PLAY : LEARNING AT ITS BEST

PLAY : LEARNING AT ITS BEST

( TERJEMAHAN BUKU JO ANN BREWER)

 

[Tugas Mata Kuliah Pengantar PAUD] 

Disusun oleh Yefie Virgiana &  Dwitirta Mayasari (virgiana15shy@gmail.com)


BAGIAN 5

BERMAIN : PEMBELAJARAN PADA HAL-HAL YANG TERBAIK DALAM BERMAIN

Kata kunci dalam bagian ini akan membicarakan beberapa hal tentang bermain, di antaranya sebagai berikut : bermain dengan perintah/ ada tujuan, pola pikir egosentris, bermain eksploratori (menjelajahi), bermain bebas, bermain konstruktif (pembangunan), bermain dengan aturan, bermain dengan bimbingan, bermain ilisit (terselubung), bermain instrumental, bahan-bahan yang open-ended (terbuka), bermain itu sendiri, bermain praktikal (atau sebagai latihan), bermain dengan diatur, bermain sosial, bermain sosiodrama (main berpura-pura), bermain simbolik, dan strategi-strategi pengajaran kaitannya dengan bermain.

 

Sigmund Freud mengatakan bahwa, salah jika mengira anak-anak tidak bersungguh-sungguh di saat mereka bermain; padahal sebenarnya anak begitu bersungguh-sungguh dan meluapkan emosinya dengan sebenar-benarnya di sana.

Para guru, orangtua, dan pihak administrator perlu melanjutkan dukungan dalam mengupayakan dirinya agar terlibat bermain dalam kurikulum dan untuk mempertahankan daya guna bermain (permainan) terhadap mereka yang tidak memahami tentang pendidikan anak usia dini (ke-PAUD-an). Almy (1984) telah meluncurkan pernyataannya di beberapa sumber mengenai undang-undang anak dalam hal bermain. Dia menuliskan bahwa dengan membedakan karakteristik dari bermain menjadi hal penting terhadap perkembangan anak. dia meyakini bahwa para orang dewasa seharusnya menyediakan kesempatan bagi anak untuk bermain dan untuk belajar melalui pengamatan-pengamatan dan tindakan-tindakan, sama seperti ketika mereka diminta untuk melakukan beberapa hal.

Dalam tulisan yang diterima oleh Asosiasi Pendidikan Anak Internasional (ACEI/ Association of Childhood Education International), Isenberg bersama Quisenberry (1988) menyatakan bahwa “bermain—sebuah bagian dalam masa usia dini yang dinamis dan aktif, masa kecil menuju kedewasaan.” ACEI juga ingin agar para guru mampu mengatur dengan baik dalam melayani kebutuhan bermain dalam kehidupan anak, sebagai bagian dari kehidupan sekolah mereka.

 

 

Jenis-Jenis Bermain

Bermain dalam tatanan sekolah dapat dijelaskan sebagai tahap yang berkelanjutan seja bermain bebas menuju bermain dengan bimbingan menuju permainan dengan perintah.

§  Bermain bebas dapat diartikan sebagai bermain di mana anak memiliki banyak pilihan bahan, di mana anak dapat memilih bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan tersebut (tentu saja masih ada batasan, sebagai contoh : anak tidak boleh memukul temannya dengan mainan baloknya).

§  Bermain dengan bimbingan diartikan sebagai bermain yang mana guru sudah menentukan terlebih dahulu beberapa bahan yang boleh dipilih anak dengan tujuan untuk menemukan konsep-konsep khusus. Jika tujuannya adalah untuk belajar mengklasifikasikan obyek besar atau kecil, maka guru akan menyediakan beberapa set obyek/ bahan untuk bermain yang dapat mengasah kemampuan mengklasifikasikan obyek.

§  Bermain dengan perintah adalah bermain di mana guru memberikan arahan pada anak tentang begaimana menyelesaikan suatu tugas/ kesulitan atau tujuan tertentu. Menyanyikan lagu, permainan keterampilan jari, dan bermain dalam jalur lingkaran adalah contohnya (Bergen, 1988).

 

Karakteristik Bermain

Untuk mengetahui tipe atau jenis suatu permainan/ bermain, dapat ditahui melalui karakteristiknya. Adapun karakteristik yang dimaksud meliputi motivasi personal, keterlibatan aktif, tanpa maksud harfiah, tanpa tujuan eksternal, maksud yang disediakan para pemain, dan tidak adalah aturan-aturan dari luar.

1.     Bermain Dimotivasi secara Pribadi

Agar suatu kegiatan disebut sebagai bermain, pemain harus memilih untuk berpartisipasi. Jika seorang anak memilih suatu kegiatan, itulah bermain baginya, meskipun apa yang sedang dilakukan mungkin terlihat seperti dia sedang bekerja (melakukan tugas). Misalnya, seorang anak dapat memuat gerobak dorong dengan pasir, kemudian memindahkannya melintasi taman bermain ke kotak pasir baru dan membuangnya. Sama dengan itu, anak-anak sering “bekerja” selama berjam-jam mengumpulkan bahan dan membangun benteng. Perbedaan antara bermain dan bekerja adalah bahwa aktivitas bermain dipilih sendiri : anak mengontrol berapa lama dia akan berpartisipasi dan menentukan tujuan dari kegiatan tersebut.

Ceglowski (1997) menemukan bahwa taman kanak-kanak tidak memiliki kesulitan dalam mengidentifikasi kegiatan yang bermain versus bekerja. Anak-anak digambarkan hanya memainkan kegiatan yang mereka pilih dan terarah. Kegiatan yang dipilih guru atau diarahkan guru digambarkan sebagai pekerjaan. Bermain selalu menyenangkan bagi para peserta. Perasaan bisa menjadi kepuasan karena telah mencapai tujuan internal atau sukacita murni untuk berlari bebas. Pemain mengalami kesenangan dalam bermain.

2.     Bermain Adalah Aktif

Semua pengalaman bermain membutuhkan keterlibatan aktif dari pemain. Bermain bukanlah aktivitas pasif, seperti menonton televisi, meskipun bermain tidak perlu keterlibatan fisik aktif. Anak-anak bermain saat mereka berpartisipasi dalam “pesta teh” atau menyelidiki kerasnya batu. Anak-anak yang bermain terlibat dalam berpikir, mengatur, merencanakan dan berinteraksi dengan lingkungan. Jika keterlibatannya pasif, maka aktivitas itu bukan bermain.

3.     Bermain Seringkali Tidak Harfiah

Anak-anak yang bermain dapat mengesampingkan hal-hal nyata, biasanya dengan kata-kata ajaib “Mari berpura-pura.” Waktu, pengaturan, dan karakter yang terlibat dalam permainan dapat dinegosiasikan saat ini dan terikat dengan kenyataan. Mereka bahkan tidak perlu, anak-anak pengecut berpura-pura terbang, dari luar angkasa atau menjadi monster.

4.     Bermain Tidak Memiliki Tujuan Ekstrinsik

Misalkan seorang anak mengatur dan mengatur ulang satu set huruf di papan magnetik. Jika tugas ini telah ditetapkan untuk tujuan membantunya belajar urutan abjad, maka itu tidak bermain. Jika anak mengatur surat-surat untuk memenuhi sasaran yang merupakan miliknya, maka itu adalah permainan. Dalam bermain, proses, atau sarana, bukan hasil akhir, adalah yang paling penting. Hasil bermain tidak sepenting partisipasi di dalamnya.

5.     Para Pemain Memiliki Maksud Tersendiri dalam Bermain

Anak-anak terkadang mengeksplorasi atau menggunakan bahan dengan cara yang ditentukan orang lain, tetapi saat mereka bermain, mereka memberikan interpretasi mereka sendiri terhadap materi. Seorang anak mungkin menggunakan sepuluh balok untuk membangun model angka jika anak tersebut diarahkan oleh orang dewasa. Tetapi jika diizinkan untuk menggunakan bahan secara bebas, anak itu mungkin menggunakan balok untuk membangun rumah atau jalan.

6.     Bermain Tidak Memiliki Aturan Ekstrinsik

Jika suatu kegiatan dianggap bermain, para pemain harus dapat mengubah aturan main yang dibutuhkan. Misalnya dalam permainan kejar-tangkap, pemain bernegosiasi di mana area “aman” akan berada. Demikian pula, anak-anak yang bermain dengan balok dapat membuat aturan tentang ruang untuk membangun, tetapi aturan ini dinegosiasikan oleh para pemain.

 

Tingkatan dalam Bermain

Kita juga dapat mendefinisikan bermain dengan mempertimbangkan berbagai tingkatan dalam bermain yang melibatkan anak-anak, termasuk permainan sosial, bermain dengan obyek dan permainan sosiodrama. Dengan mempelajari teori Vygotsky juga akan menunjukkan arti dan pentingnya bermain.

1.     Bermain Sosial

Guru yang mengamati anak-anak bermain akan memperhatikan beberapa tingkat keterlibatan yang berbeda dengan anak-anak lain dalam beberapa episode bermain. Dalam penelitiannya, Parten (1932) menggambarkan tingkatan main ini sebagai bermain tunggal, penonton, paralel, asosiatif, dan kooperatif.

Tabel Tingkatan Bermain Sosial

Tingkatan

Deskripsi

Bermain tunggal/ soliter

Anak bermain tanpa memperhatikan apa yang dilakukan anak lain di sekitar. Seorang anak mungkin membangun menara dengan balok-balok dan benar-benar tidak tahu apa yang dilakukan anak-anak lain di ruangan itu.

Bermain penonton

Anak yang bermain secara individual secara bersamaan mengamati mereka yang bermain di area yang sama. Anak itu mungkin berbicara dengan teman. Anak yang menonton anak-anak lain bermain dapat mengubah perilaku bermain mereka sendiri setelah menonton. Anak-anak yang terlibat dalam bermain penonton mungkin tampak duduk pasif sementara anak-anak di sekitar mereka bermain, tetapi mereka sangat waspada terhadap aksi di sekitar mereka.

Bermain pararel

Beberapa anak bermain dengan bahan sama, tetapi masing-masingnya bermain independen. Apa yang dilakukan anak tidak tergantung pada apa yang dilakukan orang lain. Anak yang bermain puzzle sebagai contoh permainan ini. Mereka biasanya akan berbicara satu sama lain, tapi jika seseorang meninggalkan meja, yang lain terus bermain.

Bermain asosiatif

Beberapa anak bermain bersama tetapi dengan cara yang teratur. Misalnya eberapa anak memutuskan untuk menjadi monster dan berlari di sekitar taman bermain, mengejar satu sama lain. Tetapi tanpa peran yang pasti dan jika satu anak tidak berlari mengejar, yang lain dapat terus bermain.

Bermain kooperatif

Setiap anak memiliki peran yang ditentukan dan tergantung pada orang lain untuk mencapai tujuan main. Misalnya saat anak-anak ingin bermain toko, satu anak harus berperan jadi petugas toko sementara yang lain menjadi pembeli. Jika seorang anak menolak untuk bermain kecuali dia bisa menjadi penjaga toko, maka episode bermain berakhir.

Anak-anak dari berbagai usia menunjukkan tingkat permainan sosial yang berbeda. Anak yang sangat muda secara kognitif tidak mampu mengambil peran yang berbeda dan bermain kooperatif. Mereka tidak memiliki cukup informasi tentang peran atau keterampilan sosial yang cukup untuk bekerja bersama untuk satu tujuan. Anak yang lebih tua tidak terlibat dalam permainan kooperatif secara eksklusif. Mereka dapat terlibat dalam salah satu tingkat permainan; mereka hanya memiliki opera perilaku bermain yang jauh lebih luas.

2.     Bermain dengan Obyek

Piaget pada tahun 1962 dan 1969 (bersama Inhelder) mendeskripsikan berbagai jenis permainan dengan obyek, meliputi bermain praktikal, bermain simbolik, bermain dengan aturan dan konstruksi bermain.

