitannya dengan pendidikan multikultural.
C.
RUMUSAN
MASALAH :
Rumusan masalah tersebut juga disusun dalam
tiga kajian filsafat, yaitu secara ontologi (hakikatnya), epistemologi (kebenarannya),
dan aksiologi (nilai).
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan karakter dan budaya bangsa, dan bagaimana pemerintah menenguatkan kebijakan
pendidikan tersebut? Apa pula maksud dari pendidikan multikultural bagi anak
usia dini?
2. Bagaimana
kebijakan pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta konsep pendidikan
multikultural dapat membimbing anak usia
dini agar mampu menghadapi isu-isu peradaban/ kebudayaan?
3. Bagaimana
nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta manfaat pendidikan
multikultural bagi anak usia dini?
BAB
II
PEMBAHASAN
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethikos yang bermakna timbul dari kebiasaan. Etika anak
berkembang tidak lepas dari perkembangan moral. Dalam dokumen Kurikulum 2013
PAUD, perkembangan moral digabung dengan aspek agama, sehingga keduanya
meliputi : kemampuan mengenal agama yang dianut, mengerjakan ibadah,
berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri
dan lingkungan, mengetahui hari besar agama, menghormati, dan toleran terhadap
agama orang lain. Dasar tersebut penting diamalkan di PAUD sebagai upaya
pendidikan dalam membangun Manusia Indonesia Seutuhnya.
Seperti pernyataan Khamidun (2012), bahwa anak dapat diajak agar
mengenal kehidupan pribadinya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan
menghargai perbedaan di lingkungan rumah, mengenalkan peran jenis kelamin
dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran hak dan tanggung jawab. Tujuan
akhirnya adalah keterampilan afeksi untuk merespon orang lain dan pengalaman barunya,
serta memunculkan perbedaan di dalam kehidupan. Hal inti dalam pengembangan
moral adalah pembentukan karakter, kepribadian, dan perkembangan sosial anak. Maka
pendidik perlu menguasai strategi pengembangan emosional,
sosial, moral dan agama bagi anak; serta perlu mengadakan penelitian tentang
pengembangan dan inovasi di bidang PAUD. Adapun cara menanamkan moral anak disarankan secara ipsatif, persuasif,
demokratis, keteladanan, informal, dan agamis. Apapun program kegiatannya,
pendidik tidak boleh melupakan nilai-nilai moral agama untuk mengembangkan
etika anak. Pendidik dapat merancang program sesuai
pedoman Kurikulum 13 PAUD bahwa pengembangan nilai agama dan moral anak tertuang sebagai Kompetensi
Inti (KI) 1 sikap spiritual dan KI 2 sikap sosial.
Bersama
dengan sistem berpikir, nilai, norma dan keyakinan; moral dan etika berguna bagi manusia untuk menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem
pengetahuan, bahkan teknolog atau aspek kehidupan lainnya. Manusia adalah makhluk sosial penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan; yang interaksi dengan sesama
manusia dan alam; dia
juga diatur
oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, hingga keyakinan yang dihasilkannya. Ketika hidup manusia berkembang seiring kemajuan peradaban dan kebudayaan, maka berkembang pula segala sistem yang telah diciptakannya.
Selanjutnya tentang kebudayaan yang
dinyatakan Pidarta (2013) melingkupi seluruh cara hidup dan kehidupan hasil ciptaan
manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Budaya menyebabkan anak tumbuh dan berkembang
dari lingkungan terdekat menuju lingkungan budaya nasional bangsa dan budaya
universal. Lain dari kebudayaan, peradaban
adalah kebudayaan yang sudah maju (Hassan, 1983). Pidarta membagi kebudayaan
dalam 3 kelompok besar : kebudayaan umum atau kebudayaan Indonesia, kebudayaan
daerah/ suku, dan kebudayaan populer dengan masa berlaku yang pendek dan muncul
karena fenomena globalisasi.
