PAUD YANG SIAGA TERHADAP GLOBALISASI
PAUD YANG SIAGA TERHADAP GLOBALISASI
[Mata Kuliah Pengantar PAUD]
Disusun oleh Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setiap
pendidik wajib tahu bahwa tugas dan kewajibannya telah diatur dalam UUSPN No 20
Tahun 2003 yang bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suatu belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pengertian tersebut menyempurnakan undang-undang sebelumnya yaitu UUSPN No 2
Tahun 1989 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/ atau pelatihan bagi
perananannya di masa mendatang.
Makna
yang sama karena inti undang-undang tersebut yaitu mengharapkan pendidikan
dapat menciptakan pendidikan dengan kualitas nasional, tertera dalam UUSPN No
20 Tahun 2003 Bab IV Pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Munib,
dkk (2010, 21) menyatakan bahwa penggalan kalimat terakhir dalam bunyi pasal
tersebut menjadi deskripsi manusia Indonesia seutuhnya (MIS), yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta
bertanggungjawab. Manusia tersebut adalah sosok manusia ideal ala Indonesia dan
berfilosofi Pancasila sehingga mampu menempatkan dimensi kemanusiaan (manusia
sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religi)
dalam dirinya secara serasi, selaras, dan seimbang.
Namun
seperti ungkapan Hidayati (1998, 25) bahwa hambatan akan selalu datang
berulang, datang pada berbagai aktivitas yang kita kerjakan, entah itu dari
dalam diri atau karena faktor luar. Ketika Indonesia mencoba bersiap diri
sambil mengharapkan tujuan pendidikan nasional dengan bantuan UUSPN No 20 Tahun
2003, nyatanya masih terhambat bahkan terhenti oleh faktor dari luar. Adalah
apa yang biasa disebut globalisasi, yang sebenarnya adalah fenomena keren yang
mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Indonesia, baik positif maupun
negatif. Selagi pendidikan harapan masyarakat adalah yang akan mempertahankan
dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia (Pidarta, 2013 :
154), namun globalisasi terkadang mengikis harapan tersebut.
Apabila
pendapat Saddoen (2018) bahwa salah satu penyebab globalisasi adalah semakin
canggihnya bidang teknologi dan informasi, dilanjutkan dengan pernyataan bahwa perkembangan teknologi terkini
menyangkut semakin majunya media massa (dan ilmu pengetahuan) berhasil
mengendalikan perubahan aspek kehidupan manusia (Khamidun, 2012); berarti bahwa
globalisasi teknologi dan informasi mampu memberi pengaruh terhadap kehidupan
manusia. Serupa dengan gagasan Ibrahim bahwa media teknologi informasi memang
mampu memberikan pengaruh melalui kehadiran (presence) dan isinya (content)
(1997: 199). Sisanya adalah, perlu dicermati seperti apa pengaruh yang
dihasilkan globalisasi tersebut terhadap kehidupan manusia, apakah positif,
atau justru negatif.
Nazari, dkk (2012) telah meneliti tentang
media massa yang kemudian menyimpulkan bahwa pada abad ini media seperti radio,
TV, film, video, video games, dan
jaringan komputer berperan penting dalam hidup manusia. Seberapa penting media
tersebut terlihat dari dampak besarnya bagi nilai-nilai kehidupan, keyakinan,
dan perilaku. Dinyatakan pula bahwa paparan media dalam bentuk paparan radio,
TV, film, video, video games, dan
jaringan komputer menjadi isu terkini yang mempengaruhi aspek persepsi dan
perilaku. Kekhawatiran pun mulai terlihat, karena mungkin saja justru dampak
negatif yang timbul dari media massa selagi globalisasi diharapkan dapat
menguntungkan kehidupan manusia.
Setelah Nazari yang akhirnya juga menemukan
fakta mengejutkan bahwa program televisi berisi adegan kekerasan secara
signifikan berhubungan positif dengan agresivitas anak sekolah dasar; Arshad,
dkk (2018) menemukan anak-anak prasekolah di Pakistan mengalami kondisi addicted (ketagihan) sebab berlebihan
menonton kartun. Temuan lain dari Asghari, dkk (2017) bahwa anak-anak berusia
4-6 tahun di Iran memiliki masalah isolasi (menutup diri) dan kecemasan akibat
berlebihan menonton TV. Sementara itu di Algeria ditemukan fakta jika kartun yang
tayang menunjukkan tindak kekerasan, kekerasan verbal, bahasa menyerang, konten
seksual, dan fantasi yang beragam bagi anak usia 5-10 tahun (Lamraoui, 2016).
Ada pula Rosiek, dkk (2015) yang menemukan efek negatif TV dari iklan makanan
yang dapat meningkatkan kasus obesitas masyarakat Polandia (hingga menjadi
negara terobesitas tertinggi di Eropa pada tahun 2015), yang menandakan bahwa
kasus tersebut juga dialami oleh anak-anak di sana. Berarti bahwa hadirnya
media massa berbentuk televisi yang seharusnya menjadi sumber informasi dan
hiburan justru memberi dampak negatif yang mengganggu perkembangan anak hingga
menimbulkan masalah/ gangguan kesehatan individu pemirsanya.
Dikatakan globalisasi atau zaman informasi
adalah karena informasi bisa hadir begitu cepat berkat alat canggihnya, dan
semua itu berpankal dari kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk itu, sekolah sejak
jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi patut
mengutamakan materi tentang ilmu dan teknologi. Namun bukan berarti mengabaikan
ilmu pengetahuan lain sebab semua ilmu pengetahuan harus diberikan secara
optimal pada anak. Pendidik hendaklah menantang diri agar proses pendidikan di
sekolah tidak ketinggalan zaman, agar dapat membuat anak berpacu dengan
teman-teman sezamannya, tidak kalah dari anak bangsa lain. Pendidik juga perlu
meningkatkan profesionalismenya agar memiliki kualitas yang sejajar dengan
pendidik-pendidik lain dari mancanegara.
Tulisan ini bertujuan mengkaji dampak
globalisasi khususnya pada bidang teknologi dan informasi melalui media massa
terhadap pendidikan di Indonesia, untuk kemudian dapat disusun menjadi gagasan
tentang konsep pendidikan seperti apa untuk anak-anak usia dini yang siaga
terhadap adanya globalisasi. Siaga yang dimaksud agar dampak negatif dapat
dihindari dan dicegah, sehingga yang positif saja yang akan diimplementasikan
dalam pendidikan untuk anak usia dini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsep
globalisasi? Apa saja penyebab terjadinya, ciri-ciri, dan dampaknya terhadap
kehidupan manusia?
2.
Bagaimana hubungan
globalisasi dengan pendidikan di Indonesia?