Bermain praktikal (bermain fungsional) adalah bemain di mana anak- mengeksplorasi kemungkinan bahan. Bahkan orang dewasa terlibat dalam jenis ini jika materi yang tersaji terasa baru bagi mereka. Misalnya, anak-anak yang menggunakan kartu-kartu domino dalam permainan praktikal akan menumpuknya dan membuatnya berdiri pada akhirnya.

Setelah bermain dengan domino selama beberapa waktu, anak mungkin mulai menggunakannya dalam permainan simbolik. Mereka akan menggunakan domino untuk mewakili sesuatu yang lain. Mungkin mereka akan membuat balok-balok dan berpura-pura bahwa domino itu adalah ternak di kandang.

Dalam permainan dengan aturan, anak dapat bermain sesuai aturan yang mereka buat atau sesuai aturan yang umumnya disepakati sebagai game. Jika anak bermain dengan kartu domino, mereka mungkin memutuskan peraturannya harus sesuai dengan semua tujuan tanpa memainkan kartu ganda; jika mereka tahu aturan konvensional untuk bermain kartu domino dan menyimpan skor, mereka mungkin mengikuti aturan itu. Siapapun yang pernah bermain permainan dengan aturan (seperti Candy Land atau Konsentrasi) dengan anak berusia tiga atau empat tahun tahu bahwa seorang anak usia ini biasanya akan bermain seperti yang dia inginkan dan bahwa aturan berikut hampir tidak mungkin .

Permainan konstruksi dijelaskan oleh Piaget sebagai pertumbuhan dari permainan simbolis “tetapi cenderung kemudian menjadi penentuan adaptasi asli (konstruksi mekanis, dll) atau solusi untuk masalah dan penciptaan yang cerdas” (Piaget dan Inhelder, 1969 : 59). Tingkat permainan obyek bergantung pada kematangan dan pengalaman anak. Saat dewasa, anak menjadi lebih mampu menggunakan materi secara simbolis dan memainkan permainan dengan aturan.

3.     Bermain Sosiodrama

Bermain sosiodrama melibatkan sekelompok kecil anak yang memainkan peran-peran tertentu yang telah dipilih. Disebut juga dengan bermain fantasi, jenis permainan ini memungkinkan anak terlibat secara intelektual dengan berbagai aspek kehidupan mereka. Misalnya, setelah bencana, anak-anak dapat memainkan apa yang harus dilakukan dalam situasi tersebut. Mereka juga dapat memainkan bagian duniawi dari kehidupan mereka, seperti bagaimana berbelanja pakaian, atau mungkin berimajinasi seperti bagaimana melakukan perjalanan luar angkasa.

Smilansky (1971) mempelajari permainan jenis ini selama bertahun-tahun, kemudian bersama Shefatya (1990) menetapkan bahwa permainan jenis ini perlu ruang, waktu, dan obyek yang menarik. Mereka juga mencatat bahwa permainan seperti itu bersifat kooperatif dan pemain harus menyetujui tema dan karakter sebelum puncaknya bermain. Selain itu, mereka mencatat bahwa permainan ini akan memunculkan keyakinan sementara, yang akhirnya memupuk kenyataan.

Permainan ini sangat penting dalam pengembangan kreativitas, intelektual, dan keterampilan sosial. Tidak semua anak akan memiliki pengalaman bermain jenis ini. Oleh karena itu, para guru perlu memikul lebih banyak tanggung jawab dalam membina anak-anak. Guru dapat melihat seksama unsur-unsur permainan dan mengintervensi sekaligus dan membantu anak mencapai elemen yang hilang.

Hasil penelitian mengenai manfaat permainan sosiodrama (Gowen, 1995 : 78) : bermain imajinatif (simbolik) adalah kekuatan kausal yang signifikan dalam pengembangan berbagai kemampuan, termasuk kreativitas, memori, kerjasama kelompok, kosakata reseptif, konsepsi hubungan kebaikan, pengendalian impuls, keterampilan dalam pengambilan perspektif spasial, keterampilan pengambilan perspektif afektif, dan keterampilan mengambil perspektif kognitif.

Paley (2004) yakin bahwa bermain sosiodrama menjadi dasar pendidikan anak usia dini. Kemampuan untuk mengambil peran orang lain dan mengubah perspektif adalah keterampilan dasar belajar akademis (pengembangan kognisi). Selain itu, Elias dan Berk (2002) menemukan bahwa anak-anak yang impulsif mendapat manfaat dari bermain sosiodrama dalam belajar mengatur perilaku diri.

Bagi beberapa anak, permainan sosiodrama terjadi jika cukup waktu dan juga teman bermain, guru mungkin harus lebih terlibat untuk mengajak anak agar berpartisipasi. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan waktu dan seringkali alat peraga untuk membuat anak-anak mulai bermain. Area bermain dramatis dan pusat perawatan rumah seringkali menjadi setting yang mendorong permainan ini dengan menyediakan kostum, perabotan dan alat peraga lain. Jika anak memiliki ide tentang tema permainan, guru dapat membantu mereka melaksanakannya.

Guru mungkin mempertimbangkan meminta orangtua agar ikut membantu mengumpulkan bahan untuk sejumlah situasi bermain. Bahan-bahan untuk situasi tertentu kemudian disimpan rapi dalam kotak-kotak setiap jenis atau disesuaikn dengan minat anak. Kotak-kotak itu mungkin termasuk bahan untuk memainkan tukang reparasi, toko kecantikan, kantor, dan seterusnya. Myhre (1993) memberi saran agar kotak-kotak alat peraga yang berisi bahan untuk menciptakan toko roti, toko bunga, dan pesta pantai serta kotak perhiasan dan aksesori dan sebagainya.

Selain menyediakan waktu dan alat peraga, guru mungkin harus memiliki model yang sesuai dengan perilaku bermain untuk anak-anak dengan sedikit atau tanpa pengalaman dalam permainan sosiodrama. Dia mungkin harus mengambil peran dan memainkannya selama beberapa saat untuk mendemonstrasikan peran itu sehingga anak-anak memahami dan mampu memainkannya sendiri. Guru juga menyarankan peran yang bisa dimainkan orang lain atau mengajukan pertanyaan untuk membuat anak mulai bermain di sebuah episode. Batas antara membantu anak dan bermain dominan adalah hal yang baik. Guru harus mengembangkan keterampilan dalam mendengarkan dan menanggapi anak-anak, mengikuti jejak mereka, daripada memaksakan ide tentang apa yang seharusnya dimainkan anak.

Reifal dan Yeatman (1993) mendesak guru untuk berpikir bermain dalam kategori yang lebih luas daripada yang dijelaskan oleh Parten dan Piaget. Bahwa bermain kasar, bermain kata dan lelucon tidak termasuk dalam teori permainan, meskipun perilaku ini menjadi bagian dari pengalaman bermain anak. Episode bermain mungkin dimulai dengan satu jenis permainan, pindah ke yang lain dan kemudian kembali lagi, jadi guru perlu berpikir tentang bagaimana anak-anak berhubungan dengan materi dan satu sama lain selama episode bermain, daripada membuat penilaian cepat berdasarkan pengamatan yang singkat dan terisolasi.

Akhirnya, guru harus mencari kesempatan untuk mendorong permainan sosiodrama yang berasal dari peristiwa nyata dalam kehidupan anak. Sebagai contoh, salah satu anak ada di rumah sakit. Ketika dia kembali ke sekolah dan menceritakan pengalamannya, anak mungkin akan sangat ingin bermain “berada di rumah sakit”. Guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk membantu anak berpikir tentang apa yang dibutuhkan untuk bermain lalu membantu menemukan alat peraga yang tepat, seperti papan tulis kecil untuk digunakan untuk bagan pasien, stetoskop, kotak untuk perabotan dan sebagainya.

 

Pemikiran Vygostky tentang Bermain

Bodrova dan Leong (1996) merangkum pandangan Vygostky, mengenai bermain yang berkembang dari permainan manipulatif balita menuju permainan anak prasekolah yang lebih berorientasi sosial kemandirian menuju permainan.

Vygotsky melabeli perilaku bermain para balita yang mulai menggunakan obyek dalam situasi imajiner dan memberi label tindakan dengan kata. Misalnya menggunakan sendok untuk menggedor meja bukan bermain, tetapi menggunakan sendok untuk memberi makan boneka beruang dan meminta beruang untuk makan adalah bermain. Kebanyakan anak usia lima tahun fokus pada peran permainan sosial mereka daripada pada obyek. Misalnya, mereka berpura-pura memiliki selembar kertas dan pena untuk menerima pesanan jika memainkan pelayan pria atau pelayan wanita. Games (permainan) sebagai jenis bermain, muncul dalam perilaku bermain anak-anak sekitar usia lima tahun. Permainan melibatkan aturan eksplisit dan terperinci di mana situasi imajiner disembunyikan. Misalnya, sepak bola adalah permainan di mana para pemain setuju tidak menggunakan tangan mereka, meskipun mereka dapat menggunakannya (Bodorva dan Leong 1996).

Menurut Vgotsky (1978 : 102), bermain menciptakan zona perkembangan proksimal anak. Dalam bermain, anak selalu berperilaku di luar usia rata-rata, di atas perilaku sehari-harinya; dalam bermain, seolah-olah anak lebih tinggi dari diri sebenarnya. Sebagaimana fokus kaca pembesar, bermain mengandung semua kecenderungan dalam bentuk kental sebagai sumber utama bagi perkembangan. Vygotsky percaya bahwa bermain penting dalam perkembangan anak :

1.     Play menciptakan zona perkembangan proksimal anak. Dalam pengaturan permainan, seorang anak dapat mengontrol perilaku seperti menghadiri tugas sebelum dia mampu mengendalikan perilaku itu di pengaturan lain.

2.     Bermain memfaslitasi pemisahan pikiran di antara tindakan dan obyek. Anak berpura-pura bahwa sebuah balok adalah perahu; pemisahan obyek dari makna ini sangat penting untuk pengembangan pemikiran abstrak.

3.     Bermain memfaslitasi pengembangan pengaturan diri. Anak-anak dalam permainan diminta untuk membuat perilaku mereka sesuai dengan peran yang telah diterima. Misalnya, anak bermain anjing dapat berhenti menggonggong atau duduk diam pada perintah (kutipan dari Bodrova dan Leong, 1996 : 126).

 

Tujuan Bermain

Bermain berkontribusi pada pertumbuhan kognitif, perkembangan sosial emosional, dan perkembangan fisik. Banyak dari kemampuan untuk kesuksesan di pengaturan sekolah yang diperoleh melalui pengalaman bermain.

Menurut Eheart dan Leavitt, bermain menawarkan kesempatan anak-anak muda untuk menguasai banyak keterampilan dan konsep fisik, sosial dan intelektual yang mendasar (1985 : 18; Garvey, 1977; Sylva, Brunner, dan Genova 1976). Fantuzzo, Sekino dan Cohen (2004) mempelajari dua kelompok anak Head Start dan menemukan bahwa mereka menunjukkan regulasi emosi lebih kompeten dalam hal inisiasi, penentuan determinasi diri dan keterampilan kosakata reseptif. Anak yang bermain dengan baik juga dinilai lebih tinggi pada sosial kognitif, dan koordinasi gerak dibanding anak dengan keterampilan kurang dalam berinteraksi.

1.     Pengembangan Intelektual

Permainan eksploratif (permainan di mana anak tidak memiliki tujuan selain menjelajahi bahan main) dan bermain dengan aturan main (di mana anak memiliki tujuan seperti mencari solusi atau menentukan sebab akibat) sama-sama berkontribusi untuk pertumbuhan kognitif. Pertumbuhan kognitif didefinisikan sebagai peningkatan simpanan pengetahuan dasar anak (Lunzer 1959); itu terjadi sebagai hasil dari pengalaman dengan obyek dan orang (Piaget 1952).