Apabila anak asing dengan kebudayaan
daerah, maka dia tidak mengenal baik budaya bangsa dan dirinya sendiri sebagai
anggota. Mereka pun
rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung menerima tanpa
pertimbangan. Hal tersebut terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai
budaya nasional yang digunakan untuk melakukan pertimbangan. Untuk
itu, ketiga kebudayaan tersebut pantas dikenalkan pada waktu dan tempat yang
sesuai. Kebudayaan umum harus dikenalkan, selagi kebudayaan daerah dapat
dikaitkan dengan kurikulum lokal, sedangkan jenis yang populer cukup dikenalkan
dalam proporsi kecil.
1.
Kebijakan
Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Pendidikan Multikultural Bagi Anak
Usia Dini
Mengkaji moral berarti membahas tingkah laku di mana tingkah laku
bermoral adalah yang mengikuti norma masyarakat yang wajib sebagai hal baik,
ideal dan didambakan masyarakat. Pemahaman individu terhadap moral berkembang
secara bertahap. Teknik untuk menerapkan perilaku bermoral pada anak yaitu pada
cara yang menyenangkan dan berarti agar direkam baik oleh anak. Khamidun (2012) menyebutkan beberapa metode berikut :
belajar dengan mencoba ralat, pendidikan langsung, dan
identifikasi—dengan pengembangan yang menghadirkan kebiasaan atas dasar
nilai agama dan moral. Metode pembelajarannya harus sesuai dengan karakteristik
anak, seperti : bercerita, karyawisata, bernyanyi, dan mengucapkan sajak dengan
ketentuan masih bisa dikembangkan sesuai kreativitas pendidik.
1. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
BP3K
Kemendiknas menjabarkan tentang persoalan budaya dan karakter bangsa, seperti:
korupsi, tindak kekerasan, kejahatan seksual, perkelahian massa, perusakan, hidup
konsumtif, dan politik kurang produktif. Mereka dapat diatasi melalui
pendidikan sebagai upaya preventif (pencegahan) agar persoalan tersebut dapat
berkurang atau sirna di kehidupan mendatang, yaitu jika generasinya utuh
berkembang sebagai manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter bangsa.
Pendidikan juga diharapkan dapat mengembangkan mutu generasi muda bangsa di berbagai
aspek kehidupannya demi mengurangi penyebab masalah tersebut.
Untuk
itulah terbit kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dokumennya
diterbitkan oleh BP3K Kemendiknas dengan rincian berikut.
a. Budaya adalah
keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief)
manusia yang dihasilkan masyarakat.
b. Karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang sebagai hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan dipakai sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak.
c. Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dengan
tujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik.
d. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa, upaya yang sadar dan
sistematis untuk mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat,
mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, dan mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
PAUD
sebagai pelayanan pendidikan anak sebaiknya menyisipkan jenis pendidikan ini ke
dalam kurikulum tanpa memisahkan anak dari masyarakat dan bangsanya. Lingkungan
sosial, budaya, dan bangsa anak adalah Pancasila; maka pendidikan budaya dan
karakter bangsa bagi anak harus berasaskan sila-silanya. Pendidik boleh
mengembangkan nilai Pancasila kepada anak melalui pendidikan hati, otak, dan
fisik; melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan dengan metode
yang efektif dalam usaha bersama oleh seluruh anggota lembaga pendidikan. Pendidik
PAUD di seluruh Indonesia juga tidak perlu pusing untuk menentukan nilai-nilai mana
saja dari Pancasila yang harus dikembangkan kepada anak karena pemerintah sudah
memilih nilai agama, nilai Pancasila, nilai budaya, dan nilai tujuan pendidikan
nasional sebagai pedoman. Maka tidak perlu enggan untuk menerapkan. Keempat
nilai tersebut kemudian dispesifikkan lagi ke dalam 18 nilai pendidikan budaya
dan karakter bangsa. Penjelasannya sebagai berikut.
a. Nilai Agama: masyarakat Indonesia
adalah masyarakat beragama
Karena kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada
ajaran agama dan kepercayaan, secara politis kehidupan kenegaraan juga didasari pada nilai-nilai agama. Maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah agama.