3.
Bagaimana
mengimplementasikan globalisasi ke dalam bidang pendidikan untuk anak usia dini
(PAUD)?
4.
Bagaimana bentuk
kesiagaan PAUD terhadap arus globalisasi?
C. TUJUAN PENULISAN
Sesuai
dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Memahami bagaimana konsep
globalisasi, mengenai penyebab terjadinya, ciri-ciri, dan dampaknya terhadap
kehidupan manusia.
2.
Memahami hubungan globalisasi dengan pendidikan di Indonesia.
3.
Menyusun gagasan tentang
bagaimana implementasi globalisasi ke dalam
bidang pendidikan untuk anak usia dini (PAUD).
4.
Menyusun gagasan yang
baik tentang bagaimana bentuk kesiagaan PAUD
terhadap arus globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP
GLOBALISASI
1. Pengertian
Globalisasi
Globalisasi
atau globalization berasal dari kata global yang berarti dunia dan lization yang berarti proses. Maka dari
itu, secara bahasa globalization berarti
proses yang mendunia. Emmanuel Richter (dalam Saddoen, 2018) mengartikan
globalisasi sebagai suatu jaringan secara global yang menyatukan masyarakat
secara bersama-sama (yang sebelum itu tersebar dan terisolasi ke dalam) dengan
hubungan yang saling bergantung dalam satu dunia. Sedangkan menurut Selo
Sumardjan (dalam Saddoen, 2018), globalisasi ialah suatu proses yang terbentuk
dari adanya sebuah organisasi serta komunikasi para masyarakat di dunia untuk
ikut dalam suatu sistem tertentu. Selanjutnya dapat ditarik garis bahwa inti
dari globalisasi yaitu menyebabkan
negara menjadi tidak terlalu luas karena mudahnya berkomunikasi antar negara di
segala bidang seperti halnya bertukar informasi ataupun perdagangan melalui
sebuah media elektronik.
Para
globalis atau ahli teori globalisasi yaitu Cochrane dan Pain (dalam Saddoen,
2018), menyatakan bahwa dampak positif globalisasi yang mungkin terjadi adalah
sebuah pemikiran yang semakin terbuka sekaligus semakin tinggi sikap toleransi
terhadap perbedaan bangsa. Sedangkan dampak negatifnya yaitu mampu menghilangkan
budaya asli yang menjadi identitas suatu masyarakat dan bahkan menjadi bentuk
penjajahan baru terhadap tanah air. Kaum ini beranggapan bahwa adanya
globalisasi menjadi suatu bentuk dari konsekuensi kehidupan yang terjadi di
seluruh belahan dunia yang nantinya menimbulkan sebuah kebudayaan baru yakni
kebudayaan homogen menjadi tersebar di penjuru dunia.
2.
Penyebab
Terjadinya Globalisasi
Saddoen
(2018) mengemukakan pendapat tentang beberapa hal yang dapat menyebabkan
terjadinya globalisasi utamanya adalah semakin canggihnya bidang teknologi dan
informasi yang memiliki peran untuk memudahkan aktivitas dalam segala macam
transaksi ekonomi dari satu negara ke negara lain. Penyebab lain yaitu karena semakin
luasnya kerjasama yang terjalin hingga kelas internasional sehingga memperkuat
kesepakatan antar negara yang sejak awal sudah memiliki hubungan yang erat.
Alat transportasi semakin mudah didapatkan juga menjadi penyebab globalisasi, karenanya
sistem ekspedisi barang-barang yang mengalami perbaikan dari tahun ke tahun menjadi
semakin mudah meskipun jaraknya amat jauh. Satu sebab terakhir yaitu karena adanya
perekonomian yang terbuka.
Jauh
sebelumnya, Pidarta mengemukakan bahwa karena informasi cepat dapat diterima
antarpulau dan antarbenua, dunia seolah menjadi sempit (2013 : 169). Segala
macam informasi mengalir di seluruh dunia, mengglobal, dan tidak mengenal
batas-batas negara. Ditambah lagi dengan beberapa industri dan dunia
perdagangan yang menyebar di seluruh dunia. Bangsa tertentu memiliki industri
dan perdagangan di wilayah bangsa lain, membuat dunia seolah menyatu saja.
3.
Ciri-Ciri
Globalisasi
Berikut
ini ciri-ciri yang mengindikasikan telah terjadinya globalisasi yang kebanyakan
sudah terjadi di kehidupan manusia masa kini (Saddoen, 2018) :
a. Semakin
luasnya kegiatan sosial, politik, serta ekonomi dalam wilayah regional hingga
mendunia.
b. Semakin
meningkatnya hubungan antara perdagangan, investasi, pertukaran budaya,
keuangan, hingga migrasi.
c. Adanya
percepatan dari interaksi maupun komunikasi mendunia
d. Munculnya
sistem transportasi maju
e. Semakin
cepatnya difusi ide dan informasi
f. Semakin
cepatnya distribusi modal, barang-barang, dan masyarakat
Sementara
itu Pidarta (2013 : 169) mengemukakan bahwa ciri utama telah terjadinya
globalisasi yaitu kala informasi menjadi begitu cepat diterima dari sumber
menuju penerimanya berkat alat perantara yang canggih. Gambarannya, orang tidak
perlu lagi datang sendiri ke suatu desa atau kota untuk mengetahui sesuatu, ia
cukup mengangkat telepon untuk menanyakan pada seseorang tentang hal yang ingin
diketahui. Begitu pula dengan berita dari seluruh dunia yang dapat diketahui
secara cepat melalui radio, televisi, dan kini melalui jaringan internet.
4.
Dampak
Globalisasi
Saddoen
(2018) mengemukakan beberapa dampak adanya globalisasi yang dibagi ke dalam
sifat positif dan negatif. Rinciannya sebagai berikut :
a. Dampak
positif, yaitu semakin bertambahnya bangunan baru; semakin cepat dan lebih mudah
dalam berkomunikasi; terjadinya peningkatan ekonomi yang lebih efektif,
efisien, dan produktif; jumlah wisatawan bertambah; semakin mudah dalam mencari
informasi mengenai ilmu pengetahuan; peningkatan taraf hidup dalam masyarakat
dan kualitas individu; dan transportasi menjadi semakin mudah untuk digunakan.
b. Dampak
negatif, yaitu berkurangnya solidaritas/ kesetiakawanan antar teman, bahkan hilangnya
rasa peduli antar sesama; semakin jarang dilaksanakan aktivitas gotong royong;
semakin banyaknya masyarakat konsumtif; hilangya kreativitas karena masyarakat lebih
menyukai hal yang instan; nilai budaya dan adat mulai terkikis; informasi mudah
simpang siur antara kabar sebenarnya atau kabar burung (hoax); sulit berkembangnya perusahaan dalam negeri sebab perekonomian
justru semakin dikuasai perusahaan luar; banyaknya orang mulai memililki sikap
yang buruk; banyak gedung pencakar langit bermunculan dan semakin sempitnya lahan pertanian sehingga
petani beralih profesi, gaya hidup hedonisme merajalela; dan individualitas menjadi-jadi.