Banyak penelitian yang mendukung hubungan positif di antara pengalaman bermain dan pengembangan kognisi termasuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, mengurutkan, mengamati, membedakan, memprediksi, membandingkan, menarik kesimpulan, dan menentukan hubungan sebab akibat. Kemampuan intelektual ini menggarisbawahi keberhasilan anak-anak di semua bidang akademik.

Bermain membantu anak mengembangkan materi pengorganisasian untuk mencapai tujuan bermain. Misalnya, seorang anak ingin bermain mengunjungi dokter harus memutuskan di mana kantor dokter dan ruang tunggu, apa yang akan digunakan (stetoskop, dan sebagainya). Anak-anak juga harus mengatur tugas, memutuskan bagaimana memindahkan dan mengatur materi agar dapat bermain. Beberapa tugas organisasi ini memerlukan diskriminasi yang sangat halus, seperti menyortir berdasarkan ukuran, bentuk atau warna. Anak yang bermain juga harus memikirkan pemain lain. Anak-anak lebih tua memainkan peran karakter dalam buku yang telah mereka baca harus berpikir tentang peran yang diasumsikan oleh pemain lain dan mempertimbangkan mereka saat membuat peran mereka sendiri.

Anak-anak yang bermain sering terlibat dalam perilaku pemecahan masalah. Mereka bereksperimen dengan menambahkan air ke pasir untuk membuatnya menjadi konsistensi yang tepat untuk menahan bentuknya ketika dicetak, atau mencari ruangan untuk menemukan bahan yang sesuai untuk kebutuhan bermain. Anak-anak yang bermain menaiki bus, mungkin mencari hal-hal yang digunakan untuk kursi dan setir bus. Mereka mungkin juga mencari alat peraga sebagai tiket dan bagasi. Mereka mungkin menemukan dompet tua di area pakaian jadi untuk menjadi koper atau panci pai untuk menjadi roda kemudi.

Karena anak juga akan membutuhkan orang untuk terlibat jadi penumpang, anak-anak yang bermain menaiki bus harus menyelesaikan masalah bagaimana membujuk anak lain untuk ikut bermain. Sylvia dkk. (1976) menemukan bahwa anak yang bermain mampu memecahkan masalah dan solusinya.

Anak-anak yang lebih tua, serta yang lebih muda, secara aktif terlibat dalam pemecahan masalah saat mencoba membuat struktur untuk mencocokkan gambar yang mereka rencanakan. Misalnya, anak yang belajar tentang segi enam dapat membangun dodecahedron dari stik es krim.

Anak-anak yang bermain tentu saja menunjukkan pemikiran dan pemecahan masalah yang kreatif. Selama bermain, anak-anak harus mengumpulkan informasi dari pengalaman sebelumnya, dari dunia nyata dan dari pemain lainnya. Frank (1968 : 436) menyimpulkan bahwa bermain adalah cara belajar dengan mencoba-coba untuk mengatasi dunia nyata. Dalam tinjauan penelitian tentang bermain saat ini, Stegelin (2005) menyatakan bahwa hubungan antara bermain dan kognisi jelas untuk anak di bawah usia lima tahun tetapi kurang jelas untuk anak kelas dasar. Sungguh mencemaskan melihat waktu bermain berkurang karena dorongan untuk lebih banyak akademisi bagi anak-anak yang lebih muda semakin kuat.

2.     Pengembangan Sosial dan Emosional

Dalam pandangan Piagetian, bermain mendorong anak-anak keluar pada pola berpikir egosentris (Piaget 1962). Artinya, anak-anak dalam situasi bermain dipaksa untuk mempertimbangkan perspektif teman bermain sehingga menjadi kurang egosentris. Jika Susan dan Juan berpura-pura memasak makan malam, masing-masing mungkin memiliki gagasan pasti tentang bagaimana tugas yang harus dilakukan. Masing-masing harus mengakomodasi pemikiran orang lain untuk melanjutkan bermain. Mereka juga berkesempatan untuk belajar menunda kepuasan mereka sendiri selama beberapa menit selama espisode bermain.

Anak-anak sering memainkan ketakutan dan kekhawatiran mereka. Sebuah penelitian melaporkan reaksi sekelompok anak setelah menyaksikan kecelakaan di taman bermain dan menjelaskan bagaimana harus mengatasi stres melalui bermain (N.Brown, Curry dan Tittnich, 1971). Anak-anak dalam kelompok usia berbeda (3, 4, dan 5) memasukkan kecelakaan ke dalam permainan mereka secara berbeda, tetapi masing-masing kelompok mengungkapkan rasa takut dan mencoba untuk membebaskannya melalui permainan rumah sakit atau permainan lain dengan unsur seseorang terluka. Dalam contoh lain, anak-anak yang pernah mengalami  bermain tornado memainkan berbagai bentuk bersembunyi dari tornado atau tornado akan datang untuk waktu yang lama setelah pengalaman. Barnett (1984) menemukan bahwa anak-anak yang gelisah menunjukkan penurunan kecemasan setelah mengesahkan ketakutan mereka dalam episode bermain.

Meskipun mayoritas guru tidak dilatih menjadi ahli terapi bermain, mereka dapat menyadari bagaimana anak mengeksplorasi emosi yang berbeda (marah, sedih, dan sebagainya) dan peran sosial yang berbeda dalam permainan. Misalnya, anak-anak mungkin mencoba peran menganiaya dalam situasi bermain, setelah mereka mendapat umpan balik tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka dalam peran itu, mereka dapat mengubah perilaku mereka.

Stegelin (2005:84) merangkum manfaat bermain dalam pembangunan sosial : “kompetensi sosial sebagian besar dikembangkan pada usia enam tahun, adalah pengasuhan terbaik pada anak kecil melalui permainan sosiodrama dan berpura-pura dengan teman, interaksi sosial dalam kelompok kecil dan asimilasi rutinitas dan keterlibatan timbal balik dengan teman dan orang dewasa yang peduli”.

3.     Perkembangan Fisik

Anak-anak mencapai kontrol motorik halus dan kasar melalui permainan. Mereka melatih kemampuan motorik kasar berlari, melompat, dan melompat saat bermain. Anak yang bermain dapat didorong untuk mengangkat, membawa dan berjalan atau melompat, berputar dan bergerak sebagai respons terhadap ritme. Anak juga dapat mempraktikkan keterampilan motorik halus dengan merangkai manik-manik, puzzle, memukul paku palu ke kayu, atau melukis, dan lain-lain.

Tidak hanya anak kecil yang perlu bermain aktif, anak-anak yang lebih tua juga harus berpartisipasi dalam permainan ini. Anak dapat melempar, menangkap, menendang, memukul, mengemudi sepeda roda dua dan sepatu roda dua secara seimbang. Anak-anak saat ini sering menghabiskan banyak waktu dalam perilaku pasif seperti menonton televisi atau video. Anak-anak ini terutama perlu memiliki kesempatan untuk memanjat, mengayun, menarik, mendorong, berlari, melompat, melompat, dan berjalan untuk mendapatkan kendali atas tubuh mereka.

 

Pengembangan Perilaku Bermain

Perilaku bermain anak-anak berkembang sejak bayi hingga masa kanak-kanak. Setiap usia dicirikan oleh berbagai jenis dan tujuan bermain.

1.     Masa kecil

Bermain masa kecil adalah sensorimotor. Mereka mengeksplorasi obyek/ orang, dan menyelidiki efek tindakan pada obyek dan orang. Pada sekitar akhir tahun pertama, anak-anak mulai menunjukkan perilaku bermain seperti pura-pura makan atau tidur (Rubin, Fein dan Vnderberg 1983). Mereka juga dapat memulai interaksi yang menyenangkan dengan orang lain seperti bermain ciluk ba.

2.     Prasekolah

Anak-anak prasekolah menghabiskan sebagian besar waktu bermain dalam bermain eksplorasi atau berlatih. Mereka lebih fokus pada proses daripada produk dari permainan mereka. Misalnya, mereka mungkin mencampur warna cat atau warna tanah liat, tetapi minat mereka ada pada apa yang terjadi pada materi, bukan pada lukisan atau patung yang kemudian dihasilkan.

Anak-anak ini sering terlibat dalam permainan sosiodrama atau fantasi, tetapi umumnya berfokus pada pengalaman sendiri. Misalnya, memainkan ibu dan anak atau peran keluarga lainnya. Dalam permainan fantasi, anak suka memiliki bahan menyerupai hal-hal nyata, seperti sapu kecil untuk menyapu atau telepon putar atau pemindai kelontong yang menyerupai peralatan yang sebenarnya.

Usia tiga dan empat mulai melibatkan orang lain dalam permainan. anak mungkin ingin seseorang meminum teh atau memakan kue. Keterlibatan ini secara bertahap menjadi sosiodrama, bergantung pada orang lain demi kesuksesan main.

Permainan anak prasekolah sangat kuat; suka mengejar satu sama lain dan memanjat dan melompat. Tetapi anak biasanya tidak terlalu tertarik pada aturan dalam permainan. Anak membutuhkan banyak dukungan dalam permainan yang sederhana atau selama mengalami kesulitan mengikuti aturan tentang cara main.

3.     Kelas Dasar Awal

Anak TK dan siswa kelas satu yang terlibat dalam permainan sosiodrama yang melibatkan beberapa anak dalam episode bermain, dan tanpa benda-benda realistik untuk digunakan. Balok, misalnya, dapat menjadi apa pun yang mereka perlukan. Pada usia ini, permainan fantasi cenderung kurang berfokus pada peran rumah dan lebih pada peran yang diamati di masyarakat, seperti petugas polisi, atau pada cerita yang didengar atau dibaca seperti Three Billy Goats Gruff.

Bermain praktikal dan waktu yang dihabiskan untuk mengeksplorasi obyek baru berkurang selama kelas-kelas dasar yang melelahkan (Ellis, 1979). Sebagian besar permainan anak-anak ini adalah permainan konstruktif, melibatkan penciptaan sesuatu. Anak suka membuat lubang dengan pelubang kertas, tetapi juga suka menempelkan potongan di selembar kertas untuk membuat desain atau kartu ucapan. Anak dapat memulai permainan mereka dengan membangun perahu atau pesawat terbang. Tidak seperti usia 3 dan 4 tahun yang hanya memindahkan benda di sekitar, usia 5 dan 6 tahun ingin memiliki produk hasil permainan.

Permainan dengan aturan menjadi lebih penting dalam permainan awal siswa sekolah dasar.Mereka mungkin percaya bahwa aturan dibuat oleh beberapa otoritas tidak dikenal dan biasanya sangat kaku. Anak-anak usia ini tidak dapat menyesuaikan aturan untuk memperhitungkan kondisi, seperti jumlah kartu yang didapatkan orang saat bermain dengan jumlah pemain yang berbeda. Anak perlu bantuan orang dewasa dalam belajar untuk menerapkan dan memahami aturan.

4.     Anak Usia Menengah

Usia tujuh dan delapan masih menikmati permainan konstruktif dengan lego dan bahan konstruksi lain, meskipun biasanya mereka bermain lebih sedikit dengan balok-balok daripada anak yang lebih muda. Kurangnya main konstruksi dikarenakan anak memiliki lebih sedikit akses ke bahan-bahan konstruksi di kelas.

Bermain praktikal menjadi lebih kognitif ketika anak belajar menggunakan keterampilan literasi untuk menciptakan cerita dan belajar informasi. Bermain sosiodrama cenderung berganti menjadi drama kreatif, seperti memerankan cerita (adegan). Anak-anak di masa kecil menengah dapat memerankan adegan/ drama sejarah untuk membantu memahami fakta ilmiah, seperti perilaku molekuler zat.

Permainan dengan aturan mendominasi anak berusia tujuh dan delapan tahun. Permainan papan, permainan komputer dan permainan atletik seperti sepak bola dan bisbol, menjadi hal penting dari pengalaman bermain. Anak-anak pada usia ini dapat menerapkan aturan bermain lebih fleksibel dan mengintegrasikan kognitsi serta sosial mereka yang tumbuh dengan lebih mudah.