b. Nilai Pancasila
NKRI tegak atas prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan
dalam pasal-pasalnya. Nilai-nilai di dalamnya menjadi aturan kehidupan berpolitik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya,
dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki
kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya
sebagai warga negara.
c. Nilai Budaya atau Nilai Kebudayaan
Benar bahwa tidak ada manusia
yang hidup bermasyarakat tanpa didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui di sana. Nilai-nilai itu menjadi dasar dalam memberi makna terhadap konsep dan arti dalam komunikasi di masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting
dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
d. Nilai Tujuan Pendidikan
Nasional
Adalah rumusan mutu yang harus dimiliki setiap warga negara
Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan. Tujuan tersebut memuat berbagai nilai
kemanusiaan milik bangsa Indonesia. Jadi, tujuan pendidikan nasional adalah sumber paling
operasional dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
NILAI |
DESKRIPSI |
1. Religius |
Sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain. |
2. Jujur |
Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. |
3. Toleransi |
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya. |
4. Disiplin |
Tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. |
5. Kerja Keras |
Perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. |
6. Kreatif |
Berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. |
7. Mandiri |
Sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. |
8. Demokratis |
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. |
9. Rasa Ingin Tahu |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. |
10.
Semangat Kebangsaan |
Cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya. |
11. Cinta Tanah Air |
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa. |
12. Menghargai
Prestasi |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. |
13. Bersahabat/ Komuniktif |
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. |
14. Cinta Damai |
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. |
15. Gemar Membaca |
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya. |
16. Peduli
Lingkungan |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi. |
17. Peduli Sosial |
Sikap dan tindakan
yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan. |
18. Tanggungjawab |
Sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. |
Dalam penerapannya,
para pendidik PAUD boleh melibatkan partisipasi orangtua atau masyarakat.
Pendidikan karakter dan budaya bangsa diintegrasikan ke dalam kurikulum melalui
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak, mungkin dengan metode
bermain, bernyanyi, atau bercerita. Pengalaman anak perlu ditekankan, sehingga
perlu dilakukan pembiasaan agar kedelapan belas nilai tersebut semakin tertanam
dalam keseharian budaya dan karakter anak.
2. Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK)
Pemerintah terus berinovasi demi kemajuan bangsa agar tidak
tergerus peradaban yang terus dinamis. Untuk itu, kebijakan baru pun dibuat
pada tahun 2016 sehingga terjadi penguatan terhadap pendidikan karakter dan
muncul istilah PPK atau Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam dokumen
indografisnya, PPK berarti sebagai gerakan pendidikan di sekolah untuk
memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa
(estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan
pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Maknanya terdengar serupa dengan pendapat Munib (2010: 27-28) bahwa pendidikan akan
mengolah hati manusia (mendidik), mengolah otak (mengajar), dan mengolah lidah
dan tangan (melatih) bagi manusia agar menjadi sosok yang beriman, cerdas, dan
terampil.
Gerakan
PPK merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental atau GNRM. Revolusi
tersebut dilakukan melalui pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik
yang disebut sebagai dimensi pengolahan karakter, yaitu :
§ Olah Hati (Etik), terhadap individu yang
memiliki kerohanian mendalam, beriman dan bertakwa.
§ Olah Rasa (Estetis), terhadap individu yang
memiliki integritas moral, rasa berkesenian dan berkebudayaan.
§ Olah Pikir (Literasi), terhadap individu yang
memiliki variasi keunggulan akademis sebagai hasil pembelajaran dan pembelajar
sepanjang hayat.
§ Olah Raga (Kinestetik), terhadap individu yang
berfisik mental sehat serta mampu berpartisipasi aktif sebagai warga negara.
Untuk melaksanakan
revolusi tersebut, lembaga dapat menkgembangkan proses pendidikan menggunakan
lima nilai karakter utama dari PPK, yaitu :
§
Nilai religius sebagai cerminan iman terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Sebab seluruh peserta didik hakikatnya adalah makhluk
religi yang diatur kehidupannya oleh zat di luar dirinya yaitu Tuhan.