Pengaruh globalisasi juga dikaji oleh Pidarta (2013 : 187-188), yaitu
yang diterima oleh masyarakat Indonesia. Rinciannya adalah sebagai berikut :
a.
Bidang ekonomi
menjadi global yang tercermin dari adanya bantuan dana luar negeri, penanaman
modal asing, industri dan perdagangan Indonesia yang menyebar di luar negeri
atau sebaliknya, serta ekonomi moneter tidak dapat diisolasi dari pengaruh
dunia luar.
b.
Bidang politik, di
mana para tokoh internasional seringkali berdebat soal Hak Asasi Manusia (HAM)
dan demokrasi pemerintahan.
c.
Bidang kebudayaan
dimasuki globalisasi yang ditandai dengan situasi masuknya lagu-lagu bahasa
asing (Barat, Korea Selatan, India) diikuti dengan tayangan program di televisi
swasta, dan budaya konsumtif yang tidak puas belanja di dalam negeri (terutama
para konglomerat).
d.
Kehidupan remaja
sudah kerasukan arus globalisasi
sehingga mereka tidak gentar untuk minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba,
bermain-main erotis di klub malam, atau melakukan tindak kekerasan yang
menyimpang dari kepribadian bangsa Indonesia.
Bagaimanapun caranya, sudah sepantasnya manusia yang bijaksana harus
bisa menyikapi dengan baik hadirnya arus globalisasi dalam kehidupannya dengan
harapan agar hal-hal positif saja yang diterima, bukan yang negatif. Tidak
perlu meninggalkan adat istiadat dan ideologi asli bangsa dalam menerima arus
dari luar, cukup menjadi kritis saja sehingga tetap hidup dalam pedoman bangsa.
B. HUBUNGAN
GLOBALISASI DENGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Globalisasi media massa berawal pada kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi sejak dasawarsa 1970-an dengan munculnya
istilah baru macam banjir komunikasi,
era informasi/ satelit, atau masyarakat
informasi (Kuswandi, 1996). Akibat globalisasi, arus informasi meluas
menciptakan keseragaman pemberitaan, termasuk bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Peristiwa di suatu negara dapat segera mempengaruhi perkembangan
masyarakat negara lain. Dalam Megatrend
2000 (1991), dunia dalam kondisi tersebut disebut dengan global village.
Laiknya pendapat Saddoen
(2018) mengenai ciri-ciri globalisasi yaitu terjadi percepatan interaksi dan
komunikasi diiringi semakin cepatnya difusi informasi dan ide. Pidarta (2013)
sepakat bahwa ciri utama globalisasi yaitu informasi jadi cepat diterima berkat
alat perantara yang canggih. Kondisi serba cepat itulah yang menghasilkan
globalisasi di bidang pendidikan yaitu kemajuan
ilmu pengetahuan yang berdampak besar bagi masyarakat dunia. Revolusinya menuju
peradaban baru yang mempermudah manusia untuk saling berhubungan, mengikis
jarak dan waktu, serta meningkatkan mobilitas sosialnya. Meski begitu,
terbukanya semua saluran komunikasi tersebut berakibat pada sulitnya
mengendalikan nilai-nilai asing yang memasuki suatu negara, khususnya bagi
negara berkembang.
Poin ini penulis kaji berdasarkan pendapat Pidarta
(2013) tentang masyarakat Indonesia dan pendidikan. Sebagian besar masyarakat
Indonesia masa kini sadar pentingnya pendidikan demi meningkatkan hidup dan
kehidupan. Meski sejumlah orangtua justru menolak menyekolahkan anak dengan
dalih membantu cari nafkah keluarga, masyarakat di atas garis kemiskinan
berusaha sekali menyekolahkan anak setinggi mungkin. Kemudian jika tidak dapat
memasukkan anak di lembaga negeri, sekolah atau perguruan tinggi swasta pun
menjadi solusinya.
Mungkin karena asumsi mereka bahwa semakin tinggi
ijasah yang dipunyai maka makin cepat pula mendapatkan pekerjaan dengan tinggi
gaji. Padahal fakta tidak memperlihatkan kondisi seperti itu. Tidak semudah itu
dapat bekerja meski sudah lulus sebagai sarjana. Para pemakai tenaga kerja
rupanya lebih melirik pada kemampuan, keterampilan, dan kepribadian pencari
kerja. Berdasarkan kenyataan tersebut, lahirlah perkembangan baru di mana
masyarakat mulai memilih lembaga pendidikan yang bermutu atau cukup bermutu.
Lembaga macam ini pasti dibanjiri peminat, selagi ada lembaga yang kekurangan
calon peserta didik. Berkat arus globalisasi, masyarakat bisa mencari informasi
melalui media apapun.
Penulis ulang kembali bahwa masyarakat masa kini
semakin sadar pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan bagi insan usia dini
yaitu anak. Masyarakat yang membaca dan mendengar informasi sadar bahwa anak
mereka juga perlu diberi pendidikan selain pengasuhan di rumah oleh keluarga.
Globalisasi informasi telah meluaskan informasi tentang mengapa pendidikan
penting bagi anak, yaitu PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini. Kemajuan ilmu
pengetahuan melahirkan data-data akurat tentang kajian neurologis, psikologi,
fisiologi, sosiologi, antropologi, hingga pendidikan. Untuk itu penulis sajikan
beberapa alasan pentingnya PAUD bagi anak dari berbagai perspektif keilmuan (Suyadi
& Ulfah, 2007 : 2-16).
1.
Fakta tentang otak
anak, di mana usia dini adalah golden
ages saat anak menerima setiap rangsangan menjadi samburngan baru atau
memperkuat sambungan yang sudah ada. Sambungan tersebut adalah neuron di otak.
2.
Antisipasi anak
putus sekolah, sebab anak yang lebih siap (masuk PAUD) memiliki kemampuan
belajar lebih tinggi daripada anak yang belum siap.
3.
Pendidikan adalah
investasi peradaban masa depan. PAUD adalah pondasi anak berakhlak mulia,
cerdas, dan berguna bagi nusa bangsanya.
4.