 

Bermain dalam Tatanan Lingkungan Sekolah

Cara-cara bermain di sekolah biasanya berbeda dari bermain di rumah. Umumnya, terdapat lebih banyak anak dalam kelompok bermain di sekolah jika dibandingkan kelompok bermain di rumah. Bahan main di sekolah sering berbeda dengan bahan di rumah. Jenis dan bahan bermain juga berbeda dalam hal mana mereka harus dibagikan. Dalam kelompok besar, anak-anak di lingkungan sekolah harus mampu belajar untuk bekerja sama dengan orang lain. Memikirkan bermain di rumah dan di sekolah akan membantu guru dalam menjelaskan kepada orangtua mengapa bermain di sekolah diperlukan dan bukan duplikasi permainan di rumah.

Tabel Perbedaan antara Bermain di Rumah dan di Sekolah

 

Rumah

Sekolah

Teman sebaya

Usia campuran, dipilih sendiri

Usia sebaya, adanya seleksi dalam grup

Ukuran Kelompok

Sendiri atau kelompok kecil

Kelompok besar

Bahan dan peralatan

Dibatasi oleh biaya, ruang main berantakan

Pilihan lebih besar, kurang dibatasi

Bimbingan, pengawasan

Sering terfokus hanya pada masalah keamanan

Panduan pengembangan konsep tertentu, model perilaku permainan, pertanyaan tentang belajar

Interaksi orang dewasa

Membeli materi, selalu menengarkan permintaan anak, hadir jika muncul masalah keamanan

Memfasilitasi bermain, berinteraksi dengan masing-masing anak, menentukan tujuan anak

Komitmen Waktu

Harus sesuai dengan jadwal keluarga, episode main lebih pendek

Waktu yang dijadwalkan secara teratur, periode main yang lebih lama

Perencanaan

Dipandu oleh anggaran keluarga, “Pergi main sana…” menjadi perintah umum

Pilihan bahan dan peralatan main, adanya evaluasi pengalaman

Ruang

Lokasinya di kamar tidur, ruang keluarga atau di ruang ruang tamu

Ruang main lebih besar untuk main balok, area memanjat, dan lain-lain

Biasanya bermain lebih terbatas di sekolah daripada di rumah. Aktivitas bermain sekolah cenderung lebih dipandu dan diamati lebih dekat. Guru lebih cenderung merencanakan cara spesifik untuk meningkatkan permainan daripada kebanyakan orangtua. Sebagai contoh, jika guru mengamati sekelompok anak yang mencoba membangun roket ruang angkasa, ia dapat mengumpulkan bahan dari sekitar ruangan, seperti kotak atau cat yang akan membantu anak. Guru juga menemukan buku di perpustakaan, gambar pesawat ruang angkasa, atau situs web atau kaset video untuk memperluas permainan ke aktivitas lain.

Guru memilih pengalaman bermain yang sesuai dengan tujuan. Jika tujuan program menekankan pada penemuan, maka bermain bebas menjadi yang paling tepat. Akhirnya, pengalaman bermain terbaik yang diarahkan adalah jika guru ingin anak-anak menunjukkan keterampilan khusus.

Dalam mempelajari konsep suara, seorang anak dalam situasi bermain bebas menemukan bahwa dapat menghasilkan suara dengan memukul permukaan benda. Guru yang waspada akan membantu dalam penemuan dan terus mengeksplorasi suara jika anak masih berminat. Membimbing dalam bermain akan sesuai untuk mengajarkan konsep bahwa nada suara bervariasi soal panjang dan ukuran senar yang bergetar. Guru menyiapkan kotak dengan berbagai ukuran karet gelang yang dibentangkan di atasnya. Setiap kali anak menyatakan minatnya pada materi ini, anak didorong untuk menemukan perbedaan suara yang dihasilkan oleh berbagai karet. Dalam permainan terarah, guru meminta anak mendengarkan suara dari berbagai instrumen dan menunjukkan gerakan tangan dengan perubahan nada.

Van Hoorn, dkk (1993) menggambarkan bermain di sekolah sebagai main instrumental atau terlarang. Permainan instrumental adalah yang direncanakan dan didorong guru, seperti skenario sosiodrama dari bermain rumah sakit. Permainan ilisit tidak diperbolehkan, bahkan dilarang tegas oleh guru. Contoh ilisit termasuk anak-anak yang membuat senjata dari Tinkertoy atau memberikan catatan rahasia di balik punggung guru. Meskipun permainan semacam itu dapat membuat guru tidak nyaman, Sutton-Smith (1988) tetap mengingatkan kita bahwa hal itu juga berkontribusi pada keterampilan sosial anak yang sedang berkembang.

Haruskah permainan terlarang dilarang dari kelas anak usia dini? Tidak ada jawaban pasti jelas untuk pertanyaan ini. Guru yang melarang bermain perang atau bermain superhero menyadari bahwa anak menemukan cara untuk terlibat dalam kegiatan ini. Guru kemudian kehilangan kesempatan untuk mempengaruhi ide anak tentang kekerasan dan bagaimana mengelola kekuatan dalam komunitas sosial (Boys, 1997). Hasilnya adalah lebih banyak ketegangan dan masalah manajemen. Di sisi lain, beberapa pendidik percaya bahwa bermain perang merangsang anak untuk percaya bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk memecahkan masalah. Sosiopolitikalis berpendapat bahwa mainan perang berisi pertempuran dan pembunuhan, mempromosikan materialisme berlebihan dan mendorong agresi yang tidak perlu (Isenberg dan Jalongo 1993 : 246).

Beberapa guru menyarankan mengarahkan kembali permainan perang atau superhero untuk fokus pada hal-hal positif yang dapat dilakukan oleh tentara atau pahlawan, seperti menyelamatkan orang-orang yang terjebak oleh bencana alam dan membangun rumah sakit untuk membantu orang-orang yang terluka. Guru juga harus membantu anak-anak belajar menyelesaikan konflik harian secara damai (Levin : 2003; Rogers dan Sharapan : 1991). Orangtua harus terlibat dalam membuat keputusan tentang bagaimana menangani permainan perang dan jenis kekerasan lain di kelas sehingga guru memiliki pemahaman dan dukungan.

 

Peran Guru dalam Aktivitas Bermain Anak

Dalam mengatur kelas bermain, guru berperan penting, sebagai pengamat, elaborator, model, penilai dan perencana permainan (Bjorkland, 1978).

1.     Observator (Pengamat)

Guru harus memperhatikan interaksi anak dengan anak lain dan dengan obyek. Dia harus mengamati lama waktu anak dapat mempertahankan episode bermain, dan harus mencaritahu anak yang mengalami kesulitan bermain atau bergabung dengan kelompok bermain. Observasi ini kemudian harus digunakan dalam merencanakan pengalaman bermain tambahan, dalam membuat keputusan tentang kapan memasuki situasi bermain, dan dalam menilai permainan anak-anak secara individual. Dalam tinjauan penelitian tentang efek lingkungan fisik pada perilaku anak dalam pengaturan prasekolah, Phyfe-Perkin (1980) menyimpulkan bahwa jika pengaturan adalah untuk mendukung perkembangan kegiatan yang tepat, guru harus terlibat dalam pengamatan sistematis anak-anak dalam bermain.

2.     Elaborator

Jika anak-anak bermain pergi ke penata rambut, guru dapat membantu anak mengumpulkan barang yang dapat digunakan untuk mewakili setting toko penata rambut. Dia mungkin menemukan foto atau ilustrasi majalah yang akan membantu anak-anak membangun salon kecantikan. Guru mungkin bahkan ikut bermain sebentar dan memberi pertanyaan yang membimbing anak-anak berpikir melalui peran mereka tentang perjalanan ke penata rambut. Jika anak yang lebih tua terlibat dalam penelitian serangga, guru mungkin menyediakan film/ rekaman serangga sehingga anak dapat menciptakan gerakan suara atau serangga.

3.     Pemodel (Model)

Guru yang menghargai bermain sering menjadi model perilaku yang sesuai dalam situasi bermain. Sebagai contoh, seorang guru dapat memilih untuk duduk sebentar di area balok dan bergabung dengan anak-anak dalam membangun untuk memodelkan cara-cara menggunakan balok. Atau mungkin bergabung dengan permainan drama untuk memodelkan perilaku yang berguna dalam memasukkan kelompok bermain dan tanggapan yang berguna untuk membantu bermain terus

Kadang-kadang, guru dapat memodelkan perilaku bermain yang memulai episode bermain atau kembali ke jalur jika telah pergi ke arah negatif. Misalnya, anak-anak yang memainkan karakter dari program televisi mungkin mulai mengejar dan menangkap satu sama lain tanpa tujuan. Guru mungkin mengajukan beberapa pertanyaan tentang tujuan dari karakter dan menunjukkan bagaimana mereka dapat menangani interaksi tanpa berlari dan mengejar di dalam ruangan.

4.     Evaluator (Penilai)

Sebagai penilai dari permainan, guru harus cermat menjadi pengamat dan pembuat diagnostik untuk menentukan bagaimana insiden bermain yang berbeda melayani kebutuhan setiap anak dan pembelajaran apa yang terjadi ketika anak- berpartisipasi dalam permainan. Adalah tugas guru untuk mengenali pertumbuhan akademik, sosial, kognitif, dan fisik yang terjadi selama bermain dan mampu mengkomunikasikan perubahan ini kepada orangtua dan administrator. Evaluasi berarti bahwa materi, lingkungan, dan kegiatan harus dipertimbangkan hati-hati sesuai dengan tujuan kurikulum dan perubahan harus dilakukan jika diperlukan.

5.     Perencana

Perencanaan guru melibatkan semua pembelajaran dari hasil mengamati, mengelaborasi dan mengevaluasi. Guru harus merencanakan pengalaman baru yang akan mendorong atau memperluas minat anak-anak.

Misalnya, orangtua yang menjadi pelayan sepatu dihadirkan di kelas untuk berbagi pekerjaannya. Dia mungkin mengukur kaki anak-anak dan menunjukkan bagian dari pekerjaannya untuk menunjukkan kepada pelanggan beberapa pilihan sepatu dalam ukuran yang tepat dan untuk membantu mencoba sepatu. Dalam merencanakan untuk melanjutkan minat anak yang jelas, guru dapat melakukan beberapa hal; mengumpulkan koleksi berbagai jenis sepatu, menemukan rak yang cocok untuk menyimpannya, meminjam beberapa alat untuk mengukur kaki, dan sebagainya. Perencanaan cermat dari pengajar akan menghasilkan hari pastifipasi aktif bermain dari anak saat mereka mengatur kursi untuk membuat toko sepatu, menulis penjualan dan tas sepatu untuk dikirim pulang dengan pelanggan. Guru dapat mendorong anak untuk berbicara tentang berbagai jenis sepatu (termasuk yang dipakainya), untuk menggambar sepatu, membuat tanda untuk toko sepatu mereka, dan bahkan menulis cerita tentang sepatu. Ketika anak-anak mengikat tali sepatu dan tidak lagi menunjukkan minat bermain dengan mereka, sepatu harus dihapus. Pada saat itu, guru akan sudah merencanakan pengalaman lain yang akan menarik minat anak-anak dan dapat diperpanjang dalam permainan (Ford, 1993).

