PENGEMBANGAN ILMU PAUD vs TEKNOLOGI, ETIKA, & KEMAJUAN PERADABAN
ISU-ISU PENGEMBANGAN ILMU ANAK USIA DINI DAN KETERKAITANNYA DENGAN TEKNOLOGI, ETIKA, DAN KEMAJUAN PERADABAN/ KEBUDAYAAN
[Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu]
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seperti
yang diungkapkan dalam Landasarn Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa Pendidikan (BP3K Kurikulum, Kemendiknas) bahwa penddikan adalah suatu
upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha itu
tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari
lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah
budayanya. Hal tersebut selaras dengan pendapat Pidarta (2013) bahwa mendidik
berarti membudayakan manusia dan mencakup segala sesuatu yang bertalian dengan
perkembangan manusia untuk menjadi lebih sempurna.
Pidarta (2013) melanjutkan bahwa pendidikan
berlangsung seumur hidup, ini berarti bahwa manusia perlu dididik bahkan sejak
dalam kandungan dan tidak seharusnya berhenti dididik meski sudah menginjak
usia dewasa. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan betapa pentingnya
pendidikan bagi sosok manusia usia dini atau biasa disebut dengan anak-anak.
Bahwa anak perlu mendapatkan pendidikan yang pantas sejak dini, sejak dari
keluarga di rumah, didukung dengan pendidikan di luar yaitu dari lembaga PAUD yang mampu membantu,
membimbing, dan mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak (moral, agama, bahasa,
kognitif, sosial emosi, seni, dan fisik motorik).
Untuk itulah pada tahun 2011, Dirjen PAUD
merumuskan kerangka besar pembangunan PAUD 2011-2025 untuk menciptakan Anak
Indonesia Harapan sebagai Kado 100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Anak
Indonesia Harapan adalah awal dari Manusia Indonesia Seutuhnya, yaitu generasi
yang hidup selaras, serasi, dan seimbang; yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Harapan besar tersebut tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional yang mengacu pada Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Bab IV, Pasal 3), mengakibatkan kesadaran dan
komitmen akan pentingnya PAUD terus meningkat. Ditambah lagi dengan hasil-hasil
riset tentang manfaat PAUD di berbagai negara yang sudah lebih dulu mengecap
manisnya seperti Jepang, Cina, dan Amerika yang berdampak positif terhadap
peningkatan sumber daya manusia dan bidang kehidupan lain.
Apabila melihat kenyataan yang ada, penyelenggaraan
PAUD di Indonesia rupanya dipengaruhi oleh pemikiran filsuf bidang pendidikan
anak seluruh dunia. Sebut saja John Dewey, Rousseau, Pestalozzi, Froebel,
Montessori, dan nama-nama lainnya. Meski begitu Indonesia juga memiliki sosok
Ki Hajar Dewantara sebagai ahlinya yang terkenal dengan asas tut wuri handayani-nya. Kemudian dapat
dihapahami bahwa penyelenggaraan PAUD atas pemikiran mereka berprinsip agar pembelajaran
yang diselenggarakan haruslah berpusat pada anak (children-centered learning), yaitu anak menjadi pembelajar aktif; menggunakan
pengetahuan apapun dari lingkungan. Ini yang saat ini sedang begitu digencarkan
meski sebelumnya Indonesia pernah menganut pendidikan yang pembelajarannya
berpusat pada guru dan anaknya begitu pasif.
Harapan besar Indonesia untuk mendapatkan kado ulang
tahun pada tahun 2045 akan terwujud apabila tujuan pendidikan Indonesia juga
terwujud; yaitu pendidikan komprehensif mencakup afeksi, kognisi, dan
psikomotorik yang dikembangkan secara berimbang, optimal, dan terintegrasi.
Maka pendidikan bagi anak atau PAUD pun seharusnya terlaksana pada prinsip
tersebut. Namun sayangnya, masalah masih saja menghambat di sana-sini. Terlebih
lagi ketika zaman sudah semakin dihiasi dengan isu-isu kehidupan, seperti
teknologi, isu moral atau etika, kemajuan peradaban/ kebudayaan, dan lain
sebagainya.
Masih oleh Pidarta (2013) yang merumuskan masalah
praktik pendidikan di Indonesia yaitu praktik yang sebagian besar hanya
mengembangkan kognisi dan psikomotorik selagi afeksi hampir terabaikan. Masalah
kedua yaitu bangsa Indonesia yang belum memliki filsafat dan teori pendidikan
yang khas sebab mengadopsi filosofi barat yang belum tentu cocok dengan
Pancasila. Masalah pertama dapat ditelusuri terjadi karena kurangnya
kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik/ personalia yang bertanggungjawab.
Hambatan tersebut lantas berujung pada penyelenggaraan PAUD belum selaras dengan perkembangan anak,
apalagi jika lingkungan belajarnya juga kurang mendukung. Kemudian untuk
masalah kedua pasti perlu proses panjang, yang oleh Pidarta disebutkan
alternatifnya dengan membentuk karakter atau kepribadian peserta didik yang
berlandasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Era
saat ini di mana globalisasi terjadi di segala aspek kehidupan manusia,
akhirnya melahirkan pula isu-isu kritis dan problematis di bidang pendidikan.
Khususnya untuk PAUD, isu-isu yang ada sifatnya memang sementara, tetapi jika
direspon dapat berpengaruh terhadap perkembangan PAUD di Indonesia. Isu-isu tersebut
yaitu : dikotomi PAUD dan TPQ, kualifikasi pendidik PAUD, kesenjangan hak dan
kewajiban pendidik PAUD, wajib belajar 12 tahun tidak menyentuh PAUD, membangun
karakter bangsa, dan PAUD Masa Depan.
Isu
pertama adalah dikotomi PAUD dan TPQ, yang berarti bahwa PAUD dan TPQ bekerja
secara terpisah. Hal ini terjadi karena kecerdasan anak yang dimengerti sempit
oleh para praktisi PAUD dicapai melalui pengelolaan TPA dan KB dalam PAUD
berintegrasi dengan Posyandu (POSPAUD), bukannya dengan Taman Pendidikan
Al-Qur’an (TPA). Padahal posyandu hanya sensitif terhadap jasmani dan otak
anak. Sementara itu TPQ saat ini mempunyai basis edukasi yang memungkinkan
tumbuh kembang anak dalam ranah fisik, sosial-emosional, fisik-motorik,
moral-spiritual, dan lain sebagainya.
Integrasi
PAUD dengan Posyandu menjadi POSPAUD mengubah kesan dari lembaga edukasi dalam
binaan profesional menjadi lembaga pengasuhan/ penitipan anak (oleh pengasuh,
bukan pendidik), dengan dominansi ibu-ibu rumah tangga pengangguran yang tidak
kompeten sebagai pendidik. Hal ini mengandung bahaya besar bagi masa depan anak
bangsa karena mereka akan diasuh oleh non profesional. Tanpa berniat
membandingkan, kenyataannya di negara lain justru memilih SDM lebih bermartabat sebagai pendidik PAUD,
karena mereka berpedoman bahwa semakin rendah jenjang pendidikan yang
diampu maka semakin seniorlah jabatan
pendidik/ gurunya.