§
Nilai nasionalis untuk bersedia/ mampu
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
§
Nilai gotong royong yang mencerminkan tindakan
menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama,
hal ini penting karena di setiap peserta didik nantinya akan hidup
bermasyarakat dan berorganisasi di dalam lingkungan hidup yang lebih luas.
§
Nila integritas atau upaya menjadikan dirinya
sebagai pribadi yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan. Hal tersebut menjadi indikator bahwa peserta didik adalah generasi
sukses di kemudian hari dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai bangsa.
§
Nilai mandiri atau tidak bergantung pada orang
lain dan mempergunakan tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi
dan cita-cita.
Perlu ditegaskan bahwa
yang terlibat di dalam PPK adalah seluruh komponen yang terlibat dalam situasi
pendidikan, yaitu : siswa, guru , kepala sekolah sebagai inspirator, komite
sekolah, keluarga, dan pemerintah. Porsi untuk siswa nampak di dalam tiga fokus
utama PPK yaitu dalam struktur program, struktur kurikulum, dan struktur
kegiatan. Struktur program difokuskan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dengan memanfaatkan ekosistem pendidikan di lingkungan
sekolah serta penguatan kapasitas kepala sekolah, guru, orang tua, komite sekolah
dan pihak lain yang relevan. Setelah itu tidak merubah kurikulum yang sudah ada
melainkan optimalisasi kurikulum pada satuan pendidikan melalui kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, ekstrakurikuler, dan nonkurikuler di sekolah. Sedangkan bermaksud
mengajak masing-masing sekolah untuk menemukan ciri khasnya sehingga sekolah
menjadi sangat kaya sekaligus unik, serta mewujudkan kegiatan pembentukan
karakter empat dimensi pengolahan karakter yang digagas oleh Ki Hadjar
Dewantara meliputi olah rasa, olah hati, olah pikir, dan olah raga.
Penerapan PPK oleh guru
dilakukan dalam gerakan yang berbasis di dalam kelas, berbasis budaya sekolah,
dan berbasis masyarakat. Gerakan di dalam kelas harus mengintegrasikan proses
pembelajaran melalui isi kurikulum di dalam mata pelajaran (tematik, terintegrasi);
memperkuat manajemen kelas, pilihan metode, dan evaluasi pengajaran; mengembangkan
muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah. Gerakan budaya sekolah dilakukan
melalui pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian sekolah; keteladanan orang
dewasa di lingkungan pendidikan; dibantu ekosistem sekolah; kegiatan ko-kurikuler
dan ekstra-kurikuler di ruang yang luas; memberdayakan manajemen sekolah;
memperhatikan norma, aturan, dan tradisi di sekolah. Terakhir gerakan berbasis
masyarakat berupa bantuan potensi lingkungan sebagai sumber pembelajaran
seperti eksistensi dan dukungan pegiat seni budaya, tokoh masyarakat, dunia
usaha dan dunia industri; sinergi PPK dengan berbagai program dalam lingkup
akademisi, pegiat pendidikan dan LSM; sinkronisasinya melalui kerja sama dengan
pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua siswa.
3. Pendidikan
Multikultural
Morrison menyatakan bahwa salah satu
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa adalah yang memiliki
praktik pengajaran yang sesuai dengan perkembangan dan budaya. Praktik tersebut
mencakup pemenuhan kebutuhan anak dan rasa sensitif terhadap latar belakang
budaya dan etnis anak (2012 : 6). Hal
tersebut berlaku di PAUD, sebab anak usia dini datang ke lembaga ditemani keunikan,
gender, budaya, status sosial-ekonomi, dan rasnya. Untuk itu, pendidik dituntut
agar mampu merangkul anak, menghargai, dan menggabungkan multikulturalisme
dalam praktik pengajarannya.