Dalam merencanakan bermain yang berkontribusi bagi pengembangan anak, guru mempertimbangkan pedoman berikut (Bodrova dan Leong, 1996 : 132) :

a.     Pastikan anak-anak memiliki waktu yang cukup untuk bermain

b.     Bantu anak-anak memainkan permainan mereka

c.     Pantau kemajuan bermain

d.     Pilih alat peraga dan mainan yang tepat

e.     Sediakan tema yang dapat diperpanjang menuju hari-hari berikutnya

f.      Latih orang yang membutuhkan bantuan

g.     Sarankan atau model bagaimana tema dapat dijalin bersama

h.     Buat model cara yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan

 

Bermain di Kelas-Kelas Pendidikan Dasar

Sebagian besar guru menyadari bahwa bermain jauh lebih dapat diterima di ruang kelas prasekolah/ taman kanak-kanak daripada di ruang kelas pendidikan dasar. Harapan bahwa hanya pembelajaran serius yang harus dilakukan di ruang kelas pendidikan dasar utama adalah lazim di antara orangtua dan juga di antara beberapa guru. Namun yang lain yakin bahwa bermain bisa menjadi pembelajaran serius bagi anak-anak kelas pendidikan dasar. Memang, permainan anak di kelas satu dan dua tidak terlihat seperti anak prasekolah/ TK; meski demikian, bahwa bermain dapat menjadi pemebelajaran yang serius untuk anak-anak usia dini.

Sebagai contoh, anak-anak di kelas pendidikan dasar senang menjelajahi dan membangun dari berbagai bahan, menciptakan mesin-mesin baru dari bagian-bagian lama, mencipta mainan, membangun robot dan model, dan menyelesaikan masalah fisika dasar (seperti menjatuhkan materi yang berbeda dari ketinggian yang berbeda dan mengukur kecepatan di mana mereka jatuh). Kegiatan untuk anak-anak kelas dasar biasanya harus didasarkan pada minat khusus anak-anak untuk menghasilkan partisipasi yang antusias, yang tidak begitu banyak terjadi pada anak prasekolah.Anak-anak di kelas dasar pasti terus bermain, meskipun permainan itu mungkin terlarang dan disembunyikan dari guru.

Wasserman (1992) mengisahkan tentang Wright bersaudara dan Frank Lloy Wright dan pengalaman bermain awal mereka. Sayangnya, orang-orang yang cerdas dan produktif ini, yang menyumbangkan begitu banyak pengetahuan dan kehidupan kita, sering tetap tidak bersekolah untuk menikmati keingintahuan dan permainan mereka. Wasserman menegaskan bahwa mengacaukan sangat penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan memecahkan masalah. Guru harus mendorong anak untuk menemukan dan mengeksplorasi yang benar-benar diminati, apakah itu membangun balok atau menjelajahi proses kimia.

Anak-anak usia dini juga tertarik dengan permainan dengan aturan dan senang belajar memainkan berbagai permainan luas. Meskipun jenis permainan ini mungkin tidak memberikan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi masalah dan menciptakan solusi sebagai “mengukur tentang” bermain papan permainan dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi.

 

Manfaat Bermain di Sekolah

Ketika bermain diterima sebagai kendaraan untuk membawa kemajuan kurikulum, anak-anak dapat belajar ketrrampilan berorganisasi, mengembangkan keterampilan bahasa lisan, dan belajar mengambil risiko dalam memecahkan masalah (Perlumutter dan Burrel, 1995). Bermain itu membantu anak-anak dalam perkembangan mereka yang dapat dicapai di sekolah jika guru menyediakan waktu, ruang, bahan dan sanksi untuk kegiatan bermain.

Tentunya, anak-anak perlu waktu untuk merencanakan dan melaksanakan episode bermain mereka dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan bermain. Tidak ada anak yang dapat mengatur dan menyelesaikan konstruksi balok yang memuaskan dalam sepuluh menit yang dialokasikan untuk bermain di beberapa ruang kelas. Christie, Johnson, & Peckover (1988) dan Christie & Wardle (1992) menemukan bahwa pola bermain anak dalam periode main yang lebih lama akan lebih matang daripada anak yang periode mainnya lebih pendek.

Ruang dan bahan main juga merupakan prasyarat untuk bermain produktif. Bahan seperti pasir, air, balok dan cat mengambil banyak ruang. Guru mungkin harus mengatur kelas sehingga ruang yang sama digunakan lagi nantinya.

Menyetujui bermain itu penting; karena anak akan mengambil petunjuk halus dari guru yang bermain itu penting atau tidak penting. Salah satu cara bagi guru untuk memastikan anak merasa bahwa bermain itu penting adalah bergabung dalam sebuah seni nyata untuk mengetahui kapan dan bagaimana bergabung tanpa mengganggu permainan dalam mengubahnya untuk memenuhi definisi dewasa.

 

Pemilihan Bahan untuk Bermain

Guru memiliki banyak pilihan dalam memilih bahan untuk bermain. Bahan-bahan yang sifatnya open-ended (terbuka)—yang menghasilkan ragam hasil main yang unik di setiap penggunaan—adalah yang paling disarankan untuk digunakan sebab bahan-bahan ini mendukung pemikiran kreatif dan pemecahan masalah anak. Beberapa bahan boleh saja berupa benda padat yang tidak memiliki struktur terpisah, seperti pasir dan air; atau bahan terstruktur seperti berbagai bentuk balok kayu. Balok, pasir, dan air tidak memiliki fungsi pembangunan yang membatasi kemungkinan hasil bermain. Jadi, bahan-bahan tersebut sesuai untuk mengasah kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah bagi anak.

Anak yang bermain balok dapat menciptakan struktur yang menampilkan pemahaman mereka tentang dunia yang sebenarnya atau menampilkan fantasinya. Bermain dapat menghasilkan kembali struktur yang sudah ada (sudah diketahui) atau merancang sesuatu yang benar-benar baru; mereka dapat mengatur hasil dan memutuskan ketika struktur tersebut sudah lengkap tanpa rasa takut akan dikritik atau ditolak. Pemain dalam permainan balok bebas melakukan penemuan tentang hubungan antara bentuk, ukuran, dan penumpukan balok. Anak dapat mengalami kesenangan estetis dari bangunan balok dan keteraturan konstruksi bangunannya.

Anak yang bermain dengan pasir dan air menjadi bebas mengeksplor properti bahan tersebut dan untuk belajar tentang bagaimana bahan tersebut merespon di bawah kondisi yang berbeda. Mereka menambahkan hasil main dan membedakan kepuasan masing-masing dari bermain itu sendiri menuju tujuan mereka sendiri. Pasir dan air memperbolehkan adanya percobaan individu dan juga interaksi dalam kelompok. Anak menggunakan pasir dan air menciptakan hasil main mereka sendiri dan merasa puas ketika tujuan main mereka tercapai.

Bahan yang memperbolehkan anak dalam membuat pilihan main dan hasil main yang beragam adalah penting bagi lingkungan main terbaik. Banyak bahan dapat dipertimbangkan menjadi bahan open-ended jika hal tersebut memungkinkan bagi anak untuk menggunakannya dalam berbagai cara. Sebagai contoh, guru boleh menyediakan penggiling, kotak, bola, dan sasaran yang akan membantu anak mengembangkan konsep dalam sains fisik. Bahan ini terbuka untuk diperluas jika anak memiliki banyak pilihan dalam menjelajahi penataan dan keluaran yang dapat diterima oleh mereka. banyak bahan dari pabrik, yang sifatnya membatasi aktivitas main anak, yang hanya menyediakan satu atau dua pilihan. Ketika sadar habis-habisan untuk membayar bahan main dari pabrik, bahan open-ended menjadi pilihan investasi terbaik.

 

Bermain sebagai Strategi Mengajar

Guru memiliki pilihan dalam menentukan bagaimana menunjukkan informasi atau konsep pada anak. Beberapa informasi seharusnya ditunjukkan dalam pengarahan guru. Sebagai contoh, aturan keselamatan diri, seperti menghadapi api, tidak boleh dieksplor; mereka harus diatur secara ketat. Sejujurnya, ceramah menjadi strategi paling berhasil dalam menunjukkan informasi pada anak. bahkan anak mampu mengulang kata dan frasa, tetapi hanya respon verbal yang mengindikasikan bahwa mereka telah belajar kata; beberapa tanggapan tidak bisa mengukur tingkat pemahaman anak secara keseluruhan.

Bermain menjadi salah satu strategi pengajaran yang tersedia bagi guru sebagaimana mereka merencanakan pembelajaran bagi anak. Berikut ini beberapa ilustrasi tujuan pembelajaran yang diperoleh melalui bermain :

1.     Mendorong anak agar belajar tentang pakaian yang sesuai dengan musim, dengan menyediakan ragam model pakaian di area main merias diri.

2.     Mendorong anak untuk belajar bagaimana menciptakan warna baru, dengan menyediakan cat warna-warna primer.

3.     Mendorong anak untuk mendemonstrasikan kemampuan dalam mengelompokkan/ mengklasifikasikan dengan menyediakan daun, kerang, kunci, kancing, dan model binatang ternak atau binatang kebun binatang.

4.     Mendorong anak untuk mempelajari karakteristik bentuk benda tiga dimensi dengan menyediakan beragam bentuk kotak, geoblock, dan balok.

5.     Mendorong anak untuk belajar tentang erosi air di permukaan tanah, dengan menyediakan air di dalam wadah (sehingga alirannya dapat dirubah) di area main pasir atau area berkebun.

Menggunakan pengalaman bermain sebagai strategi mengajar, bermaksud agar guru mengamati bagaimana anak menggunakan bahan-bahan tersebut dan menanyai anak sambil membimbing pemikiran dan refleksi anak. Sebagaimana Sutton-Smith (1986 : 13) mengingatkan bahwa, “Walaupun diterapkan permainan dalam berbagai cara di kelas untuk tujuan tersendiri, guru perlu ingat bahwa tujuan anak memiliki maksud sendiri, dan perlu menyesuaikan dengan tujuan yang lebih luas oleh cara mereka sendiri (bahkan di dalam pengawasan tidak ketat), menggunakan jenis komunikasi penting dan menyeluruh [bermain]”.

Guru dapat membuat beberapa rencana untuk pengalaman-pengalaman bermain, tetapi kebutuhan anak perlu dihargai dan mereka harus diperbolehkan untuk bermain demi pembelajaran mereka sendiri. Di lain kata, “Selanjutnya, bermain memberi anak kesempatan untuk menyusun kepekaannya terhadap dunia dengan alat-alat yang tersedia. Pemahaman muncul dengan melakukan, dengan melakukan bersama orang lain, dan menjadi terlibat sepenuhnya dalam aktivitas tersebut. Melalui bermain, anak menjadi mengerti tentang dunia dan orangtua jadi memahami anak” (Chaille dan Silvern, 1996 : 277).

Keyakinan Vygotsky bahwa bermain representasi melibatkan aturan perilaku adalah jelas atau penting bahkan bagi pengamat tak terlatih saat mereka melihat anak yang menentukan atau menerima peran dan kemudian dilakukan (secara baik-baik) saat gagal berperilaku sesuai peran tersebut. Sebagai contoh, anak bermain menjadi “anjing” tidak boleh bekerja, begitu pula peran “bayi” dalam berperilaku menonton televisi. sebagaimana disimpulkan oleh Berk (1994 : 33) sebagai berikut, “Bermain imajinatif bagi anak prasekolah itu penting bagi perkembangan selanjutnya dalam bermain di sekolah menengah—khususnya, untuk perpindahan menuju permainan dengan ataupun tanpa alat, yang menyediakan petunjuk tambahan dalam meraih tujuan, mengatur perilaku menuju tujuan atau target, dan menyelami aksi untuk mengatur agar tertib daripada seenaknya sendiri—singkatnya, untuk menjadi anggota masyarakat yang bisa bekerjasama dan produktif. Bermain menurut teori Vygotsky adalah pendidikan (aktivitas) utama bagi anak usia dini”.

Guru mempunyai banyak kesempatan untuk merencanakan lingkungan dan bahan bermain, sehingga dapat meraih tujuan belajar dalam aktivitas yang menyenangkan. Pengamatan terhadap anak saat bermain akan membimbing anak dalam memilih bahan main lain yang akan membantunya belajar konsep dan mengklasifikasikan dan memperluas pemahaman mereka.