Data kecerdasan
anak dalam kelola PAUD menyatakan bahwa lingkungan anak berusia 0 s.d 6 tahun
akan memberikan efek belajar jangka panjang. Kecerdasan anak juga dapat dipacu
sejak dini. Sosial anak yang ditatar akan membentuk kecerdasan yang baik hingga
remaja bahkan dewasa.
5.
PAUD menjadi
impian masyarakat Indonesia dalam 3A (asah,
asih, asuh) bagi anak setelah orangtua atau keluarga di rumah.
6.
Dampak globalisasi
yang ikut mengenai anak. Miris sekali bagi anak yang kekurangan 3A menjadi
korban produk non edukatif dari sumbernya.
C. IMPLEMENTASI
GLOBALISASI DI BIDANG PAUD
Gagasan
penulis untuk menciptakan implementasi konsep pendidikan untuk anak usia dini
yang memanfaatkan globalisasi yaitu pendidikan masa kini yang menerima
kebudayaan global/ populer dengan tetap mempertahankan kebudayaan umum dan
daerah asli Indonesia dengan berpedoman pada Pancasila. Konsep pendidikan untuk
anak usia dini tersebut tentunya berbasis keIndonesiaan, yang harapannya dapat menepis
dampak negatif arus globalisasi, sehingga dampak positif yang diperoleh dapat
menunjang upaya nasional dalam mempersiapkan generasi emas pada tahun 2045 saat
Indonesia Merdeka tepat berusia 100 tahun.
Penulis
berpendapat bahwa gagasan ini akan terlaksana jika pendidik kritis dalam
menerima datangnya arus globalisasi. Pendidik yang dimaksud juga bukan hanya
guru atau staf pengajar di lembaga pendidikan, melainkan orangtua dan keluarga,
masyarakat, serta pemerintah. Semua perlu ikut serta mengupayakan secara sadar
pendidikan untuk mengembangkan potensi anak secara optimal.
1.
Pendidikan
Berbasis KeIndonesiaan
Menurut
penulis, pendidikan berbasis keIndonesiaan sama artinya dengan pendidikan
berkualitas nasional, yaitu pendidikan yang mengembangkan peserta didik agar
tumbuh dan berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya (MIS), seperti yang
tertera dalam UUSPN No 20 Tahun 2003. Penulis mengkaji bahwa pendidikan
nasional tersebut mendidik peserta didiknya agar hidup berbangsa dan bernegara
dengan mengamalkan kelima sila dalam Pancasila, yaitu menjadi sosok manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Konsep manusia seperti itu yang disebut Munib, dkk (2010)
sebagai manusia baik yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia.
Kemudian
jika melihat sejarah pendidikan di Indonesia, pasti akan teringat sosok Ki
Hajar Dewantara yang hingga kini dianggap bangsa Indonesia sebagai Bapak
Pendidikan Nasional dan diperingati setiap tanggal 2 Mei. Bagi beliau, anak
adalah kodrat alam dengan pembawaan masing-masing dan merdeka untuk berbuat
atau mengatur dirinya (Suyadi & Ulfah, 2007 : 143). Sebelum Indonesia
merdeka, beliau sudah menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya memajukan
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh
anak (Munib, dkk, 2010 : 32). Istilah zaman kini yaitu mengembangkan tiga ranah
pendidikan peserta didik; afeksi, kognisi, dan psikomotorik.
Adapun
pendidikan yang dimaksud Ki Hajar Dewantara yaitu harus dapat memberikan faedah
pengetahuan lahir dan batin serta memerdekakan diri, untuk menuntun kodrat anak
menjadi anggota masyarakat yang hidup selamat bahagia (Suyadi & Ulfah, 2007
: 143). Peran pendidik juga penting, namun cukup sebagai pamong yang tut wuri
handayani saja. Artinya, pendidik tidak boleh membatasi hak anak dalam
menentukan apa yang baik bagi dirinya, karena anak patut diberi kesempatan
untuk berjalan sendiri dan tidak terus menerus dipaksa. Jadi pamong hanya boleh memberikan bantuan
jika anak menghadapi hambatan yang cukup berat atau tidak dapat diselesaikan.
Inilah terjemahan dari tut wuri handayani,
yaitu pamong berperan mendorong di belakang peserta didik. Pamong tersebut menerapkan sistem among yaitu pembelajaran dan pendidikan
berdasarkan pada asah, aish, dan asuh (care and dedicated
based love) (Diana, 2013 : 29).
Sungguh
pemikiran yang luar biasa dari Ki Hajar Dewantara di mana anak sebaiknya
diberikan keleluasaan selama proses pendidikan. Tidak hanya itu, sejak awal
beliau juga menggagas pendidikan anak yang sangat berbasis keIndonesiaan. Bolehlah
mengadopsi pemikiran ahli pendidikan luar negeri macam Froebel dan Montessori,
namun beliau tetap menjunjung tinggi sumber daya asli tanah air agar
dimanfaatkan dalam proses pendidikan. Beliau memberi perhatian penuh terhadap
permainan anak yang ia anggap amat sesuai dengan jiwa anak yang penuh khayal
dan dorongan bergerak. Permainan yang dimaksud tentu saja permainan nasional
yang terdiri atas permainan tradisional agar anak dengan tetap dalam lingkungan
kebudayaan bangsanya (Suyadi & Ulfah, 2007 : 144). Permainan tersebut yaitu
:
a. Sumbar,
Gateng/Cawuk Watu, Unclang (lempar karet) untuk mendidik
anak agar titi patitis (saksama),
cekatan, dan menjernihkan pikiran.
b. Dakon/ Congklak,
Cublak-Cublak Suweng, Kubuk untuk mendidik anak tentang
pengertian perhitungan dan perkiraan untung rugi.
c. Gobag,
Trembung, Raton, Cu, Geritan, Obrog, Panahan, Jamuran, Jelungan; dan permainan sport
lainnya guna mendidik anak bertubuh kuat dan sehat, cekatan, berani, dan tajam
penghilatannya.
d. Ngronce Kembang (mengutas
bunga), Nikar (membuat tikar), Nyulam Godhong Gedhang/ Janur (menyulam
daun pisang/ kelapa) dan main keterampilan lainnya; untuk melatih watak tertib,
teratur, dan terampil.
Satu
lagi teori Ki Hajar Dewantara yaitu Tri Pusat Pendidikan, mengenai tempat
terlaksananya pendidikan di dalam tiga lingkungan. Pendidikan pertama terjadi
di lingkungan keluarga oleh anggota keluarga terutama ayah dan ibu. Yang kedua
terjadi di lingkungan sekolah, pendidiknya tentu saja guru. Lingkungan luas
masyarakat menjadi lingkungan ketiga tempat terjadinya pendidikan bagi anak. Di
ketiga lingkungan inilah, anak memperoleh pendidikan yang harusnya berjalan serasi,
selaras, dan seimbang dalam ranah afeksi, kognisi, dan psikomotoriknya.