Petunjuk tentang pendidikan multikultural
bagi anak usia dini, dikaji dari pemikiran Morrison (2012 : 6-7) bahwa setelah
memahami potensi anak serta menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan anak,
pendidik perlu menerapkan kurikulum yang anti bias. Kurikulum tersebut
menjalankan program yang sesuai perkembangan dan budaya anak, disertai kegiatan
dan materi yang mengatasi dan mengubah segala bentuk penyimpangan yang
mengelompokkan anak berdasarkan gender, sosial-ekonomi, ras, budaya,
keterbatasan, dan bahasa. Penulis simpulkan bahwa kurikulum tersebut memiliki
prinsip toleransi dan anti diskriminasi.
Bagi Morrison, kurikulum anti bias memberi layanan
yang lebih inklusif : (1) lebih mempertimbangkan keragaman budaya dengan
menganggap gender dan perbedaan sebagai kemampuan fisik; (2) berdasarkan pada tugas
perkembangan anak di saat membangun identitas dan perilaku; (3) secara langsung
menangani dampak stereotip, bias, dan diskriminasi dalam perkembangan dan
interaksi anak.
Tugas inti pengembangan identitas anak adalah
mengembangkan identitas individual dan identitas budaya. Identitas individual
berupa pembelajaran tentang diri sendiri—“Siapakah saya?” (di Indonesia
dipetakan dalam tema diri sendiri). Sementara identitas budaya mencakup
pembelajaran tentang budaya tempat anak berada sebagai anggotannya, bagaimana
anak tersebut memahami budayanya, dan perannya di sana. Sudah dibahas
sebelumnya bahwa budaya
menyebabkan anak tumbuh dan berkembang; sejak budaya lingkungan terdekat menuju
lingkungan luar yaitu budaya nasional dan universal yang dianut seluruh umat
manusia.
Kembali pada
kurikulum anti bias, berikut ini disajikan beberapa petunjuk dari Morrison
(2012 : 8-9) mengenai penerapannya di kelas-kelas PAUD :
a.
Evaluasi lingkungan kelas dan materi
pengajaran.
b.
Susun rencana untuk merancang ulang
kelas.
c.
Evaluasi kurikulum dan pendekatan-
pendekatan tentang keragaman.
d.
Amati interaksi anak di saat bermain
untuk memastikan jika semua anak terlayani dengan penuh toleransi dan tanpa
diskriminasi.
e.
Evaluasi cara dalam berinteraksi dengan
anak.
f.
Masukkan kegiatan belajar/ bermain
yang anti bias.
g.
Bekerjasama dengan orangtua/ wali
dalam penerapan kurikulum anti bias.
Dengan
demikian, penulis sarikan bahwa kurikulum yang anti bias dengan konsep multikultural
bagi PAUD Indonesia dapat diterapkan ke dalam program penanaman kuat dalam diri
anak tentang identitas individual dan identitas budaya. Dalam pengembangan
identitas individual, dapat menggunakan tema diri sendiri yang
biasanya menjadi tema pembelajaran pertama yang dikembangkan di setiap lembaga
PAUD. Tema tersebut mencakup pengenalan pada anak tentang panca indera atau tubuh
(bagian, fungsi, dan cara merawat). Tentang identitas budaya, pendidik dapat mengenalkan
kebudayaan daerah dan kebudayaan umum yang ada di Indonesia. Meski terdengar
berat, dua hasil karya manusia tersebut tetap dapat dikenalkan pada anak berkat
keahlian pendidik sebagai profesional. Beberapa cara boleh dipilih; metode
bercerita (dongeng, ceramah), karyawisata atau kunjungan, bernyanyi,
mengucapkan sajak, metode permainan (bermain), presentasi, metode kerja
kelompok besar, bertanyajawab, metode proyek sederhana, penugasan, atau demonstrasi.
Pendidik PAUD juga perlu kritis terhadap arus globalisasi (begitu pula seluruh
pelaku pendidikan di lembaga) dan bekerjasama dengan orangtua/ keluarga, serta
masyarakat demi tercapainya tujuan pendidikan multikultural.
2.