Realitas
kesenjangan hak dan kewajiban pendidik PAUD ditandai dengan hak pendidik PAUD
lebih kecil daripada pendidik non-PAUD selagi tuntutan kewajiban mereka lebih
besar. Pasalnya, kewajiban pendidik PAUD mengajar atau mendidik sekaligus asih,
asuh, dan asah; jelas berbeda dari pendidik non-PAUD. Akibatnya, profesi
pendidik PAUD sekadar daripada pengangguran,
sehingga didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga. Di sisi lain, biaya pendidikan
di PAUD sangat mahal, jauh melebihi pendidikan dasar yang berakibat pada
orangtua enggan menyekolahkan anaknya. Implikasinya yaitu masa keemasan anak
yang terlewatkan karena tidak terstimulus dengan baik.
Membicarakan
isu selanjutnya, yaitu isu wajib belajar 12 tahun yang tidak menyentuh PAUD.
Menyedihkan memang, menginat masa paling menentukan keberhasilan hidup manusia
justru pada lima tahun pertama kehidupan, dan itu ada di lembaga PAUD yang
sangat mahal di negeri ini. Sangat baik apabila, program wajib belajar 12 tahun
bisa ditarik ke belakang, yakni dari
PAUD atau TK/RA hingga SD/MI dan SM/MTs. Implikasi yang mungkin dirasakan
adalah : biaya pendidikan PAUD dapat dibebaskan, pendidik PAUD setara dengan
pendidik lain dalam status kepegawaian dan haknya, dan yang lebih penting
adalah terpeliharanya masa keemasan anak bersama potensinya.
Melanjutkan
masalah masa keemasan, saat itu tidak hanya kecerdasan dan keterampilan anak
saja yang diasah, sebab perlu pula mengasah karakternya. Seperti ungkapan Freud
bahwa the child is the father of the man
(masa dewasa seseorang sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh pengalaman masa
kecilnya), Hurlock (1993) menyatakan bahwa kenakalan remaja merupakan lanjutan
dari pola perilaku masa kanak-kanak. Penelitian tim Universitas Otago di
Dunedin Selandia Baru pada tahun 1972 membenarkan pemikiran Hurlock tersebut.
Ini berarti bahwa waktu yang paling tepat untuk dimulainya pendidikan karakter
adalah usia dini, pada jenjang PAUD. Manusia berkarakter sama dengan insan kamil jika jasmani, rohani, dan
akalnya (otak kanan, kiri, tengah) seimbang. Di PAUD dapat dilakukan
penyeimbagan ketiga hal tersebut melalui bermain, bernyanyi, atau bercerita
yang menarik dan menyenangkan bagi anak.
Sebelum
membahas PAUD masa depan, perlu dikritisi masalah gerakan gender yang
berimplikasi pada pemikiran bahwa pendidikan anak bukan lagi menjadi tugas utama
perempuan semata. Artinya, laki-laki mempunyai hak sama atas pengasuhan anak,
selagi perempuan juga dapat mengejar karirnya. Lalu jika keduanya tidak punya
cukup waktu, pengasuhan anak akhirnya jatuh ke lembaga TPA (Tempat Penitipan
Anak) full day atau PAUD sehari penuh
(full days school). Semakin mahalnya,
semakin elit pengguna kedua lembaga tersebut, maka semakin besar tuntutan
mereka. Salah satunya yaitu menuntut
PAUD membuat anak mereka siap akademis lebih awal dari anak lainnya. Arah PAUD
pun berubah dari layanan perkembangan anak menjadi layanan edukasi dengan
muatan akademik yang menekan psikologis anak
Selanjutnya
tentang PAUD Masa Depan yang saat ini semakin dominan di Indonesia, lembaga ini
menjdi harapan baru bagi masa depan pendidikan anak yang lebih baik. PAUD Masa
Depan ditandai dengan tumbuh kembang PAUD yang dilema etik antara menekankan
aspek sains maupun humanis, ini berarti adanya kebingungan antara memenuhi
kebutuhan perkembangan anak secara sosial atau memenuji kebutuhan akademis.
Ciri keduanya adalah PAUD yang semakin inklusif meski sebenarnya masih kurang
dalam menyediakan fasilitas edukasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
Selanjutnya adalah PAUD semakin kuat dalam menunjukkan gejala akademis karena
tuntutan orangtua (masyarakat) yang ingin agar anak memiliki kemampuan
calistung lebih awal dan berujung pada ancaman bosan belajar di Perguruan Tinggi. Ketiga arah baru tersebut harus
terus dipantai agar tidak terjadi eksploitasi anak berkedok pendidikan. Maka
perlu dukungan menyeluruh unuk mengoptimalkan layanan bagi anak dalam bentuk
kerjasama antara lembaga PAUD dengan organisasi profesional, ahli gizi, klinik
atau psikolog anak, dan lain sebagainya.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dapat teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut praktik pendidikan
di Indonesia masih bermasalah karena kualifikasi dan kompetensi tenaga
pendidiknya yang mengakibatkan pembelajaran tidak optimal bagi perkembangan
anak, hal tersebut juga terjadi di ranah pendidikan anak usia dini atau PAUD.
Sehingga muncul masalah bidang PAUD seperti ini, apakah PAUD sudah merata? Kondisi akses layanan PAUD diukur
melalui besaran angka partisipasi kasar anak usia dini yang telah terlayani
oleh lembaga PAUD, disebut dengan APK (Angka Partisipasi Kasar). APK PAUD
hingga akhir 2017 sebesar 72,35% atau baru 13.913.680 anak terlayani dari
19.229.800 anak usia 3 s.d 6 tahun di seluruh Indonesia.
Belum seratus persen berarti belum
merata, bukan? Untuk itulah muncul pertanyaan baru apakah PAUD yang sudah
terlaksana tersebut sudah optimal bagi anak sebagai penerima layanannya? Jika
jawabnnya masih belum, hal tersebut tentu menghambat tercapainya kado istimewa
100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045, sekaligus menghambat tujuan
pendidikan Indonesia.
Masalah praktik PAUD juga disebabkan
oleh perkembangan zaman, yaitu aspek-aspek kehidupan yang terus-menerus
berubah, tidak peduli pada siapa saja yang mengalaminya, di mana tempatnya,
kapan waktunya, ataupun pada hal apa saja dan bagaimana perubahannya. Adapun
aspek teknologi, etika, dan kebudayaan dipilih sebagai yang paling dekat dan
berpengaruh.
C.