Demikian
dapat penulis sarikan mengenai gagasan pertama implementasi pendidikan berbasis
keIndonesiaan yaitu pendidikan yang berfilsofi Pancasila dan tidak lepas dari
budaya bangsa sendiri, yaitu pendidikan seperti yang diatur dalam UUSPN No 20
Tahun 2003 dan digagaskan lama oleh Ki Hajar Dewantara.
2.
Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan
karakter
adalah watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai asas pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan
(BP3K Kemendiknas). Kedua hal lantas
diintegrasikan dengan pendidikan menjadi pendidikan budaya dan karakter
bangsa yang berarti usaha sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menginternalisasikan, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dalam
masyarakat. Tujuan khusus tersebut
diperluas yaitu agar mengembangkan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta
mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Penjelasan lebih rinci mengenai tujuan
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai
manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang
terpuji dan sejalan dengan nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta
didik;
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan;
e. Mengembangkan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Pidarta
(2013: 167) menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua cara hidup ditambah
dengan kehidupan manusia yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai warga
masyarakat. Budaya
tersebut menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya
lingkungan terdekat (ampong, RT, RW, desa), berkembang menuju lingkungan budaya
nasional dan budaya universal yang dianut seluruh umat manusia. Kebudayaan
berbeda dari peradaban, sebab peradaban adalah kebudayaan yang sudah maju
(Hassan, 1983). Pidarta (2013: 168) kemudian membagi kebudayaan dalam 3
kelompok besar :
a. Kebudayaan
umum, misalnya kebudayaan Indonesia.
b. Kebudayaan
daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Lombok, Sunda.
c. Kebudayaan
populer, dengan masa berlaku pendek dan muncul karena fenomena populer, seperti
lagu populer, model film musiman, mode pakaian musim gugur, halyu wave, dan sebagainya.
Apabila
anak asing dengan kebudayaan daerah, maka dia tidak mengenal baik budaya
bangsa, dan dia tidak mengenal diri sendiri sebagai anggota budaya bangsa. Mereka pun rentan terhadap pengaruh budaya
luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa pertimbangan (valueing)
sebab tidak memiliki norma dan nilai-nilai budaya nasionalnya dasar melakukan
pertimbangan. Untuk itu, ketiganya pantas diajarkan pada
anak (harus sesuai dengan waktu dan tempat). Kebudayaan umum harus diajarkan,
selagi kebudayaan daerah dapat dikaitkan dengan kurikulum muatan lokal,
sedangkan kebudayaan populer cukup dengan proporsi kecil. Untuk itulah, sudah
sepantasnya PAUD sebagai lembaga layanan pendidikan anak juga turut serta
mengenalkan ketiga jenis kebudayaan tersebut.
Hal
tersebut selaras dengan pesan BP3K Kemendiknas tentang persoalan budaya dan
karakter bangsa (di antaranya : korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
perusakan, perkelahian massa, kehidupan politik tidak produktif, ekonomi yang
konsumtif, dan sebagainya) dapat diatasi melalui pendidikan. Namun tentu bukan
mengatasi secara langsung sebab pendidikan hanyalah mencegah agar persoalan
tersebut berkurang atau sirna di kehidupan mendatang, yaitu jika generasinya
utuh berkembang sebagai manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter
bangsa.
Sebagai
jenjang pendidikan paling dasar, PAUD harus melayani anak sambil menyisipkan
pendidikan budaya dan karakter dalam kurikulumnya dengan syarat bahwa prosesnya
tidak memisah anak dari lingkungan sosial, masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan
sosial dan budaya bangsa anak adalah Pancasila, maka pendidikan budaya dan karakter
bangsa bagi mereka haruslah berdasarkan Pancasila. Pendidik lantas
mengembangkannya melalui pendidikan hati, otak, dan fisik; melalui perencanaan
yang baik, pendekatan yang sesuai, dan dengan metode yang efektif dalam usaha
bersama oleh semua anggota lembaga pendidikan.
Pendidik
PAUD di seluruh Indonesia tidak perlu pusing dalam penerapan tuntutan tersebut
pada anak karena aturan pemerintah sudah memilih nilai agama, nilai Pancasila,
nilai budaya, dan nilai tujuan pendidikan nasional sebagai acuan. Dengan
begitu, pendidik tidak perlu enggan melaksanakan proses pendidikannya.
a.
Agama : masyarakat Indonesia
adalah masyarakat beragama
Kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari ajaran agama dan kepercayaan. Secara
politis, kehidupan kenegaraan pun didasari nilai-nilai agama. Atas dasar
pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
didasarkan pada nilai dan kaidah yang berasal
dari agama.
b.
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945
NKRI merdeka atas prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan bernama Pancasila. Nilai-nilai dalam
Pancasila mengatur bidang politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, budaya, dan seni di Indonesia. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
c.
Budaya
Benar bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat
yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya itu adalah dasar pemberian makna terhadap konsep dan arti
dalam komunikasi antaranggota masyarakat. Posisi penting budaya dalam kehidupan masyarakat mengharuskan
budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
d.
Tujuan Pendidikan
Nasional
Hal ini menjadi rumusan kualitas setiap warga
negara Indonesia yang
dikembangkan di seluruh satuan pendidikan. Tujuan
pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber
yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa.
Nilai-nilai tersebut
kemudian dispesifikkan lagi ke dalam delapan belas (18) nilai pendidikan budaya
dan karakter bangsa. Penjelasannya sebagai berikut :
NILAI |
DESKRIPSI |
1. Religius |
Sikap dan perilaku
patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain. |
2. Jujur |
Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. |
3. Toleransi |
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya. |
4. Disiplin |
Tindakan yang menunjukkan
perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. |
5. Kerja Keras |
Perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. |
6. Kreatif |
Berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. |
7. Mandiri |
Sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. |
8. Demokratis |
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. |
9. Rasa Ingin Tahu |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. |
10.
Semangat Kebangsaan |
Cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya. |
11. Cinta Tanah Air |
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. |
12. Menghargai
Prestasi |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain. |
13. Bersahabat/ Komuniktif |
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. |
14. Cinta Damai |
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. |
15. Gemar Membaca |
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya. |
16. Peduli
Lingkungan |
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi. |
17. Peduli Sosial |
Sikap dan tindakan
yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan. |
18. Tanggungjawab |
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. |
Dalam menerapkan pendidikan budaya dan karakter bangsa, para pendidik PAUD boleh melibatkan partisipasi orangtua dan masyarakat. Pendidikan karakter dan budaya bangsa diintegrasikan ke dalam kurikulum melalui pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak, mungkin dengan metode bermain peran, bernyanyi, atau bercerita. Pengalaman anak juga perlu ditekankan, sehingga perlu dibiasakan melalui pembiasaan agar kedelapan belas nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa tersebut semakin tertanam dalam keseharian anak.