Bukti
Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Konsep Pendidikan Multikultural Perlu
Membimbing Anak Usia Dini dalam
Menghadapi Isu-Isu Peradaban/ Kebudayaan
Sebuah artikel menyebutkan bahwa jumlah
kasus korupsi di Indonesia terus meningkat. Data dari Mahkamah Agung (MA)
menunjukkan bahwa sebanyak 803 kasus korupsi telah terjadi selama periode tahun
2014-2015 dan meningkat jauh dibanding tahun sebelumnya. Hasil riset dari
Laboratorium dan Departemen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada menungkap 803 kasus tersebut menjerat 967 terdakwa
korupsi. Sebuah pepatah mengiringi kondisi tersebut, “ilmu anpa agama buta, dan
agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Pasalnya, para koruptor tersebut adalah mereka
yang pintar namun mimiliki moral sangat buruk. Satu hal lagi tentang perayaan
kelulusan siswa SMA yang terkesan tidak berpendidikan dengan berhura-hura,
mencorat-coret seragam, konvoi yang mengganggu arus lalu lintas, bahkan
berujung pada aksi tawuran antar pelajar.
Fadhilatul
(2017) menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan
karakter tidak lepas dari teladan guru atau pendidik sebagai panutan anak.
Sosok guru teladan tidak akan berhasil menjadi panutan, apabila mereka hanya
menjadi pribadi baik hanya di lingkungan sekolah, namun tidak di lingkungan masyarakat.
Hal tersebut selaras dengan tulisan Budi (2017) bahwa guru berperan penting
dalam mendidik karakter siswa. Tulisannya berdasarkan sambutan Anas M. Adam
selaku Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah di Seminar Nasional
Pendidikan Dasar tahun 2017 bahwa selain mengajarkan materi pokok sesuai dengan
bidang studi, guru seharusnya mengisi dengan karakter yang sesuai dengan tema
pembelajaran, istilahnya terintegrasi dalam pembelajaran. Untuk itu, guru perlu
berinovasi dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah sebagai hal yang
sangat penting dan menentukan dalam upaya menumbuhkembangkan karakter diri
siswa.
Maka
benar saja jika penguatan
pendidikan karakter dianggap sebagai gerbang memasuki pembenahan pendidikan
nasional. Penguatan karakter adalah salah satu program prioritas Presiden dan
Wakil Presiden yang tercantum dalam nawa cita pemerintah untuk merevolusi
karakter bangsa. Pada tahun 2017, Presiden bahkan menarahkan agar pendidikan
karakter pada jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi lebih besar
dibandingkan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan. Untuk SD sebesar 70%,
sedangkan di SMP sebesar 60%. Gerbang tersebut akan terbuka melalui penguatan
tri pusat pendidikan sebab PPK mendorong sinergi tiga pusat pendidikan—sekolah,
keluarga (orangtua), dan komunitas (masyarakat) agar dapat menyusun suatu
ekosistem pendidikan. Selain itu, guru juga perlu mengembalikan jati diri guru.
“Peran guru sangat penting dalam
pendidikan dan ia harus menjadi sosok yang mencerahkan, yang membuka alam dan
pikir serta jiwa, memupuk nilai-nilai kasih sayang, nilai-nilai keteladanan, nilai-nilai
perilaku, nilai-nilai moralitas, nilai-nilai kebhinnekaan. Inilah sejatinya
pendidikan karakter yang menjadi inti dari pendidikan yang sesungguhnya,”
harap Sang Presiden.
Adapun salah satu realisasinya, kini, melalui perbaikan
Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008 menjadi PP No 19 Tahun 2017,
Kemendikbud mendorong perubahan paradigma guru agar berperan sebagai pendidik
profesional dalam hal mencerdaskan anak didik sekaligus dan membentuk karakter
positif agar menjadi generasi emas Indonesia berkecakapan abad ke-21. Dari pasal
15 PP No 19 Tahun 2017, pemenuhan beban kerja guru dapat diperoleh dari
ekuivalensi beban kerja tugas tambahan. Kegiatan lain di luar kelas berkaitan
dengan pembelajaran juga dapat dikonversi ke jam tatap muka. “Guru tak perlu lagi mencari jam tambahan
mengajar di luar sekolahnya untuk memenuhi beban kerja mengajar. Dia harus
bertanggungjawab terhadap perkembangan siswanya.” kata Mendikbud.