Memilih bermain dalam bimbingan sebagai strategi mengajar tidak berarti bahwa permainan tersebut sudah ditentukan : berarti bahwa berpikir sungguh-sungguh perlu dalam pemilihan bahan dan pelibatan dalam permainan anak. Guru mungkin menyediakan beragam bahan dengan harapan akan memancing anak untuk mengeksplor konsep baru. Jika anak tidak belajar konsep dari interaksinya dengan bahan, guru lalu menentukan bahan lain atau mengganti pendekatannya. Menentukan atau memaksakan anak agar menyelesaikan tugas berarti guru tidak membebaskan anak agar memilih, dia menerapkan strategi bukannya bermain.

Cooper dan Dever (2001) menemukan bahwa bermain peran adalah alat terbaik untuk menggabungkan kurikulum. Mereka meminta anak untuk memilih tema yang melibatkan anak dalam kegiatan menulis, bahasa/ perkembangan berbicara, matematika, dan area muatan lain. Melalui kegiatan tersebut, anak mengembangkan kemampuannya dan menikmati tema main tersebut.

Demikian, guru harus penuh perhitungan dalam melibatkan diri pada permainan atu aktivitas anak dan hindari mencoba memaksakan keinginannya terhadap kepentingan anak. Sebagai contoh, guru dapat memulai permainan dengan kelompok kecil dan menghadirkan tema untuk bermain, tetapi anak harus diperbolehkan untuk menolak tema tersebut atau merubahnya menjadi sesuatuyang menarik perhatiannya. Guru juga dapat mengasumsikan sebuah peran dalam bermain peran, seperti “tetangga kita datang untuk makan siang”, tetapi tetap dengan hati-hati. Selebihnya, guru perlu memikirkan bagaimana atau kapan saat yang tepat untuk meninggalkan permianan agar anak dapat melanjutnya main sesuai dengan caranya (Ward, 1996).

 

Mengkomunikasikan Manfaat Bermain

Guru memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada orangtua dan tenaga administrasi tentang manfaat waktu yang anak habiskan dengan bermain selama hari bersekolah. Bagian dari kepekaan atau responsbilitas adalah agar mampu menyediakan informasi khusus tentang pribadi anak dan pengalaman bermain.

Suatu bentuk data atau laporan yang dibagikan adalah laporan atau catatan anekdot. Melalui jenis pencatatan ini, guru atau orang dewasa lain mencatat perilaku dan kosakata anak dari uraian waktu ke waktu. Penilaian tentang tujuan atau motivasi anak seharusnya disebut jelas seperti dalam catatan dan dibedakan dari penjelasan perilaku anak yang terlihat. Di akhir bulan/ tahun/ ajaran, catatan ini ditempatkan dalam berkas pribadi anak. Melebihi batas waktu, catatan tersebut sebaiknya menunjukkan beberapa pola yang akan membantu guru agar erbincang dengan rekannya tentang pertumbuhan anak melalui bermain.

Sebagai contoh, guru memiliki catatan bahwa Jen bermain menggunakan balok dan membuat pola mendatar darinya. Beberapa minggu kemudian, seorang pengamat mencatat bahwa Jen mulai menggunakan pola melintang di sepanjang bangunan balok mendatar. Selanjutnya, Jen melihat bangunan melintang bersama temannya. Lantas, dia membangun struktur melintang dan simetris. Seorang pengamat mencatat bahwa Jen sempat berbincang tentang bangunannya sebelum mulai membangun dan berhasil membangun sebuah struktur yang sesuai rencananya. Catatan ini akan dengan jelas menunjukkan perkembangan Jen dalam membangun lebih lengkap dalam struktur dan merencanakan mainnya.

Cara lain untuk mencatat main anak adalah mencatat di mana anak berada di kelas saat dengan jeda waktu. Sebagai contoh, setiap sepuluh menit, guru atau orang dewasa mencatat dalam bentuk tabel kisi-kisi di mana anak bermain dengan balok, dalam pusat bermain peran, pusat seni, atau kegiatan membaca. Waktu yang tersisa, catatan waktu-aktivitas menunjukkan pola-pola pilihan anak, dan seperti catatan anekdot—akan berguna dalam merencanakan kegiatan lain.

Cara ketiga yaitu untuk menjaga beberapa daftar ceklis yang tersebar di seluruh ruangan. Sebaai orang dewasa yang mengamati anak yang terlibat dalam perilaku teratur, dia mencatatnya dalam laporan. Sebagai contoh, perilaku yang muncul boleh didaftar atas formulir “merangkai sepuluh keping puzzle”, “meronce manik dengan aturan pola”, “bermain bersama dua orang teman”, dan lain sebagainya. Nama anak didaftar secara menurun di sisi samping formulir. Setiap kali anak diamati merangkai sepuluh keping puzzle, tanggal mainnya dicatat dalam formulir ersebut. Laporan seperti itu akan sangat membantu karena menawarkan kebebasan dalam memilih apa yang dicari dalam pengamatan dan terasa cepat mudah untuk mencatat.

Selanjutnya, guru dapat menyimpan produk contoh dari beberapa aktivitas bermain. Memilih lukisan contohnya, dapat disimpan dalam sebuah berkas yang dibandingkan dengan karya seni sebelumnya. Dengan jelas mungkin sekali untuk menyimpan contoh bangunan balok atau permainan pasir. Beberapa hasil dari aktivitas ini dapat dicatat dalam bentuk fotografi, tetapi kebanyakan akan dijelaskan dalam catatan anekdot. Anak membicarakan tentang pengalaman mereka setiap hari, guru dapat mencatat beberapa penilaian anak itu sendiri.

Sebelum guru berbagi cerita tentang apa yang dipelajari anak melalui pengalaman bermain, dia harus terlibat aktif selama anak bermain. Jika guru sibuk sendiri dengan tugas lainnya, sementara anak sedang bermain, maka guru akan kehilangan kesempatan mengamati dan mengambil keputusan/ pemikiran. Guru jadi tidak bisa berbagi cerita tentang apa yang tidak bisa didengar/ dilihat. Jadi bermain adalah waktu yang sibuk bagi guru dan anak.

Megbe Hughes, mendiskusikan asesmen penilaian dalam bermain dengan menggunakan fotografi dan perekaman video sebagaimana catatan anekdot. Memikirkan cara-cara lain dalam bermain di rang kelas bisa saja ikut dnilai untuk membantuk orangtua memahami kebergunaan bermain bagi anak.

 

Bermain dan Pembelajaran Akademik

Beberapa pengamat anak berpikir bahwa anak tidak belajar kemampuan akademik jika mereka menghabiskan waktunya dengan bermain. Kenyataannya, bermain berkontribusi terhadap perkembangan kemampuan akademik. Anak yang meminta atau memesan barang main dalam lebar ukuran dalam situasi bermain rupanya belajar pula tentang irama dan nyanyian dalam permainan langsung, atau mengeksplor irama atau membangun lego dalam bermain dengan bimbingan. Semuanya terlibat dalam aktivitas yang mendukung kemampuan membaca.

Membaca adalah proses menyeluruh yang melibatkan koordinasi mata, diskriminasi pandang dan suara, dan kemampuan kognisi untuk bekerja sebagian dari keseluruhan. Belajar adalah arti penting dari mengembangkan beberapa kemampuan. Collier (1983) menemukan bahwa bermain mendukung perkembangan kemampuan merepresentasikan dan pembentukan dasar simbolik yang penting untuk membaca. Berikut ini sedikit contoh dari berbgai pembelajaran akademik yang dikebangkan anak selama bermain.

1.     Seni Bahasa

a.     Mengembangkan kemampuan bahasa (kosakata, bahasa untuk dipakai dalam berbagai situasi seperti dalam mengemukakan pendapatnya atau menjelaskan dan bahasa imaginatif).

b.     Mengembangkan kemampuan diskriminasi pandang seperti memilih, membandingkan, mengelompokkan.

c.     Mengembangkan kemampuan diskriminasi suara seperti saat mereka mendengarkan orang lain, mengeksplor bunyi dari berbagai bahan dan bermain musik.

d.     Menciptakan cerita untuk boneka, membuat tanda untuk bermain, dan membuat buku yang berhubungan dengan mainnya.

e.     Mengambil/ mempertimbangkan sudut pandang orang lain.

f.      Mengembangkan kemampuan motorik halus yang dperlukan untuk menlis melalui melukis, menggambar, menggunting, membentuk tanah liat, membangun lego dan merangkai puzzle.

g.     Menulis sebagai bagian dari pengalaman bermain sebagaimana mereka menerima pesanan di rumah makan, melengkapi informasi diri sebagai pasien di klinik, membuat tanda untuk bangunan, dan sebagainya.

2.     Ilmu Pengetahuan Alam

a.     Mengembangkan kemampuan sains dalam mengamati, memperkirakan, mengumpulkan data, uji hipotesis.

b.     Belajar fisik sebagaimana mereka membangun balok dan belajar tentang beban, massa, dan berat.

c.     Belajar tentang mesin sederhana sebagaimana mereka mengujicobakan jalur landai, tuas, dan roda gigi.

d.     Belajar tentang sains bumi sebagaimana mereka bermain pasir dan mengamati cuaca.

e.     Belajar biologi sebagaimana mereka mengamati ruang kelas, aneka binatang dan siklus hidup binatang tersebut.

f.      Belajar kimia sebagaimana mereka mengamati campuran bahan-bahan dalam efek larutan garam, dan hasil pemberian panas terhadap beberapa senyawa.

g.     Menyelidiki berbagai konsistensi cat dan hasil penggunaan berbagai jenis kertas dengan kuas atau cara yang berbeda.

3.     Matematika

a.     Belajar tentang persamaan panjang lebar, ruangan tertutup dan terbuka, topografi atau pemetaan wilayah, dan bentuk-bentuk geometris padat sebagaimana mereka bermain balok.

b.     Belajar bagaimana mengatur teori sebagaimana mereka sedang mengelompokkan, menyortir/ memisahkan, dan mengklasifikasikan.

c.     Belajar untuk membandingkan susunan, mengembangkan satu per satu penyesuaian, dan memecahkan masalah dengan matematika (seperti menghitung bahan yang dipelrukan anak untuk bermain).

Anak usia dini menggunakan kerja terencana untuk dilibatkan dalam pengalaman main yang dapat membantuk mereka dalam menggabungkan pembelajaran mereka dan mengeksplor berbagai kemungkinan dalam topik yang diberikan. Pembelajaran anak tentang biji-bijian dapat melakukan memisahkan, mengelompokkan dan menggolongkan, berpura-pura menjadi biji yang bertunas; menciptakan perminan papan tentang fakta biji-bijian; menciptakan model biji-bijian dari tanah liat atau bahan lainnya; melukis biji-bijian; menggunakan biji-bijian dalam berhitung dan aktivitas matematika lain; dan lain-lain. Bermain sebaiknya tidak dibatasi bagi para anak usia dini, sebagaimana bermain juga menjadi alat penting dalam mengajar anak di kelas-kelas tingkat rendah.

Dalam merencanakan pengalaman bermain yang meningkatkan kurikulum, guru harus berhati-hati dalam membuat penyediaan alat bermain, tidak untuk menempatkan pengalaman yang sekadar menyenangkan. Banyak pengalaman menyenangkan dapat disediakan yang sesuai dengan instruksi tema, seperti memisahkan batu untuk mendukung tema belajar tentang batu (Stone, 1995/ 1996). Jika pengalaman tersebut disediakan sebagai pilihan dan anak memilih untuk terlibat, itulah yang disebut dengan bermain; tetapi jika guru lebih dulu menentukannya sebagai tugas, maka itu bukan disebut sebagai bermain. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu kriteria yang menentukan suatu kegiatan disebut sebagai bermain adalah adanya elemen pilihan. Jika pilihan tidak dihadirkan, maka definisi aktivitas tersebut bukan bermain.