3. Siaga terhadap Arus
Globalisasi
Seperti yang diungkapkan Khamidun dan Ibrahim
yang sudah penulis kaji sebelumnya, bahwa saat ini teknologi berperan penting
dalam proses pendidikan (belajar) manusia, termasuk bagi jenjang pendidikan bagi
anak usia dini (PAUD). PAUD sama halnya dengan jenjang pendidikan lain juga
telah mengalami empat kali revolusi teknologi pendidikan, sehingga
penyelenggaraan PAUD masa kini tidak hanya melibatkan pendidik saja dalam
melayani anak. seiring dengan arus globalisasi yang terus bergerak di sana
sini, para pendidik PAUD juga mampu menggunakan berbagai macam sumber untuk
menunjang proses pendidikan bagi anak. Hal tersebut diikuti dengan pengembangan
sumber dan pengelolaannya agar memaksimalkan proses belajar bagi anak sebagai
peserta didik. Tentu
saja jika teknologi yang digunakan selaras, mendukung, dan berdampak positif.
Siaga terhadap arus globalisasi di bidang
pendidikan akan menyentuh pula pada kebudayaan nasional (perlu ingat bahwa
pendidikan dan kebudayaan saling berkaitan). Pidato Umar Khayam (1992, dalam
Pidarta (2013 : 174-175)) dalam kongres kebudayaan yang membahas tentang
kebudayaan nasional sebagai suatu kebudayaan baru yang membawa perjalanan
bangsa Indonesia menuju masyarakat modern yang dikehendaki. Kebudayaan tersebut
memiliki ciri-ciri berikut :
a.
Afeksi manusianya yang
mengandung sikap jujur dalam semua bidang, tidak munafik, dan tulus ikhlas
dalam semua pekerjaan.
b.
Sistem politik
demokratis, di mana rakyat selalu mendapat kesempatan untuk mempertanyakan
perihal pemerintahannya.
c.
Sistem ekonomi adil pada
semua warga negara, yang menciptakan pasar luas untuk bersaing, dan mampu
menyalurkan hasil penjualan untuk kesejahteraan yang relatif merata di seluruh
negeri.
d.
Sistem pendidikan dengan
kesempatan luas pada seluruh warga negara dan mendorong perkembangan ilmu dan
teknologi setinggi-tingginya.
e.
Sistem kesenian yang
mampu mengembangkan suasana kesenian yang kaya dan penuh vitalitas, tanpa ada
halangan dalam penyampaiannya.
f.
Sistem kepercayaan, yang
sehat-toleransi-damai dan memberi tempat seluas-luasnya kepada semua agama
untuk hidup selamat tenteram.
Pidarta (2013 : 176) lalu menyatakan
kekhawatirannya bahwa sama halnya saat mengembangkan ilmu pendidikan bercorak
keIndonesiaan, mengembangkan kebudayaan nasional pun menghadapi banyak
tantangan. Khusus tentang kesenian sebagai salah satu bagian kebudayaan rupanya
mendapatkan tantangan yang mirip pula dengan bagian kebudayaan lain dalam era
globalisasi, yaitu takut kehilangan jati diri sebab ditelan oleh luapan
informasi yang global dari seluruh dunia.
Kesenian nasional bisa saja punah karena
kesenian luar yang informasinya jauh lebih banyak dan luas diterima masyarakat
Indonesia. Amang Rahman (1993 dalam Pidarta (2013 : 177)) mencoba mencari
solusi agar kesenian nasional tidak tenggelam ke dalam kesenian global yaitu
dengan menciptakan kesenian unggulan sebagai karya besar yang sanggup
menyumbang kepada kebudayaan atau kesenian dunia. Mungkin akan sulit, namun
jika benar-benar terwujud, maka akan menjadi kebanggaan di negeri sendiri,
sekaligus dikagumi kalangan seniman dunia. Lantas bisa saja solusi brilian
tersebut diterapkan di bidang lain. Mungkin saja menyusun sistem pendidikan
keIndonesiaan bertujuan nasional yang unggul.
Setelah mengetahui gambaran masyarakat di era
globalisasi, masyarakat perlahan menjadi sadar dan tanggap untuk selektif
memilih bagian dari globalisasi mana yang positif dan yang negatif. Dukungan
pihak lain juga perlu, di antaranya dengan adanya peningkatan mutu sekolah dan
perguruan tinggi dengan akreditasi dan seleksi penerimaan siswa/ mahasiswa yang
diperketat. Cara tersebut semoga menciptakan prinsip bahwa belajar di sekolah
atau perguruan tinggi sebagai siswa atau mahasiswa cerdas dan berpribadi baik
(Pidarta, 2013 : 190). Selain bersikap selektif, mayoritas masyarakat juga
berupaya memperkuat jati diri dengan sumber Pancasila. Takdir Alisyahbana,
(1992) menambahkan bahwa nilai-nilai Pancasila perlu dioperasionalkan agar
semua rakyat mampu berpikir, berkata, dan bertindak Pancasalais, agar jati
dirinya semakin kokoh (dalam Pidarta, 2013 : 191).
Di samping kedua sikap siaga tersebut, terdapat
hal-hal tertentu yang bisa dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan dan kehidupan para remaja. Tindakan
yang dimaksud adalah :
a.
Membuat batasan pada media elektronik terutama televisi untuk :
-
Maksimal 50% penayangan lagu-lagu luar negeri
-
Minimal 50% penanyangan kesenian daerah
-
Penayangan film aksi/ laga tidak berbau kekerasan
-
Tolak penayangan film yang mengundang erotisme
-
Tolak film bemuatan egois, sadis, ketus, penghinaan, sindirian
-
Tolak film yang merusak kaidah penggunaan bahasa nasional
b.
Mendukung tindakan pemerintah terhadap upaya memerangi perilaku
menyimpang para remaja, dengan cara :
-
Memberantas minuman keras dan narkoba
-
Mengurangi jumlah klub malam
-
Menangkap dan menghukum mereka yang berkelahi
-
Meningkatkan mutu pendidikan sekolah, masyarakat, keluarga
-
Memberikan penyaluran kegiatan positif/ pekerjaan yang pantas
Kaitannya dengan televisi, penulis menemukan
gagasan lain dari Milton Chen yang dirasa mampu menciptakan kesiagaan terhadap
globalisasi yang hadir lewat media tersebut yaitu menjadi konsumen TV/ pemirsa yang lebih bijaksana. Chen sangat
mementingkan keberadaan orangtua sebagai pembimbing utama anak yaitu
memperhatikan anak saat menonton televisi kemudian belajar dari muatan tayangannya,
menyeleksi progam, melakukan diet TV,
menghidupkan hanya pada acara tertentu, mengajari anak mengkritisi acara dan
iklan, dan tentu saja adalah orangtua sudah tahu banyak mengenai acara apa yang
pantas bagi anak. Orangtua memilihkan acara yang berizi bagi pola
perkembangan anak, memberi penjelasan, mengajak berdialog, mematikan mesin TV
jika acaranya selesai, serta memastikan anak untuk melihat televisi secara sadar (dalam Hidayati, 1998 : 89-90).
D. KESIAGAAN PAUD
TERHADAP ARUS GLOBALISASI
Masyarakat modern didominasi oleh persamaan hak
laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada melonjaknya jumlah wanita karir.
Di sisi lain, globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan informasi semakin
melimpahkan pengaruhnya bagi anak-anak sehingga kini muncul istilah generasi alpha atau kids zaman now, yang berarti bahwa anak pada zaman now atau masa kini berbeda dari anak-anak pada masa
sebelumnya. Bisa terlihat jelas dari cara berpikir, cara berperilaku, dan
bagaimana anak menggunakan bahasanya. Di luar mungkin terlihat cerdas karena
anak terkesan banyak tahu tentang dunia sekelilinya, namun kondisi tahu
tersebut sebenarnya belum melibatkan pemahaman yang mendalam.
Di lembaga PAUD, masyarakat percaya bahwa anak mereka
akan menerima 3A oleh pihak yang profesional dan bijaksana. Karena itu,
pendidik PAUD baik TPA, KB, TK atau RA memegang peran penting. Mereka adalah
pendidik yang mengasah anak, menjadi orangtua kedua yang mengasihi serta
mengasuh anak sebagai bagian masyarakat yang terus berubah seiring berjalannya
waktu. Pantas jika disebut sebagai beban karena peran pendidik PAUD bukan hanya
mengasah intelektual anak, tetapi juga moral, emosional, dan spiritual.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penulis
mengagas tiga cara bagi PAUD sebagai sikap siaganya dalam menghadapi
globalisasi terhadap anak yaitu mempertahankan kebudayaan tanah air dan daerah
dalam pelaksanaan pendidikan, di mana pemikiran Ki Hajar Dewantara dan
Pancasila sebagai pedomannya. Lalu untuk menunjang pelaksanannya, PAUD memaksimalkan
pendidikan karakter dan budaya bangsa terhadap anak pada 4 nilai utama dan 18
deskripsi nilainya.
Selain itu, pendidik PAUD pasti juga tidak asing
dengan dokumen kurikulum 2013 PAUD dalam Permendikbud No 137 Tahun 2014 yang
berisi standar tingkat pencapaian perkembangan anak (STTPA). STTPA menjadi
acuan pengembangan potensi anak di lembaga melalui pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik, kebutuhan, tahap perkembangan anak, dan budaya lokal
melalui kegiatan bermain dan pembiasaan; pada kegiatan dalam bentuk tema/
sub-sub tema yang memuat unsur nilai-nilai agama dan moral, kemampuan berpikir,
kemampuan berbahasa, kemampuan sosial-emosional, kemampuan fisik-motorik, serta
apresiasi terhadap seni (Pasal 9 (1), (2), (3)). Pembelajaran tersebut juga
disarankan agar tersaji dalam suasana menyenangkan dan menarik minat anak; yang
diupayakan dapat membangun gagasan anak untuk bebas berekspresi, imajinatif,
dan kreatif dalam mengembangkan nilai agama dan moral, kognitif, bahasa,
sosial-emosional fisik-motorik, dan seninya. Pembelajaran tersebut yaitu
berpendekatan saintifik.
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dirancang
agar peserta didik aktif mengkonstruk kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan melalui tahapan mengamati, menanya, mengumpulkan data, menalar,
dan mengkomunikasikan. Penulis kemudian menganggap bahwa pendekatan saintifik
ini sesuai bagi anak-anak masa kini yang hidup di era globalisasi dengan alasan
karena anak dilatih agar kritis dengan sains/ pengetahuan dan informasi yang
hadir di sekelilingnya. Setelah mengamati dan menanya anak mengasosiasikan
informasi dan berpikir dengan nalarnya, kemudian mengkomunikasikan simpulan.
Dengan begitu, anak dilatih agar bijaksana, tidak begitu saja menerima
informasi mentah-mentah.
Dengan kemajuan lembaga PAUD, pendidik boleh saja
melibatkan pihak lain dalam melayani anak seperti dokter anak, psikolog,
neurolog, ahli gizi sosiolog, klinik perkembangan, dan lain-lain. Gagasan ini
disebut Suyadi dan Ulfah sebagai dukungan menyeluruh atau kerjasama antara
sekolah dengan tenaga atau organisasi profesional lain (2017
: 12, 182). Dukungan menyeluruh ini pula yang termasuk dalam arah baru PAUD
masa depan. PAUD masa depan digagas Suyadi dan Ulfah sebagai PAUD yang banyak
diminati oleh orangtua berkarir. PAUD ini masih terganggu oleh dilema etik
antara menekankan pada aspek saintis atau humanis dalam pelayanannya. PAUD ini
juga semakin inklusif, meski secara institusionalnya masih kekurangan fasilitas
edukuasi (2017 : 180-182).
Dengan
begitu, penulis menambahkan langkah baru sebagai kesiagaan PAUD terhadap
globalisasi, yaitu melibatkan beberapa pihak di luar sekolah. Anggap saja jika
pemerintah sudah melibatkan dirinya, karena pemerintah memang sudah menerbitkan
UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 dan landasan pedagogis pendidikan budaya dan karakter
bangsa (BP3K
Kemendiknas). PAUD kemudian menerapkan pedoman
tersebut bagi anak. Selanjutnya orangtua harus dilibatkan karena mereka yang
pertama kali dilihat dan didengar oleh anak. Penguatan pendidikan budaya dan
karakter bangsa terhadap anak dapat diperkuat oleh keluarga di rumah. Selain
itu, sekolah juga perlu melibatkan masyarakat yang sekiranya memiliki kedekatan
dengan bidang pendidikan untuk anak usia dini.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Latar belakang tulisan ini adalah kenyataan
bahwa globalisasi juga memberi dampak terhadap bidang teknologi dan informasi
melalui media massa terhadap pendidikan di Indonesia. Globalisasi
menyebabkan negara menjadi tidak terlalu luas karena mudahnya berkomunikasi
antar negara di segala bidang seperti halnya bertukar informasi ataupun
perdagangan melalui sebuah media elektronik. Penulis mengkaji secara yuridis, empirik, dan teoretis
untuk menyusun gagasan tentang konsep pendidikan untuk anak-anak usia dini
(PAUD) yang siaga terhadap arus globalisasi. Yaitu agar dampak negatif dapat
dihindari dan dicegah, sehingga hal-hal positif globalisasi saja yang akan
diimplementasikan.