3.
Manfaat
Kebijakan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, serta Praktik Pendidikan
Multikultural bagi Anak Usia Dini
Pendidikan karakter menurut Khan (2010)
adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dengan segala upaya secara sadar
dan terencana untuk mengarahkan peserta didik. Pendidikan tersebut berupa
proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan
pengembangan budi pekerti dan nilai-nilai moral yang selalu mengajarkan,
membimbing, dan membina setiap peserta didik agar berkompetensi intelektual,
karakter, dan keterampilan. Sehingga pendekatan pendidikan karakter dilakukan
langsung di pendidikan moral dengan memberi materi tentang pengetahuan moral
dasar untuk mencegah peserta didik melakukan perilaku tidak bermoral atau
membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Sebenarnya pendidikan karakter adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter
atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, seimbang, dan sesuai
standar kompetensi kelulusan. Sementara dalam dokumen pedomannya, pendidikan budaya dan karakter
bangsa dikelompokkan menjadi tiga fungsi; (1) pengembangan (terhadap potensi peserta didik), (2) perbaikan
(memperkuat kiprah pendidikan nasional),
dan (3) penyaring (terhadap budaya bangsa/ budaya bangsa lain). Sementara tujuannya untuk :
a. Mengembangkan potensi afektif dalam
diri peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang
terpuji dan sejalan dengan nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang
religius;
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab bagi
peserta didik.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik
agar menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai suatu lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa
kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Setelah dikuatkan,
pendidikan karakter dan budaya bangsa yang lebih singkat menjadi PPK dilakukan
di satuan pendidikan dalam integrasi intrakurikuler (yang mempelajari mata
pelajaran umum dalam kurikulum), kokurikuler (memperdalam kompetensi dasar
kurikulum), dan ekstrakurikuler (asah bakat, minat, agama). Harapannya, PPK
tersebut akan bermanfaat sebagai: (1) penguatan karakter dalam mempersiapkan
daya saing siswa dengan kompetensi
abad 21 (pikir kritis, kreatif, mampu berkomunikasi, dan kolaborasi); (2)
pembelajaran terintegrasi di sekolah/ di luar sekolah dengan pengawasan guru; (3) revitalisasi peran kepala sekolah sebagai manajer dan guru
sebagai inspirator PPK; (4) revitalisasi komite
sekolah sebagai badan gotong royong sekolah dan partisipasi masyarakat; (5)
penguatan peran keluarga melalui
kebijakan pembelajaranlima hari; dan (6) kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga masyarakat, pegiat pendidikan
dan kebudayaan, serta sumber belajar
lainnya.
Karena pendidikan
karakter tidak lepas dari budaya siswa, maka diperlukan suatu pendekatan
pendidikan yang mendukung. Pendidikan multikultural rasanya pantas untuk
diselaraskan oleh guru yang menerapkan pendidikan karakter sebab siswa diajak
untuk memahami perbedaan lalu menoleransinya. Suku, agama, ras, atau golongan
tidak boleh menjadi penghalang integrasi kegiatan intrakurikuler, kokurikuler,
dan ekstrakurikuler; melainkan menjadi hal asing yang harus dikenali karena
dapat dimanfaatkan sebagai sumber dan ekosistem pembelajaran. Berkat ragam
perbedaan yang sudah ditoleransi tersebut, siswa akan semakin menyukuri karunia
Tuhan, semakin mencintai tanah air, semakin antusias bergotong-royong, dan
senantiasa menjadi sosok mandiri untuk hidup bersama dengan masyarakat.
BAB
III
SIMPULAN
& SARAN
A.
SIMPULAN
Arus globalisasi mendatangi kebudayaan
seseorang atau masyarakat sehingga merubahnya menjadi kebudayaan semakin maju
atau disebut dengan peradaban. Seluruh lapisan masyarakat sejak berusia dini
hingga yang berusia lanjut dapat merasakan dahsyatnya, menerima efek positifnya,
bahkan juga efek yang negatif. Pemerintah mati-matian mengupayakan kebijakan
untuk menghadapi hal tersebut, di antaranya dengan cara menciptakan landasan
pendidikan budaya dan karakter bangsa pada tahun 2010 yang dikuatkan menjadi
PPK di tahun 2016. Prinsipnya yaitu pengembangan, perbaikan, dan penyaring agar
generasi muda berkembang menjadi manusia Indonesia yang berbudaya dan
berkarakter bangsa.
Cara
kedua adalah pendekatan pendidikan multikultural yang sifat inklusifnya semakin
digencarkan di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk bagi layanan
PAUD untuk anak usia dini. Pendekatan tersebut cukup selaras dengan kebijakan
pendidikan budaya dan karakter. Dalam penerapannya, pendidik dapat didukung dengan menyelenggarakan
kurikulum yang anti bias untuk menanamkan identitas individual dan identitas
budaya dalam diri anak. Pengembangan identitas individual diterapkan pada ragam
kegiatan pada tema diri sendiri (tematik
di kelas PAUD). Sementara identitas budaya dapat dikenalkan mengenai budaya
daerah dan budaya umum yang hidup Indonesia, dengan tetap kritis terhadap
globalisasi.
B.
SARAN
Demi mencapai tujuan pendidikan karakter dan budaya bangsa, serta tujuan
pendidikan multikultural; pendidik profesional harus berinovasi kreatif dalam
hal penyusunan dan penerapan kurikulum anti bias. Orangtua sebaiknya mendukung
upaya pendidik dan lembaga PAUD yang menjalankan misi tersebut melalui anak mereka
yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa yang beretika dalam
menghadapi kebudayaan dan peradaban yang akan terus berkembang nantinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. (tt.) 11 Metode Pembelajaran PAUD yang Wajib Guru
PAUD Ketahui. Diakses dari www.karyatulisku.com
BP3K. (2010). Dokumen
Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter
dan Budaya Bangsa. Jakarta: Kemendiknas
Dirjen PAUD dan Pembinaan Masyarakat. (2015). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 PAUD.
Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025. Jakarta :
Kementerian Pendidikan Nasional
Fadhilatul, Vivi. (2017). Rapuhnya Pendidikan Karakter di Indonesia. Diakses dari www.kompasiana.com
Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Life Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia/
David Chaney. Yogyakarta : Percetakan Jalasutra
Kemdikbud. (2016). Indografis
PPK. Diakses dari www.kemdikbud.go.id
Khamidun. (2012). Bahan Ajar Metode
Pengembangan Moral dan Agama Anak Usia Dini. Semarang : Jurusan PG-PAUD
FIP Unnes
Khamidun. (2012). Environmentally Awareness
Behaviour Increase in
Early Childhood Using Story Telling Method. IJECES 1 (1) (2012).
ISSN 2252-6374. Tersedia di : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijeces
Kurniasih, Budi. (2017) Guru Berperan Vital dalam Pendidikan Karakter Siswa. Diakses dari www.kompas.com
Morrison, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta : PT INDEKS
Munib, Achmad., dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/
MKDK-LP3 Unnes
Nazari, Mohammad Reza., et, al. (2012). TV exposure as a Risk Factor for Aggressive
Behavior Among Primary School Students. Vol 65, No. 8
Penguatan Pendidikan Karakter Jadi Pintu Masuk
Pembenahan Pendidikan Nasional.
(2017). Diakses dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Saddoen, Arifin. (2018). 9+ Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli/ Umum, Faktor Penyebab,
Teori, Ciri, Dampak. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018 dari https://moondoggiesmusic.com/pengertian-globalisasi/amp/
Suyadi & Ulfah. (2017). Konsep
Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]