Anak paham akan hal tersebut, mempertimbangkan seberapa sering anak mengklasifikasikan apa yang mereka lakukan di sekolah sebagai kegiatan bermain atau bekerja (melaksanakan tugas guru). Definisi umum adalah bahwa bekerja adalah hal-hal yang dtentukan oleh guru, walaupun anak yang lebih tua mungkin menyebutnya sebagai bermain selama hal tersebut terasa menyenangkan baginya.

 

Bermain di Luar Ruangan

Bermain di luar ruangan menyediakan banyak kesempatan bagi anak untuk memecahkan masalah intelektual, seperti bagaimana membuat agar air mengalir turun melalui baris saluran di kebun, dan juga bagaimana memecahkan masalah sosial emosi. Anak di area bermain memiliki banyak kesempatan memecahkan masalah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memiliki banyak cara untuk menggunakan berbagai bahan, dan memiliki banyak cara untuk membantu anak lain mencapai tujuan main mereka (Rivkin, 2001). Anak yang bermain di luar ruangan memiliki kebebasan lebih dibandingkan bermain di dalam ruangan.

Banyak guru yang mengamati bahwa kepemimpinan dalam aktivitas bermain akan lebih mudah diamati saat di luar ruangan dibanding dalam bentuk permainan kelompok kecil di ruang kelas. Thompson, Knudson, dan Wilson (1997) menemukan bahwa waktu peralihan (istirahat) diperlukan untuk perkembangan sosial. Mereka mengadakan pertemuan kelompok untuk membantu anak belajar bagaimana memecahkan masalah, untuk berinteraksi secara lebih sukses dengan temannya, dan untuk bernegosiasi dengan teman sekeas secara lebih sukses. Meskipun beberapa sekolah telah mengurangi atau menghilangkan waktu peralihan (istirahat), para guru dari anak sebaiknya mengingatkan pihak administrator bahwa hal tersebut tidak pantas bagi perkembangan anak sehingga perlu menyediakan waktu peralihan (istirahat) dengan alasan baik bahwa anak perlu disediakan waktu bermain di luar ruangan.

Agar menjadi produktif, bermain di luar ruangan perlu perencanaan, pengamatan, dan penilaian dengan menggunakan dasar permainan di dalam ruangan. Bermain di luar ruangan mungkin menawarkan manfaat yang tidak tersedia di dalam ruang kelas, seperti aktivitas otot besar dan sedikit kendali guru dalam hal berteriak, berlari, melompat, berguling, dan memanjat. Aktivitas tersebut dapat didukung luar ruangan di mana anak dapat aman dan anak lainnya tidak berada dalam bahaya, sebagaimana mereka bermain di dalam ruangan. Themes (1999 : 4) menjelaskan tentang manfaat bermain di luar ruangan sebagai “hubungan anak dengan alam, berbagai kesempatan untuk bermain sosial, dan kebebasan dalam bergerak dan bermain fisik secara aktif”.

Banyak aktivitas di dalam ruangan juga dapat dilakukan di luar ruangan, dengan memberikan bahan yang sesuai. Sebagai contoh, anak dapat menyusun kuda-kuda dan melukis gambar di luar ruangan, atau mereka menggunakan air untuk “melukis” bangunan dan trotoar, menggunakan kuas besar yang sesuai lebarnya untuk menyapukan usapan kuasnya. Anak dapat menikmati membangun balok di luar ruangan jika disediakan balok plastik dan tahan air yang besar, jalur landai, tangga, dan peralatan lainya. Berbagai bahan memastikan mereka untuk membangun struktur yang cukup luas untuk anak dapat masuk di dalamnya.

Walaupun para guru dari anak muda sering mengecilkan hati anak dengan melarang permainan kasar-jungkir balik karena beranggapan permainan jenis itu adalah perilaku negatif atau agresif, penelitian menunjukkan bahwa permainan tersebut berhubungan dengan usia anak. Khususnya, timbulnya permainan kasar-jungkir balik akan meningkat sebagaimana usia anak berpindah dari prasekolah kanak-kanak menuju usia sekolah dasar dan akan menurun sebagaimana anak mencapai usia sekolah menengah (Kostelnik, dkk, 1993). Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang ditolak oleh teman sebayanya biasanya akan salah menafsirkan permainan kasar-jungkir balik dan akan bertindak agresif.

Di sisi lain, anak-anak yang terkenal, akan lebih senang ikut serta dalam perilaku yang menyenangkan dan tidak agresif (Pellegrini and Boyd, 1993). Penelitian terkini dari Smith, Smees, dan Pellegrini (2004) menemukan bahwa anak dari usia lima tahun ke atas mampu membedakan mana bagian permainan yang dimainkan hanya berpura-pura berkelahi dan mana yang benar-benar berkelahi ketika mereka disediakan tayangan yang berkaitan.

Walaupun anak mungkin paham perbedaan antara tipe permainan tersebut, guru tetap harus menghentikan permainan jika sudah benar-benar menjadi perkelahian sesungguhnya. Guru sebaiknya waspada bahwa permainan kasar-jungkir balik akan berkembang selama siklus bermain anak. Ketika beberapa permainan menjadi agresif, guru sebaiknya terlibat dan membantu anak merubah perilaku tidak pantasnya (Bergen, 1994; Carlsson-Paige dan Levin, 1995).

Idealnya, anak sebaiknya mampu bermain di dalam dan di luar ruangan. Kurangnya pengawasan dan fakta beberapa sekolah memiliki area bermain di luar ruangan yang terhubung dengan ruang kelas lantas menciptakan pilihan yang sulit.

 

Anak dengan Kebutuhan Khusus

Untuk merencanakan pengalaman bermain bagai anak berkebutuhan khusus, guru harus berpikir tentang tingkat perkembangan masing-masing anak dan menciptakan permainan yang sesuai dengan tingkat tersebut. Umumnya anak yang sedang berkembang belajar untuk bermain secara kerjasama sejak usia tiga tahun. Anak yang tidak berkembang secara normal mungkin butuh waktu lebih untuk bermain secara soliter lalu dibimbing menuju jenis bermain yang perlu kerjasama dengan satu anak lain. Murata dan Maeda (2002 : 239) menyarankan agar guru seharusnya berpikir tentang penggunaan permainan terstruktur bagi anak dengan keterlambatan perkembangan sebagai cara membantu mereka dalam mengumpulkan kemampuan yang bermanfaat. Rekomendasinya meliputi :

1.     Menata lingkungan untuk melibatkan anak prasekolah dalam aktivitas motorik.

2.     Memperbolehkan anak prasekolah untuk menjelajahi dan terlibat dalam aktivitas fisik dengan bimbingan.

3.     Memperbolehkan anak prasekolah yang terlambat berkembang maupun tidak (normal) untuk saling berinteraksi.

4.     Merubah lingkungan untuk menyediakan generalisasi.

Semua anak dapat menerima kebermanfaat bermain, jika guru mampu menyediakan bahan yang sesuai dan mendukung anak untuk mengeksplor apa yang mereka lakukan dengan tubuh mereka. Sebagaimana dengan anak-anak lainnya, guru perlu memikirkan tentang anak dengan kebutuhan khusus dalam hal kebutuhan masing-masing mereka. Anak dengan kebutuhan khusus berbeda pula dalam hal perkembangannya.

Berikut ini daftar tentang kemungkinan penyesuaian bagi anak kebutuhan khusus di area bermain luar ruangan (Linda L. Flynn dan Judith Kieff; “Including Everyone in Outdoor Play”, Young Chlidren 57 (May 2002) : 20-26. Dicetak kembali atas ijin dari National Association for the Education of Young Children) :

1.     Tunanetra  atau Kekurangan Kemampuan Penglihatan

a.     Kenalkan anak dengan fitur besar dalam area bermain seperti trotoar, piranti memanjat, meja bak air, kotak pasir, kebun, dan pagar) yang dapat digunakan sebagai referensi. Ajak anak berkeliling di area bermain. Dengan pengawasan orang dewasa, seorang teman yang mampu melihat dapat menemani anak dengan menyediakan lengan/ siku untuk membantu anak yang tunanetra.

b.     Jelaskan apa yang terjadi di berbagai area untuk membantu anak yang tunanetra menemukan teman dan bergabung dalam permainan. Ketika anak memasuki area bermain, katakan padanya tentang anak mana yang sedang bermain memanjat, anak mana yang bermain di kotak pasir, dan anak mana sedang berkebun atau mengendarari mainan.

c.     Gunakan nama anak ketika mengarahkan perintah dalam beraktivitas, sebab anak tidak mungkin melihat gestur fisik seperti tunjukan tangan.

d.     Pastikan area bermain bersih dan aman dari mainan yang tertinggal atau potensi lain yang berisiko.

e.     Tandai lokasi area bermain dengan petunjuk yang berunsur suara. Berbagai lonceng atau bel dapat membantu anak mengenali lokasi tertentu. Sebagai contoh, gantungkan lonceng pada cabang pohon di atas kotak pasir. Sebagai awal, dampingi anak untuk berpindah menuju area yang diinginkan. Secara bertahap kurangi pendampingan dang anti dengan petunjuk verbal.

f.      Tempatkan mainan di bawah tangan anak untuk mendukung ekplorasi sensori dibanding menarik tangan anak untuk menyentuh atau menggenggam mainan.

g.     Sediakan permainan luar ruangan dengan rangsang pendengaran, sentuhan, bau/ aroma, dan pergerakan dan mendukung aktivitas yang disenangi anak-anak yang lain. Mainan yang memancing pendengaran adalah bola yang bergetar atau memiliki suara berisik di dalamnya. Mainan dan bahan yang memancing eksplorasi melalui sentuhan adalah mainan dengan tekstur menarik seperti Bola Koosh dan bola yang tidak rata. Bau dapat digabungkan dengan berbagai bahan dengan menambahkan ekstrak/ rasa pada cat dan air. Pergerakan dapat dialami melalui main berayun dengan dukungan tambahan untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan anak.

2.     Tunarungu atau Kekurangan Kemampuan Pendengaran

a.     Dapatkan perhatian anak melalui sentuhan dan gestur sebelum memberikan arahan/ perintah.

b.     Pastikan anak dapat melihat wajah dan bibir guru, tanpa ada bayangan yang menghalangi anak dalam memberikan arahan/ perintah. Pastikan anak yang tunarungu dan anak yang lain berada dalam posisi yang benar sehingga wajah dan gestur dapat saling terlihat satu sama lain dengan mudah.

c.     Gunakan gestur, ketepatan, dan petunjuk visual untuk mengkomunikasikan informasi. Gestur dapat meliputi menunjuk dan bahasa isyarat/ tanda. Ketepatan meliputi pendampingan fisik. Petunjuk visual meliputi penggunaan bahan konkret dan peniruan (seperti contoh mendemonstrasikan menggali dengan sekop di kebun).

d.     Pelajari isyarat dasar dan ajarkan pada anak lain jika bahasa isyarat menjadi cara berkomunikasi dari anak tunarungu.

e.     Pastikan bahwa anak dapat melihat kebanyakan area bermain dari berbagai posisi yang diberikan. Singkirkan dinding berlebih, pagar, atau tanaman pagar yang dapat menghalangi pandangan anak terhadap permainan anak-anak lain atau membuatnya menjadi terisolasi dari anak-anak lain.

f.      Sediakan mainan luar ruangan dan bahan-bahan yang menggunakan indera lain bagi anak, termasuk sentuhan, bau/ aroma, dan pergerakan, dan dukung aktivitas lain yang menyenangkan anak.