Hubungan globalisasi dengan pendidikan di Indonesia
terbukti dari kenyataan bahwa masyarakat sekarang semakin sadar akan pentingnya
pendidikan, termasuk pendidikan bagi anak usia dini. Melalui luapan informasi,
masyarakat makin sadar bahwa anak mereka juga perlu diberi pendidikan selain
pengasuhan di rumah.
Implementasi
pendidikan anak usia dini yang memanfaatkan globalisasi yang digagas penulis
yaitu pendidikan yang menerima kebudayaan dunia dengan tetap mempertahankan kebudayaan
bangsa dan daerah dengan pedoman Pancasila. Lalu agar anak tetap ingat dengan
jati dirinya sebagai bagian banga dan daerah, PAUD melayani anak sambil
menyisipkan pendidikan budaya dan karakter.
Kesiagaan masyarakat di era globalisasi yaitu
menjadi sadar, tanggap selektif memilih hal positif dan negatif dari
globalisasi. Di samping itu, masyarakat juga memperkuat jati diri Pancasilanya
dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Perlu juga masyarakat bersikap menjadi konsumen
TV/ pemirsa yang bijaksana. Namun bukan hanya pada TV saja, karena globalisasi
hadir melalui banyak media.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penulis
mengagas tiga cara bagi PAUD sebagai sikap siaganya dalam menghadapi
globalisasi terhadap anak yaitu mempertahankan kebudayaan tanah air dan daerah
dalam pelaksanaan pendidikan, di mana pemikiran Ki Hajar Dewantara dan
Pancasila sebagai pedomannya. Lalu untuk menunjang pelaksanannya, PAUD
memaksimalkan pendidikan karakter dan budaya bangsa terhadap anak pada 4 nilai
utama dan 18 deskripsi nilainya.
Adapun kesiagaan PAUD oleh pendidiknya terhadap arus
globalisasi dapat berpedoman pada Permendikbud No 137 Tahun 2014 yang
mengarahkan mereka agar mendidik anak menjadi generasi kritis terhadap dunia
sekitar. Aksi tersebut juga perlu melibatkan
beberapa pihak luar. Ketika pendidik PAUD dan orangtua bertanggungjawab
langsung, lembaga PAUD/ sekolah wajib menyediakan sarana dan prasarana yang
mendukung, selagi masyarakat dan pemerintah sebagai pihak terluar
bertanggungjawab menjaga lingkungan dan suasana pendidikan anak.
B. SARAN
Sesuai gagasan penulis tentang implementasi
pendidikan anak usia dini yang memanfaatkan globalisasi dengan penuh kesiagaan,
disarankan hal-hal berikut :
1.
Sebaiknya orangtua
senantiasa mendampingi anak selama arus globalisasi terus simpang siur lewat di
sekeliling anak. Perketat aturan namun tetap demokratis, ajak anak berdiskusi
dan kritis membuat pertimbangan tentang informasi yang meluap dari media
apapun.
2.
Sebaiknya pendidik
PAUD tetap berlapang dada meski tanggungjawabnya sebagai orangtua kedua layaknya
beban menyesakkan dada. Maksimalkan pelayanan pada anak agar tidak tertelan
oleh kebudayaan global, sehingga anak tetap pada jati dirinya sebagai anak
bangsa dan daerahnya.
3.
Sebaiknya
masyarakat bersikap peka untuk mendukung usaha orangtua dan sekolah yang
mendidik anak dalam penuh kesiagaan terhadap masuk keluarnya globalisasi
terhadap anak para generasi penerus mereka.
4.
Sebaiknya
pemerintah ketat menyaring informasi asing yang masuk lewat segala media massa.
Pantau dan maksimalkan kinerja badan evaluasi dan supervisi media massa seperti
KPI. Perketat sanksi bagi pelanggar yang meresahkan penyebaran informasi bagi
massa. Jaga dan patenkan potensi budaya bangsa dan daerah agar tidak dilirik
bangsa asing yang iri.
DAFTAR
PUSTAKA
Arshad, Maryam, et. al. (2018). Cartoon Addiction and Executive Functioning in School Going Children.
Volume 5 Issue 4 May 2018. DOI : 10.19080/GJARM 2018.05555670
Asghari, et. al. (2017). Relationship between Using TV and Behavioral Problems of Preschool Children. Iranian Rehabilitation Journal. 2017; 15(4):325-332. http://doi.org/10.29252/nrip.irj.15.4.325
Diana, Diana. (2013). Model-Model
Pembelajaran Anak Usia Dini. Yogyakarta : Deepublish
Dirjen PAUDNI. Pedoman
Pembelajaran Anak Usia Dini dengan Pendekatan Saintifik
Hidayati, Arini. (1998). Televisi dan Perkembangan Sosial Anak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Offset
Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Life Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia/
David Chaney. Yogyakarta : Jalasutra
Kemendiknas. Landasan
Pedagogis Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa
Khamidun. (2012). Environmentally Awareness Behaviour Increase in Early Childhood Using Story Telling Method. IJECES 1 (1) (2012). ISSN 2252-6374. Tersedia di : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijeces
Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta : PT
Rineka Cipta
Lamraoui, Zakia. (2016). The Negative Effect of Cartoons on Children. OEB Univ. Publish Co.
Munib, Achmad,
dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan.
Semarang : UPT UNNES Press
Nazari, Mohammad Reza., et, al. (2012). TV exposure as a Risk Factor for Aggressive
Behavior Among Primary School Students. Vol 65, No. 8
Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional PAUD
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Rosiek, et.al. (2015).
Effect of TV on Obesitu and Excess of Weight and Consequences of Health.
Int. J. Environ. Res. Public Healt 2015,
12, 8408-9426; doi : 10.3390/ijerph120809408
Saddoen, Arifin.
(2018). 9+ Pengertian Globalisasi Menurut
Para Ahli/ Umum, Faktor Penyebab, Teori, Ciri, Dampak. Diakses pada tanggal
10 Oktober 2018 dari https://moondoggiesmusic.com/pengertian-globalisasi/amp/
Suyadi dan Maulidya Ulfah. (2012). Konsep
Dasar PAUD. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]