RUMUSAN
MASALAH :
Rumusan masalah di sini disusun berdasarkan
masalah praktik PAUD di Indonesia yang disebabkan oleh perkembangan zaman pada
aspek teknologi, etika, dan kemajuan peradaban/ kebudayaan. Rumusan ini juga
disusun dalam tiga kajian, yaitu secara ontologi (hakikatnya), epistemologi (pengembangan),
dan aksiologi (bagaimana manfaat/ nilai); yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Bagaimana
keterkaitan isu-isu pengembangan Ilmu AUD (PAUD) di Indonesia dengan teknologi,
etika, dan kemajuan peradaban/ kebudayaan?
2. Bagaimana
Ilmu AUD (PAUD) mendidik anak untuk
menghadapi isu-isu teknologi, etika, dan kemajuan peradaban/ kebudayaan?
3. Apa
saja manfaat teknologi, etika, dan kemajuan peradaban/ kebudayaan terhadap Ilmu
AUD (PAUD)?
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas keterkaitan isu-isu
pengembangan Ilmu AUD (PAUD) di Indonesia dengan teknologi, etika, dan kemajuan
peradaban/ kebudayaan; perlu kami bahas terlebih dahulu tentang pertumbuhan
PAUD yang berkembang di Indonesia, yang dibagi dalam tiga periode sebagai
berikut :
A. PAUD
Terdahulu
Tentu
saja PAUD masa lampau sangat berbeda dengan PAUD saat ini, juga dengan PAUD di masa
mendatang. Pertumbuhan PAUD terjadi amat pesat dan membawa perubahan di segala
bidang. Kira-kira seperti ini sejarahnya :
1.
Sebelum kemerdekaan, keberadaan PAUD di Indonesia yang tidak terlepas
dari perkembangan PAUD secara internasional. Pada tahun 1840, Froebel
mendirikan Kindergarten di
Blankerburg, Jerman yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda
dengan mendirikan Frobel School yang diperuntukkan
bagi anak mereka (keturunan Belanda, Eropa, bangsawan).
2.
Tahun 1919, berdiri Bustanul
Athfal pertama di Yogyakarta oleh Persatuan Wanita Aisyiyah dengan kurikulum
penanaman nasionalisme dan agama.
3.
Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendidikan Kindertuin atau Taman Lare
atau Taman Anak yang akhirnya berkembang menjadi Taman Indria.
4.
Pada masa penjajahan Jepang, penyelenggaraan pendidikan tingkat PAUD
dilengkapi kelasnya dengan nyanyian-nyanyian Jepang.
5.
Era 1945-1965, Yayasan Pendidikan Lanjutan Wanita mendirikan Sekolah
Pendidikan Guru TK Nasional di Jakarta sebagai nasionalisme melawan kembalinya
Belanda. Melalui UU No 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah, TK resmi diakui sebagai bagian sistem pendidikan
nasional. Pada tanggal 22 Mei 1950, IGTKI didirikan.
6.
Era 1965-1998, pemerintah dan UNICEF bekerjasama dalam penyediaan
konsultan dan pendanaan untuk penataran guru dan admistrator pendidikan tingkat
TK. Tahun 1970, mulai dijalin kerjasama nyata antara pemerintah dengan GOPTKI,
IGTKI, dan PGRI. Terbit PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah
mempertegas pendidikan prasekolah di Indonesia.
7.
Periode 1998-2003 ditandai dengan otonomi pendidikan dan berpengaruh
terhadap tata kelola penanganan PAUD di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001
dibentuk Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) yang mengemban mandat
melakukan pembinaan satuan PAUD nonformal.
8.
Era 2003-2009, terbit UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional di mana pertama kalinya PAUD diatur khusus pada pasal 1 butir 14, pasal
28, dan pasal lainnya. Pada tahun 2005 berdiri HIMPAUDI yang menggerakkan
potensi tenaga kependidikan PAUD di seluruh Indonesia.
9.
Periode 2010 sampai sekarang ditandai dengan kebijakan penggabungan
pembinaan PAUD formal dan nonformal di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini, Non Formal, dan Informal (PAUDNI).
Selama perjalanannya, terjadi kristalisasi
bentuk satuan PAUD yang meliputi TK (termasuk Taman Kanak-Kanak Bustanul Athfal/ TK BA), RA, KB, TPA,
Satuan PAUD Sejenis, serta PAUD berbasis keluarga dan/ atau lingkungan.
B. PAUD
Masa Kini
Suyadi & Ulfah (2017) menyatakan
beberapa kondisi PAUD di Indonesia saat ini dengan lima gejala barunya, yaitu
sebagai berikut :
1. Tumbuhnya
kesadaran orangtua akan pentingnya masa golden
ages anak sehingga mereka
berinisiatif melibatkan anak mereka di lembaga PAUD. Kesadaran ini didukung
oleh politik kebijakan pendidikan yang memihak pengembangan PAUD secara lebih
besar sehingga kesadaran masyarakat terakomodasi. Sekadar contoh, pada tahun
2012-2013, Kemendikbud mencanangkan tambahan lembaga PAUD sebanyak 14.000
unit.
2. PAUD
sekarang jauh lebih akademis daripada PAUD sepuluh tahun yang lalu, di mana
permainan tradisional (dolanan—yang
sangat diagungkan oleh pendidikan anak rancangan Ki Hajar Dewantara) kini
justru makin ditinggalkan. Kenyataannya, anak masa kini lebih gemar pada
permainan modern berbasis teknologi informasi, terlebih lagi permainan digital.
3. PAUD
sekarang lebih berorientasi pada pengembangan sains anak dan matematika,
daripada sosial anak. Buktinya, PAUD mengaja anak dalam kegiatan membaca,
menulis, dan berhitung.
4. Semakin
banyak lembaga PAUD yang menyediakan layanan sehari penuh atau full days school karena tuntutan masyarakat,
khususnya wanita karir.
5. Program
PAUD sekarang jauh lebih menantang mental dan pikiran anak daripada program
PAUD masa lampau. Bahkan, beberapa lembaga mulai memberikan Pekerjaan Rumah
(PR) kepada anak-anak dengan maksud agar orangtuanya berpartisipasi aktif
mendidik anaknya di rumah.
C. PAUD
Masa Depan
Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, bahwa PAUD masa depan memiliki arah baru menuju bentuk yang sangat
akademis, namun justru kurang pantas bagi anak. Suyadi & Ulfah (2017)
lantas menjelaskan ciri-ciri berikut :
1. Akademis
vs humanis; lembaga PAUD saat ini dan yang akan datang akan mengalami
kebingungan antara memenuhi kebutuhan perkembangan anak secara sosial atau
kebutuhan akademis. Hal ini dicirikan dengan kegiatan pembelajaran sains dan
matematika awal, termasuk penekanan calistung.
2. PAUD
ke depan akan semakin inklusif; meski masih kekurangan fasilitas edukasi bagi
ABK-nya. Hal ini ditopang UU Pendidikan yang memastikan agar PAUD tidak menolak
ABK. Meski realitanya, lembaga PAUD belum siap menghadapi keinklusifan anak
didik hingga berakibat pada ABK yang termarginalkan di lembagai PAUD dan selalu
kalah dari anak normal.
3. Beragamnya
PAUD akademis; karena tuntutan masyarakat dan orangtua yang ingin agar anaknya
memiliki kemampuan calistung lebih awal. Inilah yang menjadi salah satu
penyebab bosan belajar di Perguruan
Tinggi.
4. Dukungan
menyeluruh; dengan terbentuknya kerjasama antara lembaga PAUD dengan organisasi
profesional, klinik perkembangan, ahli gizi, ahli psikologi anak, dan lain
sebagainya. Akibatnya, program PAUD menjadi semakin kompleks dalam memberikan
pelayanan terhadap anak.
5. Meningkatnya
minat orangtua (khususnya mereka yang berkarir) untuk memasukkan anak mereka ke
lembaga PAUD full days school atau
tempat pengasuhan anak sehari penuh tak peduli berapapun ongkosnya.
Setelah
mengkaji pertumbuhan PAUD di Indonesia sejak awal berdirinya, menuju PAUD masa
kini atau yang akan datang, maka dapat diambil kesimpulan bahwa PAUD di
Indonesia telah mengalami beberapa kali pengembangan; baik dari segi pendirian,
dasar hukum, program, maupun respon masyarakat terhadap kehadirannya. Untuk itu
dapat disarikan seperti berikut :
1. Kemunculan
PAUD di Indonesia berdasarkan riset luar negeri yang sudah lebih dulu
mencanangkan pendidikan untuk anak usia dini.
2. PAUD
menjadi semakin merata bagi semua anak di Indonesia seiring dengan pergantian
siapa pendiri dan hukum yang sedang berlaku.
3. Pemerintah
semakin memperhatikan pentingnya anak, sehingga terbit undang-undang yang
secara khusus mengatur penyelenggaraan PAUD untuk anak.
4. Masyarakat
semakin sadar akan pentingnya masa emas anak, beranggap pula bahwa pendidikan
untuk anak juga penting yaitu melalui lembaga PAUD.
5. Program
PAUD selalu berganti mengikuti perkembangan zaman, dan selalu berusaha
menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat Indonesia.
Poin
terakhir menekankan bahwa program PAUD hingga saat ini (mungkin masa mendatang)
selalu berganti mengikuti perkembangan zaman, selain karena menyesuaikan
tuntutan masyarakat. Dipilihlah tiga faktor dari era globalisasi ini yang
sekiranya mampu berhubungan langsung dengan pengembangan PAUD di Indonesia
yaitu teknologi, etika, dan kemajuan peradaban/ kebudayaan.
Kaitannya
dengan pendidikan, teknologi disebut sebagai teknologi pendidikan yang muncul sebagai
isu seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan kebutuhan akan
pembelajaran. Awalnya teknologi pendidikan dianggap sebagai penyiapan belajar (manusia)
melalui penelusuran, pengembangan, organisasi, dan pemanfaatan sistematis
sumber belajar; dan melalui pengelolaan seluruh proses (AECT, 1972). Akhirnya diartikan sebagai studi dan praktek etis
memfasilitasi proses pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan mencipta,
menggunakan, dan mengatur proses teknologi dan sumber daya yang cocok (AECT, 2004).
AECT (1977) sebagai
organisasi profesi teknologi pendidikan membedakan teknologi pendidikan (educational
technology) dengan teknologi pembelajaran (instructional technology).
Teknologi pendidikan adalah proses yang rumit dan terpadu;
melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, organisasi
untuk analisis
dan olah masalah, kemudian menggunakan,
mengevaluasi, dan mengelola seluruh upaya pemecahan masalah
yang termasuk dalam seluruh aspek belajar manusia. Teknologi instruksional
ialah bagian dari teknologi pendidikan sebagai akibat dari konsep instruksional
sebagai bagian pendidikan—bersifat rumit dan terpadu, melibatkan orang,
prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk analisis dan olah masalah,
kemudian menerapkan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah pada situasi
di mana proses berlajar terarah dan terpantau.
A.
Kajian
Ontologi : Keterkaitan Isu-Isu Pengembangan PAUD di Indonesia dengan Teknologi,
Etika, dan Kemajuan Peradaban/ Kebudayaan
1. Masalah
Teknologi (Teknologi Pendidikan)
Sebagai sebuah ilmu, teknologi
pendidikan memiliki landasan filosofis yang dapat dikaji melalui tiga kajian
filsafat, salah satunya yaitu ontologi yang mewakili pertanyaan apa? atau mengapa?. Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi
masalah utama di dalam pendidikan. Sebab peserta didik bergaul dengan dunia
lingkungan dan mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Oleh karena itu,
teknologi pendidikan dalam posisi ini sebagai bagian pengembangan untuk
memudahkan hubungan peserta didik dengan lingkungannya. Peserta didik, baik saat
di masyarakat atau di sekolah selalu menghadapi realita dan obyek pengalaman.
Secara tersusun Chaeruman dalam
tulisannya mengutip tulisan Prof. Yusuf Hadi Miarso bahwa ontologi teknologi
pendidikan adalah
a.
Adanya sejumlah besar orang belum terpenuhi kesempatan belajarnya, baik
yang diperoleh melalui suatu lembaga khusus, maupun yang dapat diperoleh secara
mandiri.
b.
Adanya berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat
direkayasa, tapi belum dimanfaatkann untuk keperluan belajar.
c.
Perlu adanya suatu proses atau usaha khusus yang terarah dan terencana
untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar
setiap orang dan organisasi.
d.
Perlu adanya keahlian dan pengelolaan atas kegiatan khusus dalam
mengembangkan dan memanfaatkan sumber untuk belajar tersebut secara efektif,
efisien, dan selaras.
Berikut adalah empat revolusi
yang terjadi di dunia pendidikan karena adanya masalah yang tidak teratasi
dengan cara yang ada sebelumnya, tetapi di lain pihak juga menimbulkan masalah
baru. Masalah-masalah itu dibatasi pada masalah utama, yaitu belajar. Menurut Eric Ashby (1972, 9-10)
tentang terjadinya empat Revolusi di dunia pendidikan yaitu :
a. Revolusi pertama, terjadi saat orangtua atau
keluarga menyerahkan sebagian tanggungjawab dan pendidikan kepada orang lain
yang secara khusus diberi tanggungjawab untuk itu. Pada revolusi pertama masih
ada kasus di mana orangtua atau keluarga masih melakukan sendiri pendidikan
anaknya. Seattler menelusuri secara historik perkembangan revolusi ini dengan
mengemukakan bahwa kaum Sufi pada sekitar 500 SM menjadikan dirinya sebagai
“penjual ilmu pengetahuan”, yaitu memberikan pelajaran kepada siapa saja yang bersedia
memberinya upah atau imbalan. Revolusi pertama ini terjadi karena orangtua atau
keluarga tidak mampu lagi membelajarkan anak-anaknya sendiri.
b. Revolusi kedua, terjadi saat guru sebagai orang
yang dilimpahkan tanggungjawab untuk mendidik. Pengajaran diberikan secara lisan dan kegiatan pendidikan dilembagakan
dengan berbagai ketentuan baku. Penyebab terjadinya revolusi kedua ini karena
guru ingin memberikan pelajaran pada lebih banyak anak didik dengan cara yang
lebih cepat.
c. Revolusi ketiga, muncul pada saat ditemukannya
mesin cetak tanda tersebarnya informasi iconic dan numeric dalam
bentuk buku/ media cetak lain. Buku hingga kini dianggap sebagai media
utama dalam, dan revolusi ini juga masih
berlangsung. Beberapa falsafati menggagas bahwa masyarakat belajar adalah
masyarakat membaca. Beberapa ahli menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia
masih berlangsung budaya mendengarkan belum sampai pada budaya membaca.
Revolusi ketiga ini terjadi karena guru ingin mengajarkan lebih banyak dan
lebih cepat lagi, selagi kemampuan guru semakin terbatas. Untuk itu diperlukan
penggunaan pengatahuan yang telah diramuka oleh orang lain.
d. Revolusi keempat berlangsung dengan perkembangan
pesat di bidang elektronik (yang paling menonjol adalah alat komunikasi radio,
TV, tape, dan lain-lain) yang
berhasil menembus batas geografi, sosial dan politis
secara lebih intens. Pesan dapat lebih cepat, bervariasi serta berpotensi untuk
lebih berdayaguna bagi si penerima. Pada revolusi ini muncul konsep keterbacaan (literacy)
baru, yang tidak hanya menuntut pemahaman huruf, angka, kata dan kalimat; namun
juga pemahaman visual. Beberapa ahli berpendapat bahwa perkembangan media ini
menjadikan dunia semakin mengecil,
menjadi suatu global village di mana semua warga saling mengenal, tahu
dan bergantung. Penyebab revolusi ini adalah guru menyadari bahwa tidak mungkin
bagi mereka memberikan semua ajaran yang diperlukan (karena yang lebih penting
adalah mengajarkan pada peserta tentang bagaimana belajar), bahwa si pembelajar
sepanjang usia hidup melalui berbagai sumber dan saluran.
Berdasarkan perkembangan keempat
revolusi pendidikan tersebut, maka dapat disederhanakan bahwa pada awalnya guru
sebagai sumber belajar tunggal yang menghadapi peserta didik dengan bertatap
muka langsung. Perkembangan berikutnya guru menggunakan sumber lain berupa
buku, atau bahwa guru membagi peran dalam
menyajikan ajaran melalui buku. Jadi guru masih melaksanakan tugasnya
menyeleksi buku dan mengawasi ketat kegiatan belajar. Selanjutnya media
komunikasi mampu mengoper pesan hasil rancangan suatu tim terpisah dari guru pada
peserta didik tanpa dapat dikendalikan oleh guru. sehingga dapat disimpulkan,
bahwa tujuan pendidikan yang harus menentukan sarana apa yang dipergunakan, dengan
kata lain media komunikasi menentukan pesan yang perlu dikuasai. Hal tersebut
kemudian mengakibatkan munculnya kondisi-kondisi baru, yaitu :
1.
Adanya berbagai macam sumber untuk belajar termasuk orang (penulis buku,
prosedur media, dll), pesan (yang tertulis dalam buku atau tersaji lewat
media), media (buku, program televisi, radio, dll), alat (jaringan televisi,
radio, dll) cara-cara tertentu dalam mengolah atau menyajikan pesan serta
lingkungan di mana proses pendidikan itu berlangsung.
2.
Perlunya pengembangan sumber (secara konseptual maupun faktual)
3.
Perlu pengelolaan kegiatan pengembangan, maupun sumber belajar itu agar
dapat digunakan seoptimal mungkin guna keperluan belajar.
Pada akhirnya, kondisi-kondisi
tersebut berlaku pula di jenjang pendidikan untuk anak usia dini (PAUD), di
mana saat ini—setelah mengalami empat kali revolusi, penyelenggaraan PAUD dalam
melayani anak tidak hanya melibatkan pendidik saja. Para pendidik PAUD juga
telah menggunakan berbagai macam sumber untuk menunjang proses belajar anak
usia dini, diikuti pula dengan pengembangan sumber dan pengelolaannya agar bisa
memaksimalkan proses belajar bagi anak usia dini sebagai peserta didik.
2. Masalah
Etika dan Moral
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno
ethikos yang berarti timbul dari kebiasaan. Etika anak
berkembang tidak lepas dari perkembangan moral. Dalam dokumen Kurikulum 2013
PAUD, perkembangan moral digabung dengan aspek agama, keduanya meliputi :
kemampuan mengenal agama yang dianut, mengerjakan ibadah, berperilaku jujur,
penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
mengetahui hari besar agama, menghormati, dan toleran terhadap agama orang
lain. Dasar tersebut penting untuk diamalkan di PAUD sebab upaya
pendidikan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya perlu mengembangkan seluruh
dimensi manusia secara serasi, selaras dan seimbang antara jasad, akal dan
kalbu serta aspek kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan agama.
Seperti yang
diungkapkan Khamidun (2012), bahwa anak dapat diarahkan pada pengenalan
kehidupan pribadi dalam kaitannya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan
menghargai perbedaan di lingkungan tempat tinggal anak, mengenalkan peran jenis
kelamin dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran anak akan hak dan
tanggung jawabnya. Maka tujuan tersebut adalah keterampilan afektif anak, yaitu
keterampilan utama untuk merespon orang lain dan pengalaman barunya, serta
memunculkan perbedaan dalam kehidupan teman di sekitar. Hal yang bersifat
substansial tentang pengembangan moral adalah pembentukan karakter, kepribadian,
dan perkembangan sosial anak. Jadi pendidik sebaiknya
menguasai strategi pengembangan emosional, sosial, moral dan agama bagi anak. Pendidik
juga perlu mengadakan penelitian tentang pengembangan dan inovasi baru dalam
bidang pendidikan bagi anak usia prasekolah.
Menurut Piaget, moral manusia berkembang melalui tahap heteronomous dan autonomous. Pendidik harus memperhatikan tahapan heteronomous karena saat itu anak sangat
labil dan mudah terpengaruh. Piaget (1932) secara ekstensif meneliti
anak-anak berusia 4-12 tahun di saat mereka bermain kelereng, yaitu diteliti bagaimana
anak tersebut menggunakan dan memikirkan aturan main. Dia juga bertanya pada
anak tentang isu etis (mencuri, berbohong, hukuman, keadilan. Piaget
menyimpulkan bahwa anak melewati dua tahap dalam cara mereka berpikir tentang
moralitas :
a.
Anak berusia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heteronom (tahap pertama).
Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah properti dunia yang tidak
bisa diubah dan tidak dikontrol oleh orang.
b. Anak berusia
7-10 tahun dalam transisi menunjukkan sebagian ciri-ciri tahap pertama dan
sebagian ciri dari tahap kedua (moralitas otonom).
c. Anak
berusia >10 tahun menunjukkan moralitas
otonom, sadar bahwa aturan dan hukuman dibuat oleh manusia. Ketika anak menilai
sebuah perbuatan, mereka mempertimbangkan niat dan konsekuensinya.
Karena moral
anak kecil bersifat heteronom, mereka menilai kebenaran perilaku berdasarkan
konsekuensinya, bukan niat pelaku. Sebagai contoh, memecahkan sebelas gelas
secara tidak sengaja lebih buruk dibandingkan dengan memecahkan satu gelas dengan
sengaja. Ketika anak berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai
dipertimbangkan.
Pemikir
heteronom juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah dan diturunkan oleh
sebuah otoritas yang maha kuasa. Mereka juga percaya akan immanent justice, sebuah
konsep bahwa ketika peraturan dilanggar
maka hukuman akan langsung mengiringinya. Anak kecil percaya bahwa
pelanggaran terhubung langsung secara otomatis dengan hukumannya.
Piaget
berpendapat bahwa ketika anak berkembang, mereka dapat berpikir secara lebih
rumit mengenai masalah sosial terutama tentang kemungkinan dan kondisi
kerjasama. Pemahaman ini terjadi melalui saling memberi dan menerima dalam pertemanan.
Mereka tetap perlu bimbingan, latihan,
serta pembiasaan terus-menerus. Moralitas anak dan perkembangannya dalam
tatanan kehidupan terlihat dari sikap dan cara berhubungan dengan orang lain
(sosialisasi), cara berpenampilan, serta sikap dan kebiasaan makan.
Sikap dan perilaku anak dapat memperlancar hubungannya dengan orang lain.
Penanaman moral kepada anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, disarankan secara
individual, persuasif, demokratis, keteladanan, informal, dan agamis. Di
sinilah intinya, PAUD sebagai pendidikan paling awal bagi seorang individu
harus bisa menanamkan, mendidik, dan mengembangkan moral dan etika. Apapun
kegiatan yang diprogramkan dalam pembelajaran lembaga PAUD, pendidik tidak
boleh lupa tentang NAM atau nilai agama dan moral untuk menanamkan dan
mengembangkan etika anak. Pendidik dapat dengan
mudah merancang program sesuai pedoman Kurikulum 13 PAUD bahwa pengembangan nilai agama dan moral anak terselip dalam
Kompetensi Inti (KI) 1 sikap spiritual dan KI 2 sikap sosial.
3. Masalah
Kemajuan Peradaban/ Kebudayaan
Pidarta (2013) menyatakan jika
kebudayaan mencakup semua cara hidup ditambah dengan kehidupan manusia yang
diciptakan oleh manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Budaya tersebut menyebabkan peserta didik
tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya lingkungan terdekat (kampung, RT,
RW, desa) berkembang menuju lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional
bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia. Kebudayaan
berbeda dari peradaban, sebab peradaban adalah kebudayaan yang sudah maju
(Hassan, 1983).
Pidarta (2013) lantas membagi
kebudayaan dalam 3 kelompok besar :
a. Kebudayaan
umum, misalnya kebudayaan Indonesia.
b. Kebudayaan
daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Lombok, Sunda.
c. Kebudayaan
populer, dengan masa berlaku pendek dan muncul karena fenomena populer, seperti
lagu populer, model film musiman, mode pakaian musim gugur, halyu wave, dan sebagainya.
Apabila
anak asing dengan kebudayaan daerah, maka dia tidak mengenal baik budaya
bangsa, dan dia tidak mengenal diri sendiri sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, mereka sangat rentan
terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar
tanpa pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia
tidak memiliki norma dan nilai-nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Untuk
itu, ketiganya pantas diajarkan pada anak, sesuai dengan waktu dan tempat.
Kebudayaan umum jelas harus diajarkan, selagi kebudayaan daerah dapat dikaitkan
dengan kurikulum muatan lokal, dan kebudayaan populer cukup dikenalkan dalam
proporsi kecil. Untuk itulah, sudah sepantasnya PAUD sebagai lembaga layanan
pendidikan anak juga turut serta mengenalkan ketiga jenis kebudayaan tersebut
pada anak.
Hal
tersebut selaras dengan pesan BP3K Kemendiknas tentang persoalan budaya dan
karakter bangsa (di antaranya : korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
perusakan, perkelahian massa, ekonomi konsumtif, kehidupan politik tidak
produktif, dan sebagainya) dapat diatasi melalui pendidikan. Namun tentu bukan
mengatasi secara langsung sebab pendidikan hanyalah upaya preventif
(pencegahan) agar persoalan tersebut dapat berkurang atau sirna di kehidupan
mendatang, yaitu jika generasinya utuh berkembang sebagai manusia Indonesia
yang berbudaya dan berkarakter bangsa.
B.
Kajian
Epistemologi : Bagaimana PAUD Mendidik
Anaknya untuk Menghadapi Teknologi, Etika, dan Kemajuan Peradaban/ Kebudayaan
Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian, dasar serta pertanggung jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
1. Bagaimana
Teknologi Membantu
Penyelenggaraan PAUD
Pandangan epistemologi soal pendidikan
akan membahas obyek material pendidikan, seperti : kurikulum, teori belajar,
strategi pembelajaran, bahan atau sarana prasarana yang mengantarkan proses pendidikan,
dan cara menentukan hasil pendidikan. M. Arif berpendapat bahwa epistimologi
merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun
menjadi suatu tubuh pengetahuan. Terdapat tiga isi dari landasan epistimologi
teknologi pendidikan yaitu :
a. Keseluruhan masalah belajar dan
upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi yang ada
diperhatikan dan dikaji saling kaitannya dan bukannya dikaji secara
terpisah-pisah.
b.
Unsur-unsur yang berkepentingan diintegrasi dalam proses kompleks secara
sistematik yaitu dirancang, dikembangkan, dinilai dan dikelola sebagai suatu
kesatuan, dan ditujukan untuk memecahkan masalah.
c.
Integrasi menuju proses kompleks dan perhatian atas gejala secara
menyeluruh, harus mengandung daya lipat atau sinergisme, berbeda dengan hal di
mana masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri.
Sedangkan menurut Abdul Gafur
(2007) untuk mendapatkan teknoogi pendidikan adalah dengan cara :
a. Telah secara simultan keseluruhan
masalah-masalah belajar
b.
Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi,
pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
c.
Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses
pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar.
2. Bagaimana
PAUD Mendidik Anak tentang Etika
Membahas
moral berarti membahas perilaku atau tingkah laku. Tingkah laku bermoral adalah
tingkah laku yang mengikuti norma di masyarakat. Tingkah laku ini biasanya
wajib ditampilkan karena dianggap baik, ideal dan didambakan masyarakat. Pemahaman
seseorang terhadap moralitas yang berlaku berkembang secara bertahap. Adapun metode
atau teknik untuk menerapkan perilaku moral pada anak yaitu adalah dengan cara
yang menyenangkan tapi juga bermakna, agar dapat direkam anak dengan baik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa penanaman moral pada anak sebaiknya
dilakukan per individu, persuasif, demokratis, keteladanan, informal, dan
agamis. Dalam hal ini metode mempelajari perilaku
moral merupakan cara dalam menelaah perilaku moral anak. Metode-metode
yang dapat digunakan dalam menerapkan perilaku moral ini adalah :
a.
Belajar dengan Coba Ralat, anak
belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh
masyarakat dengan cara coba-ralat. Anak mencoba suatu pola perilaku untuk
melihat apakah itu memenuhi standar/ persetujuan sosial. Apabila yang dilakukan
tidak sesuai, anak akan mencoba metode lain sampai menemukan cara yang memberi
hasil yang diinginkan. Kelemahan dari metode ini adalah menghabiskan waktu dan
tenaga, hasilnya juga kurang memuaskan.
b. Pendidikan Langsung, anak harus belajar
memberi reaksi yang tepat dalam situasi tertentu. Hal ini dilakukan dengan
mematuhi peraturan orangtua atau orang lain yang berwewenang. Apabila aspek obyektif
dari berbagai situasi itu serupa, anak mengalihkan pola yang dipelajari dari satu
situasi ke situasi lain yang serupa. Sebaliknya, bila aspeknya tersebut
berbeda, anak akan gagal melihat bagaimana hal yang mereka pelajari dalam
situasi dapat diterapkan ke situasi yang lain.
c. Identifikasi, karena saat mengidentifikasi
sesuatu dengan orang yang dikaguminya, anak akan meniru pola perilaku dari orang
tersebut (hal ini biasanya tanpa sadar/ tekanan). Identifikasi
sebagai sumber belajar perilaku moral semakin penting saat anak semakin besar
dan melawan terhadap disiplin aturan rumah atau sekolah. Memiliki seseorang
untuk identifikasi diri akan mengisi kesenjangan dan memberi pegangan bagi
perkembangan perilaku moral.
Untuk
pengembangan nilai dan sikap anak dapat dipergunakan metode yang dapat
memungkinkan terbentuknya kebiasaan yang didasari nilai agama dan moral agar
anak dapat menjalani hidup sesuai dengan norma masyarakat. Metode pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini untuk kepentingan pengembangan sekaligus
pembelajaran moral dan agama anak memiliki beragam jenis, seperti : bercerita, karyawisata,
bernyanyi, dan mengucapkan sajak. Pendidik masih bisa mengembangkan
setiap metode sesuai dengan kreativitas yang dimiliki oleh pendidik.
Sementara
itu pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia
dini menurut Dwi Siswoyo dkk, adalah indoktrinasi nilai, teladan atau contoh,
dan pembiasaan dalam perilaku. Pendekatan lain digagas oleh W. Huitt, yaitu inculcation, moral development,
analisis, klarifikasi nilai, dan action
learning.
3. Bagaimana
PAUD Mendidik Anak dalam Menghadapi Kemajuan Peradaban/ Kebudayaan
Seperti
yang disebutkan sebelumnya bahwa masalah budaya dan karakter bangsa dapat
diatasi melalui pendidikan sebagai upaya preventif, karena pendidikan membangun
generasi baru bangsa yang lebih baik. Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan
kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek untuk mengurangi penyebab
masalah tersebut.
Pendidikan
budaya dan karakter bangsa diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik
dalam kondisi internalisasi, menghayati nilai menjadi kepribadian dalam bergaul
di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat, serta mengembangkan
kehidupan bangsa yang bermartabat.
Maka
PAUD sebagai pelayanan pendidikan anak sebaiknya menyisipkan pendidikan budaya
dan karakter dalam kurikulumnya dengan ketetentuan bahwa prosesnya tidak
melepaskan anak dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa anak adalah Pancasila, maka pendidikan budaya
dan karakter bangsa bagi anak harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidik
mengembangkan nilai-nilai Pancasila anak melalui pendidikan hati, otak, dan
fisik; melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan dengan metode
yang efektif dalam usaha bersama oleh semua anggota lembaga pendidikan.
Pendidik
PAUD di seluruh Indonesia tidak perlu pusing untuk menentukan nilai-nilai
Pancasila yang harus dikembangkan kepada anak karena aturan pemerintah sudah
memilih nilai agama, nilai Pancasila, nilai budaya, dan nilai tujuan pendidikan
nasional sebagai pedomannya. Dengan begitu, para pendidik tidak perlu enggan
untuk melaksanakan proses pendidikannya. Keempat nilai tersebut kemudian
dispesifikkan lagi ke dalam 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Penjelasannya sebagai berikut :
NILAI |
DESKRIPSI |
1. Religius |
Sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain. |
2. Jujur |
Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. |
3. Toleransi |
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya. |
4. Disiplin |
Tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. |
5. Kerja Keras |
Perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. |
6. Kreatif |
Berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. |
7. Mandiri |
Sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. |
8. Demokratis |
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. |
9. Rasa Ingin Tahu |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. |
10.
Semangat Kebangsaan |
Cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya. |
11. Cinta Tanah Air |
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsa. |
12. Menghargai
Prestasi |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. |
13. Bersahabat/ Komuniktif |
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. |
14. Cinta Damai |
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. |
15. Gemar Membaca |
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya. |
16. Peduli
Lingkungan |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi. |
17. Peduli Sosial |
Sikap dan tindakan
yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan. |
18. Tanggungjawab |
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. |
Dalam
menerapkan pendidik PAUD boleh melibatkan partisipasi orangtua dan masyarakat.
Pendidikan karakter dan budaya bangsa diintegrasikan ke dalam kurikulum melalui
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak, mungkin dengan metode
bermain, bernyanyi, atau bercerita. Pengalaman anak juga perlu ditekankan,
sehingga perlu dibiasakan melalui pembiasaan agar kedelapan belas nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut semakin tertanam dalam
keseharian anak.
C.
Kajian
Aksiologi : Manfaat atau Nilai Teknologi, Etika, dan Kemajuan Peradaban/
Kebudayaan terhadap PAUD dan Anak
Aksiologi suatu bidang menyelidiki nilai-nilai (value) (candilaras, 2007).
1. Manfaat
atau Nilai
Teknologi terhadap PAUD dan Anak
Menurut
Wijaya Kusumah, nilai atau manfaat pengkajian teknologi dalam pendidikan bisa
diaplikasikan dalam beberapa hal, di antaranya :
a. Peningkatan mutu pendidikan
(menarik, efektif, efisien, relevan)
b.
Penyempurnaan sistem Pendidikan
c.
Meluas dan meratnya kesempatan serta akses pendidikan
d.
Penyesuaian dengan kondisi pembelajaran
e.
Penyelarasan dengan perkembangan lingkungan
f.
Peningkatan partisipasi masyarakat
Sedangkan
M. Arif menyatakan bahwa aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan
yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut. Landasan
pembenaran atau landasan aksiologis teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan
dibahas terus menerus karena ada kebutuhan riil yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
Menurutnya, landasan aksiologis teknologi pendidikan saat ini adalah :
a. Tekad mengadakan perluasan dan
pemerataan kesempatan belajar.
b.
Keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain :
-
Penyempurnaan kurikulum, penyediaan sarana, dan peningkatan kemampuan pendidik
lewat berbagai bentuk pendidikan/ latihan.
-
Penyempurnaan sistem pendidikan dengan penelitian dan/ atau pengembangan
sesuai dengan tantangan peradaban zaman.
c.
Peningkatan partisipasi masyarakat dengan pengembangan dan pemanfaatan
berbagai wadah dan sumber pendidikan.
Dalam hal ini, teknologi pembelajaran
secara aksiologis akan menjadikan pendidikan menjadi produktif, ilmiah, individual,
serentak, aktual, merata, dan berdaya serap tinggi. Teknologi pembelajaran juga
menekankan pada nilai bahwa kemudahan dari aplikasi teknologi bukanlah tujuan,
melainkan pilihan dan rancangan alat yang strategi penggunaannya menumbuhkan
sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri : 2004).
Satu anggapan lain menyatakan bahwa
perkembangan teknologi terkini menyangkut semakin majunya media massa (dan juga
ilmu pengetahuan) berhasil mengendalikan perubahan aspek kehidupan manusia
(Khamidun, 2012). Hal tersebut serasi dengan gagasan Ibrahim bahwa media teknologi
informasi dapat memberikan pengaruh melalui kehadiran (presence) dan isinya (content)
(1997: 199). Kesimpulannya, saat ini teknologi memiliki nilai yang penting
dalam proses belajar manusia (pendidikan), termasuk dalam jenjang pendidikan
bagi anak usia dini atau PAUD. Tentu saja jika teknologi yang digunakan sudah
selaras dan mendukung.
2. Manfaat
atau Nilai
Etika terhadap PAUD dan Anak
Bersama dengan sistem berpikir, nilai, norma
dan keyakinan; moral dan etika digunakan dalam kehidupan
manusia sehingga menghasilkan sistem
sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, bahkan teknologi, seni, dan aspek kehidupan lainnya. Manusia adalah makhluk sosial menjadi makhluk penghasil sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan
sesama manusia dan alam kehidupan, manusia juga diatur oleh sistem berpikir tersebut, diatur pula oleh nilai, moral, norma, dan
keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang seiring kemajuan peradaban dan kebudayaan, maka ikut pula berkembang sistem sosialnya, juga sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.
Terlihat bahwa terdapat hubungan erat antara
manusia dengan tiga pokok bahasan di makalah ini (teknologi, moral/ etika,
kebudayaan/ peradaban) yaitu sebagai penghasil sekaligus menjadi pihak yang
diatur. Ini berarti bahwa bersama dengan teknologi dan kemajuan kebudayaan/
peradaban, nilai moral/ etika juga bernilai penting dalam kehidupan manusia.
Tanpa moral/ etika, bayi yang baru lahir lalu tumbuh dan berkembang tidak akan
mampu menjadi manusia. Berkat moral/ etika, manusia dapat hidup atas prakarsa
dirinya, bersama dengan keluarga tercintanya di rumah, bermain asyik dengan
teman, mengenyam pendidikan yang pantas di sekolah, lalu
berinteraksi-sosialisasi bersama orang banyak di lingkungan masyarakat,
sekaligus menjadi warga negara di sebuah bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan dunia anak, PAUD yang sudah
dipercaya para orangtua untuk membantu menjadi sarana untuk menanamkan dan
mengembangkan moral/ etika (bersama aspek perkembangan lain) agar anak yang
awalnya hanya bermoral heteronomous menjadi autonomous, yaitu individu yang tingkah lakunya bermoral
dan siap menghadapi kehidupan di masyarakat.
3. Manfaat
atau Nilai
Peradaban/ Kebudayaan terhadap PAUD dan
Anak
Kemajuan
peradaban/ kebudayaan yang dimaksud tentu saja yang sesuai atau mendukung
pendidikan karakter dan bangsa bagi anak dan sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga manfaat yang diperoleh berkaitan
dengan kado 100 tahun Indonesia Merdeka pada tahun 2045 yaitu Anak Indonesia Harapan yang tumbuh dan
berkembang menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya. Anak-anak jenis tersebut adalah
generasi yang hidup selaras, serasi, dan seimbang dalam kesehariannya; yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan akhirnya menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Manfaat lainnya yaitu terciptanya kebudayaan
nasional, yang pantas juga dijalani anak. Hal tersebut diartikan Umar Khayan
(1992) sebagai suatu kebudayaan baru yang membawa bangsa menuju masyarakat
modern yang dikehendaki. Kebudayaan nasional tersebut berciri-ciri sebagai
berikut :
a.
Afeksi manusianya yang
mengandung sikap jujur dalam semua bidang, tidak munafik, dan tulus ikhlas
dalam semua pekerjaan.
b.
Sistem politik yang
demokratis, dengan pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat, di mana rakyat juga
selalu mendapat kesempatan untuk mempertanyakan perihal pemerintahannya.
c.
Sistem ekonomi yang adil
pada semua warga negara, yang mampu menciptakan pasar luas untuk bersaing, dan
mampu menyalurkan hasil penjualan untuk kesejahteraan yang relatif merata di
seluruh negeri.
d.
Sistem pendidikan yang
menyediakan kesempatan luas pada seluruh warga negara dan mampu mendorong
perimbangan ilmu dan teknologi yang setinggi-tingginya.
e.
Sistem kesenian yang
mampu mengembangkan suasana kesenian yang kaya dan penuh vitalitas, tanpa ada
halangan dalam penyampaiannya.
f.
Sistem kepercayaan, yang
sehat-toleransi-damai dan memberi tempat seluas-luasnya kepada semua agama
untuk hidup selamat tenteram.
DAFTAR
PUSTAKA
Data PDSP. (2017). APK
dan APM PAUD, SD, SMP, dan SM Tahun 2016/2017. Jakarta : Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025. Jakarta :
Kementerian Pendidikan Nasional
Dirjen PAUD dan Pembinaan Masyarakat. (2015). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 PAUD.
Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Life Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia/
David Chaney. Yogyakarta : Percetakan Jalasutra
Khamidun. (2012). Bahan Ajar Metode
Pengembangan Moral dan Agama Anak Usia Dini. Semarang : Jurusan PG-PAUD
FIP Unnes
Khamidun. (2012). Environmentally Awareness
Behaviour Increase in
Early Childhood Using Story Telling Method. IJECES 1 (1) (2012). ISSN
2252-6374. Tersedia di : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijeces
Munib, Achmad., dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/ MKDK-LP3
Unnes
Permendikbud RI Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional PAUD
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta : Rineka Cipta
Suyadi & Ulfah. (2012). Konsep
Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]