3.     Tunadaksa atau Gangguan Cacat Fisik

a.     Posisikan anak agar dapat menerima jarak penuh akan gerakan, kontrol otot, dan kontak visual dengan bahan main dan anak lain. Anak mungkin saja perlu berbaring di satu sisi tubuhnya atau menggunakan bantal untuk mengakses bahan dan berinteraksi dengan anak lain selama aktivitas seperti berkebun dan melukis.

b.     Lengkapi secara khusus alat main agar sesuai dan pentingnya peralatan rekreasi. Hal ini termasuk memodifikasi ayunan, sepeda roda tiga, dan meja untuk partisipasi mandiri dalam aktivitas.

c.     Dukung anak memilih caranya dalam mengikuti atau mengelilingi kelas—mungkin dengan kursi roda, alat bantu jalan, atau skuter—untuk ikut serta dalam aktivitas dan permainan dari anak-anak lain.

d.     Sediakan aktivitas untuk anggota tubuh bagian bawah dan kaki, seperti melukis dengan kaki kaki, menceburkan kaki di kolam, menggali tanah kebun atau pasir, dan menendang bola, bagi anak dengan gangguan di  tangan atau anggota tubuh bagian atas.

e.     Sediakan aktivitas termasuk melukis, meja bak air, kotak pasir, dan berkembun bagi anak dengan gangguan dalam menggunakan kaki, tungkai, dan anggota tubuh bagian bawa sehingga mereka dapat melakukan sendiri secara mandiri dengan anggota tubuh atasnya. Selalu pastikan benar dalam memposisikan torso anak (yaitu bagian tubuh sejak bahu, dada, perut, pinggang).

f.      Tingkatkan kelebaran tiang untuk berpegangan dan rubah kelicinan permukaan yang jadi tumpuan untuk mendukung keseimbangan anak. 

g.     Gunakan bola-bola besar (misalnya bola voli pantai) dan obyek besar lainnya untuk memudahkan dalam menangkap bagi anak yang kesulitan menggenggam benda kecil.

4.     Gangguan Autisme

a.     Waspadai setiap situasi dan kejadian, seperti lingkungan yang tidak tetap dan tidak terstruktur, situasi baru, rangsangan berlebih, dan perubahan internal termasuk rasa sakit atau kelelahan ekstrim, yang mungkin saja memicu perilaku tidak diinginkan.

b.     Pastikan anak juga waspada dengan perubahan area bermain agar memiliki pengalaman terhadap perubahan lingkungan. Sebagai contoh, jika sebuah ayunan dengan dasar rata dipindahkan dari pohon berayun dan sebuah tali tambang dipasangkan di sana. Tunjukkan pada anak tentang gambar ayunan baru tersebut dan jelaskan sebelum benar-benar dipindahkan. Jika anak berkenan, temani dia menuju ayunan baru tersebut dan biarkan dia menyentuh, mendorong, dan mungkin mencoba bermain berayun di sana.

c.     Batasi jumlah aturan, komunikasikan pada mereka dengan jelas melalui cara yang beragam, dan laksanakan aturan tersebut secara tegas, lembut, dan tetap.

d.     Sediakan dukungan tambahan selama menghadapi tugas baru atau sulit dan bagi kegiatan di area bermain menjadi lebih sederhana dan singkat.

e.     Tingkatkan kemungkinan dan konsistensi rutinitas di luar ruangan dan siapkan anak untuk apapun yang akan datang dalam komunikasi verbal dan bukti konkret yang tepat. Sebagai contoh, letakkan bola di tangan anak untuk mengisyarakatkan bahwa sudah waktunya pergi ke luar sambil terus memberi instruksi verbal untuk menjelaskan perubahan selanjutnya. Ketika sudah waktunya untuk kembali ke dalam ruangan, bunyikan lonceng di area bermain, katakan pada anak bahwa sudah waktunya untuk kembali ke dalam dan letakkan mainan yang biasa dimainkan di dalam ruangan di tangan anak untuk di bawa ke kelas.

f.      Libatkan pengulangan dan peniruan ketika memberikan arahan pada anak dengan gangguan persepsi dan pemasukan rangsang indera.

g.     Sediakan aktivitas terstruktur untuk menjauhkan peralihan konsentrasi anak dengan gangguan memusatkan perhatian/ mengatur gerak tubuh.

h.     Tata setiap bagian di seluruh area bermain yang menyediakan batas fisik bagi anak. Hal ini mungkin melibatkan terowongan, tong besar, tenda, atau kotak dari papan besar menjadi rumah bermain bagi anak.

i.      Libatkan binatang peliharaan di luar area. Beberapa anak mungkin akan berinteraksi dengan binatang peliharaan sebelum berinteraksi dengan orang. Kemudian biarkan anak untuk menyentuhnya, memberi makan dan minum, membersihkan kandangnya, dan menjadi peduli akan kesejahteraan binatang peliharaan tersebut.

5.     Tunagrahita atau Gangguan/ Keterlambatan Kognisi

a.     Gunakan kosakata sesuai kognisi anak dan gunakan kalimat sederhana.

b.     Ingatkan anak tentang ragam main yang tersedia dan tawarkan pilihan padanya daripada menentukan permainan untuk dimainkan mereka.

c.     Sesuaikan bahan atau rubah kesulitan sebuah aktivitas sehingga anak akan berhasil bermain. Sebagai contoh, rubah atau kurangi rintangan mainan untuk mencukung kemandirian dan keberhasilan main anak.

d.     Pimpin anak dalam permainan non kompetisi jadi anak dapat selalu berhasil (menang) dan meningkati keberhasilan masing-masingnya.

e.     Kurangi jumlah konsep yang diperlihatkan dalam satu waktu.

f.      Gunakan pengulangan dan contoh untuk menjelaskan ide permainan.

g.     Guru, keluarga, dan anggota kelompok lain sebaiknya menentukan perubahan yang paling sesuai bagi setiap anak… tidak semua aktivitas memerlukan perubahan. Penyesuaian digunakan selama dirasa penting untuk mendukung anak agar bermain di luar ruangan secara optimal.

 

MERAYAKAN PERBEDAAN

Bermain menjadi bagian dari setiap budaya, tetapi terdapat variasi budaya tentang bagaimana anak ikut serta dalam bermain dan tentang pada usia berapa mereka boleh untuk bermain menurut cara-caranya. Beberapa keluarga mugkin percaya bahwa bermain tidaklah sesuai dilakukan di sekolah; jadi, anak mereka bermain dalam cara yang terbatas (Kieff dan Casbergue, 2000). Anak-anak lainnya mungkin tidak menyadari bahan-bahan main yang ditawarkan jika mereka tidak memiliki pengalaman dengan bahan-bahan tersebut atau bahan-bahan main disusun dalam cara yang baru.

Para peneliti menyarankan agar tema dari berman dramatik/ pura-pura ditentukan oleh budaya. Sebagai contoh, Farver dan Smith (1997) menemukan bahwa anak Korea Amerika lebih bermain tentang aktivitas harian dibandingkan dengan anak anak Eropa Amerika, yang bermain tentang fantasi dan dianggap berbahaya. Anak-anak Korea Amerika juga lebih menggunakan bahasa meminta yang sopan dan lebih sedikit perintah daripada anak-anak Eropa Amerika.

Guru sebaiknya memikirkan tentang bagaimana menyediakan bahan-bahan bermain yang sesuai dengan budaya, seperti pakaian/ busana, instrumen musik, dan peralatan rumah tangga. Berdasarkan pendapat Retting (2002 : 198), “Salah satu cara paling alami dalam mengenalkan kewaspadaan terhadap budaya bagi anak usia dini adalah melalui penggunaannya dalam bermain. Kenyataannya, melalui sejarah dan lintas kebudayaan, bermain menjadi cara yang mengkomunikasikan nilai-nilai budaya bagi anak dalam bentuk bermain langsung maupun bermain tidak langsung”.

Guru sebaiknya mendorong orangtua untuk memberikan bahan-bahan yang biasa dipakai dalam bermain dari negara masing-masing dan masa kecil mereka dulu. Jika bahan-bahan tersebut perlu didemontrasikan, selanjutnya perlu disediakan kesempatan bagi orangtua untuk ikut bermain dengan anak. Orangtua juga mungkin diminta untuk menunjukkan beberapa permainan dari daerah mereka. Permainan jenis ini akan membantuk anak menghargai budaya di seluruh dunia melalui persamaan cara atau aktivitas dalam permainan tersebut.

Pastikan bahwa orangtua mengerti benar tentang apa yang dipelajari anak selama terlibat dalam aktivitas di ruang kelas. Maka perlu membantu anak untuk menghargai aktivitas tersebut dan merasakan apa yang anak peroleh dari bermain.

 

Simpulan

§  Bermain  dapat diartikan menurut karakteristik, jenis, dan tingkatannya. Untuk bisa disebut sebagai bermain, suau aktivitas harus didorong oleh diri sendiri, secara aktif, menggunakan, biasanya bukan yang sesungguhnya (pura-pura), tidak berhubungan dengan tujuan ekstrinsik, dan penuh makna bagi pikiran pelaku mainnya. Bermain sering dijelaskan sebagai keseluruhan bermain yang diawali sejak bermain secara bebas; menuju bermain dengan bimbingan, di mana guru memberikan bahan-bahan yang membantu anak meraih tujuan; menuju bermain dengan perintah, di mana anak memainkan sebuah permainan, menyanyikan lagu, atau mengulang irama jari. Akhirnya, terdapat pula beberapa tingkatan dalam bermain. Bermain dengan orang lain adalah bermain sosial, berubah dari bermain soliter menuju bermain dengan sekelompok orang. Bermain dengan obyek dapat dijelaskan sebagai bermain praktik, bermain simbolik, bermain dengan aturan, dan bermain membangun. Vygotsky yakin bahwa bermain membantu anak mengartikan setiap zona perkembangan proksimal anak. Selebihnya, hal itu juga membantu anak untuk memisahkan obyek dari pikirannya, dan belajar meregulasi perilakunya.

§  Untuk tujuan, bermain memiliki nilai manfaat dalam perkembangan intelektual, perkembangan sosial dan emosi, dan perkembangan fisik. Anak belajar banyak kemampuan dan mengembangkan banyak konsep ketika bermain. Mereka juga bermain tentang bagaimana mengganti giliran, menunggu kepuasan diri untuk ketercapaian keinginannya, dan mengasah kemampuan mereka dalam berpindah dan mengontrol tubuhnya.

§  Pengamat dalam permainan anak telah mencatat tren perkembangan dalam perilaku bermain. Anak usia dini menunjukkan lebih banyak permainan eksploratori, anak prasekolah dalam permainan sosiodrama dan membangun, dan anak sekolah dasar akan lebih menyukai permainan dengan aturan.

§  Guru sebaiknya mendampingi permainan di sekolah dengan mengamati, menguraikan, memperagakan, menilai, dan merencanakan pengalaman bermain. Kepedulian ini akan menghasilkan kemampuan dalam pemahaman untuk membuat saran, membantu anak dalam memecahkan masalah, dan memikirkan tema bemain. Bermain bermanfaat bagi anak dalam hal belajar berbagai kemampuan dan konsep. Guru perlu berlatih mengkomunikasikan nilai-nilai bermain kepada orangtua dan administrator.

§  Hati-hati merencanakan pengalaman bermain luar ruangan dapat menyediakan banyak manfaat seperti bermain di dalam ruangan, sering memperbolehkan anak untuk bermain lebih bebas dibanding bermain di dalam ruangan.

§  Merencanakan pengalaman bermain bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus melibatkan penyesuaian lingkungan fisik dan menyediakan instruksi khusus dalam permainan. Anak yang terlambat berkembang mungkin menunjukkan perilaku bermain yang serupa dengan anak yang lebih muda darinya.

§  Bermain berperan penting dalam membantu anak memahami budayanya dan budaya orang lain. Bahan-bahan bermain dapat meliputi bahan-bahan dari budaya atau kelompok etnik yang direpresentasikan di kelas, dan permainan yang relevan dengan budaya dapat membantu anak memahami persamaan antar setiap orang dan budaya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANA PENDIDIKAN 20% DARI APBN & ABPD? BENARKAH?

AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN