MAIN PERAN & PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ANAK USIA DINI
METODE BERMAIN PERAN YANG MENDUKUNG
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK USIA DINI
[Tugas Mata Kuliah Landasan Kependidikan]
Disusun oleh Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap pendidik wajib tahu bahwa tugas dan
kewajibannya telah diatur dalam UUSPN No 20 Tahun 2003 yang bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suatu belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Pengertian tersebut menyempurnakan
undang-undang sebelumnya yaitu UUSPN No 2 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/ atau pelatihan bagi perananannya di masa mendatang.
Makna yang sama karena inti undang-undang
tersebut yaitu mengharapkan pendidikan dapat menciptakan pendidikan dengan
kualitas nasional, tertera dalam UUSPN No 20 Tahun 2003 Bab IV Pasal 3 bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Munib, dkk (2010 : 21) menyatakan bahwa
penggalan kalimat terakhir dalam bunyi pasal tersebut menjadi deskripsi manusia
Indonesia seutuhnya (MIS), yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara demokratis serta bertanggungjawab. Manusia tersebut adalah sosok
manusia ideal ala Indonesia dan berfilosofi Pancasila sehingga mampu menempatkan
dimensi kemanusiaan (manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
susila, dan makhluk religi) dalam dirinya secara serasi, selaras, dan seimbang.
Ketika Indonesia mencoba bersiap diri sambil
mengharap tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUSPN No 20 Tahun 2003,
nyatanya masih terhambat oleh faktor luar. Adalah globalisasi, yang sebenarnya
adalah fenomena keren yang mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di
Indonesia, baik positif maupun negatif. Sementara pendidikan yang diharapkan
masyarakat adalah yang mampu mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup
dalam pergaulan manusia (Pidarta, 2013 : 154), namun globalisasi terkadang
mengikis harapan tersebut.
Apabila pendapat Saddoen (2018) bahwa salah
satu penyebab globalisasi adalah semakin canggihnya bidang teknologi dan
informasi, dilanjutkan dengan pernyataan bahwa perkembangan teknologi terkini
menyangkut semakin majunya media massa (dan ilmu pengetahuan) berhasil
mengendalikan perubahan aspek kehidupan manusia (Khamidun, 2012); berarti bahwa
globalisasi teknologi dan informasi mampu memberi pengaruh terhadap kehidupan
manusia. Serupa dengan gagasan Ibrahim bahwa media teknologi informasi memang
mampu memberikan pengaruh melalui kehadiran (presence) dan isinya (content)
(1997: 199). Sisanya adalah, perlu dicermati seperti apa pengaruh yang
dihasilkan globalisasi tersebut terhadap kehidupan manusia, apakah positif,
atau justru negatif.
Nazari, dkk (2012) telah meneliti tentang
media massa dengan kesimpulannya bahwa pada abad ini media seperti radio, televisi,
film, video, video games, dan
jaringan komputer berperan penting dalam kehidupan manusia. Seberapa penting
media tersebut terlihat dari dampak besarnya bagi nilai kehidupan, keyakinan,
dan perilaku. Dinyatakan pula bahwa paparan dari media tersebut menjadi isu
terkini yang mempengaruhi aspek persepsi dan perilaku manusia. Kekhawatiran
mulai terlihat, karena mungkin saja justru dampak negatif yang timbul dari
media massa selagi globalisasi diharapkan dapat menguntungkan kehidupan manusia.
Dikatakan globalisasi atau zaman informasi
adalah karena informasi bisa hadir begitu cepat berkat alat canggihnya, dan
semua itu berpangkal dari kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk itu, sekolah sejak
jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi patut
mengutamakan materi tentang ilmu dan teknologi, tanpa mengabaikan ilmu
pengetahuan lain agar semua ilmu pengetahuan diterima secara optimal oleh anak.
Pendidik sebaiknya menantang diri agar pendidikan di sekolah tidak ketinggalan
zaman, sehingga membantu anak berpacu dengan teman seperadaban dan tidak kalah
dari anak bangsa lain. Tentu saja tanpa melupakan kultur bangsanya. Maka pendidik
perlu meningkatkan profesionalismenya agar memiliki kualitas yang sejajar
dengan para pendidik dari mancanegara.
Tulisan ini bertujuan mengusulkan rancangan
metode belajar (sambil bermain) bagi anak usia dini yang sekaligus menanamkan
pendidikan multikultural untuk diterapkan di jenjang PAUD. Seperti yang
diketahui bahwa metode pembelajaran bagi anak usia dini sangat beragam dengan
kelebihan atau kekurangannya masing-masing; di antaranya yaitu : metode
bercerita (mendongeng/ berceramah), metode karyawisata/ kunjungan, metode
bernyanyi/ mengucap sajak, metode permainan/ bermain, metode presentasi, metode
kerja kelompok besar, metode tanya jawab, metode proyek sederhana, metode
demonstrasi, dan metode penugasan. Penulis memilih satu metode yaitu metode
bermain peran/ sosiodrama (asal dari metode permainan) yang biasa diterapkan
dalam model pembelajaran sentra peran.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sudah
dijelaskan sebelumnya, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana konsep pendidikan multikultural
bagi anak usia dini?
2. Bagaimana konsep metode bermain peran yang
tepat bagi anak usia dini?
3. Bagaimana konsep metode bermain peran yang
tepat untuk menanamkan pendidikan multikultural bagi anak usia dini?
C.
TUJUAN PENULISAN
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan
masalah yang telah disusun, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Memahami konsep pendidikan multikultural bagi
anak usia dini.
2. Memahami konsep metode bermain peran yang
tepat bagi anak usia dini.
3. Menyusun gagasan tentang konsep metode
bermain peran yang tepat bagi anak usia dini untuk menanamkan pendidikan
multikultural.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK USIA DINI
Dasar dari pendidikan multikultural adalah
adanya kesadaran nilai pentingnya keragaman budaya, yaitu SARA : Suku, Agama,
Ras, dan Antar golongan—yang memerlukan toleransi. Pendidikan jenis ini menjadi
gerak pembaharu pendidikan dalam merubah kesenjangan di segala aspek yang
sesekali mengganggu jalannya proses pendidikan. Untuk itu, tujuan pendidikan
berprinsip multikultural adalah melangsungkan proses pendidikan terus menerus
bagi seorang individu manusia, tanpa mempedulikan bagaimana latar belakang dan
budayanya.
Morrison (2012 : 6) menyatakan bahwa salah
satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa memiliki
praktik pengajaran yang sesuai dengan perkembangan dan budaya siswa. Praktik
tersebut mencakup pemenuhan kebutuhan anak dan rasa sensitif terhadap latar
belakang budaya dan etnis anak. Hal tersebut juga berlaku di PAUD, sebab
anak-anak usia dini datang ke lembaga bersama dengan keunikan, gender, budaya,
status sosial-ekonomi, dan ras. Untuk itu, pendidik dituntut untuk mampu merangkul,
menghargai, dan menggabungkan multikulturalisme dalam praktik pengajarannya.
Petunjuk mengenai pendidikan multikultural
bagi anak usia dini, penulis kaji dari pemikiran Morrison (2012 : 6-7) bahwa
setelah memahami potensi anak dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan
anak, pendidik perlu menerapkan kurikulum yang anti bias. Kurikulum tersebut
menjalankan program yang sesuai perkembangan dan budaya anak, disertai kegiatan
dan materi yang mengatasi dan mengubah segala bentuk penyimpangan yang
mengelompokkan anak berdasarkan gender, sosial-ekonomi, ras, budaya,
keterbatasan, dan bahasa. Penulis simpulkan bahwa kurikulum tersebut memiliki
prinsip toleransi dan anti diskriminasi.
Morrison menambahkan bahwa kurikulum anti
bias menyajikan layanan yang lebih inklusif : (1) kurikulum ini lebih
mempertimbangkan ragam budaya dengan menganggap gender dan perbedaan sebagai
kemampuan fisik; (2) kurikulum ini didasarkan pada tugas-tugas perkembangan
anak di saat membangun identitas dan perilaku; (3) kurikulum ini secara
langsung menangani dampak stereotip, bias, dan diskriminasi dalam perkembangan
dan interaksi anak.
Tugas penting pengembangan identitas anak
adalah pengembangan identitas individual dan identitas budaya. Identitas
individual berupa pembelajaran tentang diri sendiri—“Siapakah saya?” (di
Indonesia dipetakan dalam tema diri sendiri). Sementara identitas budaya
mencakup pembelajaran tentang budaya tempat anak berada sebagai anggotannya,
bagaimana anak tersebut memahami budayanya, dan perannya di sana. Dalam dokumen Landasan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dinyatakan bahwa budaya
menyebabkan anak tumbuh dan berkembang; sejak budaya lingkungan terdekat
(kampung, RT, RW) menuju lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional dan
universal yang dianut seluruh umat manusia.
Kembali pada
kurikulum anti bias, berikut ini penulis sajikan beberapa saran dari Morrison
(2012 : 8-9) mengenai penerapannya di kelas PAUD :
1.
Evaluasi lingkungan kelas dan materi
pengajaran.
2.
Susun rencana untuk merancang ulang
kelas.
3.
Evaluasi kurikulum dan pendekatan-
pendekatan tentang keragaman.
4.
Amati interaksi anak di saat bermain
untuk memastikan jika semua anak terlayani dengan penuh toleransi dan tanpa
diskriminasi.
5.
Evaluasi cara dalam berinteraksi
dengan anak.
6.
Masukkan kegiatan belajar/ bermain
yang anti bias.
7.
Bekerjasama dengan orangtua/ wali
dalam penerapan kurikulum anti bias.
Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa untuk menerapkan
kurikulum anti bias dengan konsep multikultural bagi PAUD Indonesia yaitu
menanamkan kuat dalam diri anak tentang identitas individual dan identitas
budaya. Dalam pengembangan identitas individual, dapat menggunakan tema diri
sendiri yang biasanya menjadi tema pembelajaran pertama yang
dikembangkan di setiap lembaga PAUD. Tema tersebut mencakup pengenalan pada
anak tentang panca indera/ tubuh (bagiannya, fungsi, dan cara merawat). Tentang
identitas budaya, pendidik sebaiknya mampu mengenalkan kebudayaan daerah dan
kebudayaan umum yang hidup Indonesia. Meski
terdengar berat, dua kebudayaan tersebut tetap dapat dikenalkan pada anak
berkat keahlian pendidik PAUD yang profesional. Penulis juga menyarankan agar
pendidik PAUD tetap bersikap kritis terhadap arus globalisasi (begitu pula
seluruh pelaku pendidikan di lembaga) dan bekerjasama dengan orangtua atau
keluarga, serta masyarakat. Dengan begitu, tujuan pendidikan multikultural akan
tercapai.
B.
METODE BERMAIN PERAN BAGI ANAK USIA DINI
Metode ini kerap dijalankan di lembaga PAUD
yang membuka sentra peran sebagai model pembelajaran. Bermain peran disebut
juga sebagai main simbolik, role play,
main pura-pura, make believe, bermain
fantasi/ imajinasi, atau bermain drama (sosiodrama). Secara umum jenisnya berupa
bermain peran besar (makro) dan bermain peran kecil (mikro) (Erikson, 1977). Main
peran besar melibatkan alat main berukuran sebenarnya (meski barang bekas),
seperti : alat menulis, sofa, piranti makan, topi polisi, meja kayu, dan
lain-lain. Permainan ini mengajak anak untuk menuangkan idenya dengan gesture memerankan seseorang atau
sesuatu, seperti : mengaduk pasir dalam mangkuk seolah dia membuat adonan kue.
Sementara itu, main peran kecil akan
menggunakan peralatan replika/ tiruan, seperti : boneka, kereta plastik dengan
relnya, kandang dengan miniatur hewan ternak, pistol plastik, dan lain-lain.
Permainan ini merubah anak menjadi dalang
yang menghidupkan alat main dalam suatu adegan peran. Apapun jenisnya, dua main
tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk menciptakan kejadian dengan cara
memainkan secara simbolik. Pemahaman anak tentang dunia di sekelilingnya juga
ikut berkembang, dimulai sejak lingkungan terdekatnya (keluarga) menuju
lingkungan sekitar yang lebih luas seperti : sekolah, toko, pasar, rumah sakit,
supermarket, game center, pantai,
lapangan sepakbola, hotel, dan lain-lain.
Tujuan spesifik dari bermain peran mampu
mendukung seluruh perkembangan anak (nilai agama dan moral, kognitif, bahasa,
fisik motorik, sosial emosional, seni), sekaligus membangun kecerdasan dasar
anak (berbahasa, logika matematik, musik, kinestetik, ruang, interpersonal,
intrapersonal), meningkatkan domain pikir anak (estetika, afeksi, kognisi,
sosial, bahasa, psikomotorik), bahkan menanamkan 18 nilai-nilai sikap terpuji
(mutu, hormat, jujur, bersih, kasih sayang, penyabar, syukur, ikhlas, disiplin,
bertanggungjawab, khusyuk, rajin, berpikir positif, ramah, renndah hati, iman
dan takwa, istiqomah, dan qona’ah).
Masih bersumber dari Panduan Pendidikan
Sentra PAUD, Arriyani memberi syarat agar suatu permainan peran dapat
menghasilkan pengalaman bermutu bagi anak, yaitu : memiliki latar belakang
pengalaman yang sama, waktu yang cukup untuk bermain, tempat dan alat yang
tepat, alat yang sesuai ukuran dengan aslinya (makro) dan tiruan yang
proporsional (mikro), serta hadirnya orang dewasa yang mampu terlibat beraksi dalam suatu adegan untuk memberi pijakan
yang sesuai.
Selanjutnya dijelaskan pula mengenai
ciri-ciri jika seorang anak sesuai dalam melibatkan dirinya dalam suatu
permainan peran, yaitu : anak meniru peran, anak tetap pada peran selama beberapa
menit, anak menggunakan tubuh/ obyek dalam bermain atau merepresentasikan
imajinasinya dengan obyek/ tubuhnya, dan anak terlibat interaksi atau mau
bertukar kata dengan lawan mainnya.
Di atas telah disebutkan bahwa hadirnya orang
dewasa yang mampu memberi pijakan
yang sesuai akan memaksimalkan main peran anak, di situlah tugas utama pendidik
yang sudah menyiapkan sentra peran. Selain itu, pendidik juga berperan sebagai
sumber dan fasilitator yang bergerak bebas di antara anak-anak; sekaligus menjadi
observer yang mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan kemajuan perkembangan
anak yang muncul selama bermain. Hasil pengamatan tersebut lalu disimpan
sebagai bahan evaluasi dalam merencanakan pembelajaran selanjutnya.
Lalu siapa saja yang boleh bermain peran
(bermain di sentra peran)? Arriani menyatakan bahwa anak dari rentang usia 1
s.d 6 tahun boleh memainkannya, bahkan anak yang berkebutuhan khusus sekalipun.
Berikut uraiannya :
1.
Anak usia 1 tahun mulai menampilkan repetisi pengalaman menyenangkan
seperti pura-pura menyuap makanan ke mulut saat memegang alat makan.
2.
Anak usia 2 s.d 3 tahun sudah menampilkan pengalaman main pura-pura
mengisi pasir menuju mangkuk menggunakan sendok lali ia sebut sebagai es krim
dan berpura-pura memakan atau disuapkan kepada orang lain.
3.
Anak usia 3 s.d 4 tahun mulai menunjukkan ketertarikan menggunakan alat
main peran kecil serta memainkannya untuk bermain peran.
4.
Anak usia 5 tahun mampu menggunakan alat main yang lebih beragam dan
imajinatif untuk mendukung permainannya.
5.
Anak usia 6 tahun mulai tertarik pada aksara dan hubungan matematika
sehingga membutuhkan tantangan dalam main peran, mereka mulai mahir
merencanakan main, memilih alat main, mengatur kerjasama dengan anak lain,
bahkan memperluas cerita keluar dari kehidupan terdekat mereka.
Terakhir mengenai
alat dan bahan, Arriani menyebutkan beberapa hal yang sebaiknya disiapkan
pendidik agar bermain peran menjadi bermutu bagi anak.
1. Alat dan bahan main
rumah tangga
2. Alat dan bahan main
profesi
3. Alat dan bahan yang
mendukung mengenal keaksaraan
4. Maket bangunan dan
atributnya (dengan ukuran proporsional)
5. Boneka orang,
binatang, tumbuhan, karakter khusus
6. Aksesoris pendukung
sesuai kebutuhan
Dengan demikian,
dapat penulis simpulkan bahwa bermain peran baik jenis makro maupun mikro
pantas dimainkan oleh anak-anak sejak berusia satu tahun. Permainan ini
mengajak anak untuk menciptakan
kejadian simbolik bersadarkan kehidupan sebenarnya. Selama bermain peran, anak
juga belajar mengenal dunia sekelilingnya, sejak lingkungan terdekat menuju
lingkungan yang lebih luas. Agar mencapai tujuan tersebut, pendidik sebagai
sumber/ fasilitator bertindak sebagai pengamat yang giat mencatat dan
mendokumentasikan adegan main anak.
C.
METODE BERMAIN PERAN UNTUK MENANAMKAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK USIA DINI
Setelah memahami tentang metode bermain peran
yang bermutu bagi anak, di mana bermain peran ternyata mendukung seluruh aspek
perkembangan anak dan mengandung banyak nilai plus lainnya; maka penulis
berpendapat jika main peran dapat digunakan untuk menanamkan pendidikan
multikultural bagi anak usia dini. Namun bukan berarti hanya metode main peran
saja yang dapat digunakan untuk menanamkan pendidikan multikultural, sebab
metode lain juga dapat digunakan. Hanya saja penulis lebih tertarik untuk
memilih metode bermain peran dibanding metode lain, dengan pertimbangan dan
cara yang akan dijelaskan berikut.
1. Bermain Peran yang Berbasis KeIndonesiaan
Supaya tidak meninggalkan budaya asalnya,
bermain peran bagi anak usia dini hendaknya tetap berbasis keIndonesiaan dan
bermutu nasional. Tujuan jangka panjangnya tentu agar anak tumbuh dan
berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya (MIS), seperti yang tertera
dalam UUSPN No 20 Tahun 2003.
Tidak akan sulit dalam menjalankan misi
tersebut, cukup tengok kembali sejarah pendidikan di Indonesia. Pasti teringat sosok
Ki Hajar Dewantara yang hingga kini dianggap bangsa Indonesia sebagai Bapak
Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Bagi beliau, anak adalah kodrat alam
dengan pembawaan masing-masing dan merdeka untuk berbuat atau mengatur dirinya
(Suyadi & Ulfah, 2007 : 143). Sebelum Indonesia merdeka, beliau menegaskan
bahwa pendidikan adalah upaya memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak (Munib, dkk, 2010 : 32). Saat ini,
hal tersebut diyakini sebagai tiga ranah pendidikan peserta didik; afeksi,
kognisi, dan psikomotorik.
Pendidikan yang dimaksud beliau yaitu harus berfaedah
pengetahuan lahir dan batin serta memerdekakan diri, untuk menuntun kodrat anak
menjadi anggota masyarakat yang selamat bahagia (Suyadi & Ulfah, 2007 :
143). Peran pendidik juga penting, namun cukup sebagai pamong yang tut wuri
handayani. Pendidik dilarang membatasi hak anak, karena anak patut diberi
kesempatan untuk berjalan sendiri tanpa paksaan. Pamong hanya boleh membantu saat anak terhambat cukup berat atau
tidak dapat diselesaikan. Inilah terjemahan dari tut wuri handayani, yaitu pamong
berperan mendorong di belakang
peserta didik. Pamong tersebut
menerapkan sistem among yaitu
pembelajaran dan pendidikan berdasarkan pada asah, aish, dan asuh (care
and dedicated based love) (Diana, 2013 : 29).
Sungguh pemikiran yang luar biasa dari beliau
di mana anak sebaiknya diberi keleluasaan selama dididik. Tidak hanya itu,
sejak awal beliau menggagas pendidikan anak yang sangat berbasis keIndonesiaan.
Boleh saja mengadopsi ide ahli luar negeri macam Froebel dan Montessori, namun
beliau tetap menjunjung potensi tanah air agar dimanfaatkan dalam pendidikan.
Beliau memberi perhatian terhadap permainan anak yang ia anggap sesuai dengan fantasi
anak yang penuh dorongan bergerak. Permainan yang dimaksud tentu saja permainan
nasional yang terdiri atas permainan tradisional supaya anak tetap berada di dalam
lingkungan kebudayaan bangsanya (Suyadi & Ulfah, 2007 : 144). Permainan
tersebut yaitu :
a.
Sumbar, Gateng/Cawuk
Watu, Unclang (lempar karet)
untuk mendidik anak agar titi patitis
(saksama), cekatan, dan menjernihkan pikiran.
b.
Dakon/ Congklak, Cublak-Cublak
Suweng, Kubuk untuk mendidik anak
tentang pengertian perhitungan dan perkiraan untung rugi.
c.
Gobag, Trembung,
Raton, Cu, Geritan, Obrog, Panahan, Jamuran, Jelungan; dan permainan sport lainnya guna mendidik anak bertubuh
kuat dan sehat, cekatan, berani, dan tajam penghilatannya.
d.
Ngronce Kembang (mengutas bunga), Nikar (membuat tikar), Nyulam
Godhong Gedhang/ Janur (menyulam daun pisang/ kelapa) dan main keterampilan
lainnya; untuk melatih watak tertib, teratur, dan terampil.
Satu lagi teori Ki Hajar Dewantara yaitu Tri
Pusat Pendidikan, mengenai tempat terlaksananya pendidikan dalam tiga
lingkungan. Pendidikan awal terjadi di lingkungan keluarga oleh keluarga (ayah
dan ibu). Kedua terjadi di lingkungan sekolah oleh guru. Lingkungan luas
masyarakat menjadi lingkungan ketiga tempat anak dididik. Di ketiga lingkungan tersebut,
anak memperoleh pendidikan yang serasi, selaras, dan seimbang dalam ranah afeksi,
kognisi, dan psikomotorik.
Dengan demikian, penulis membuat gagasan tentang
bermain peran yang berbasis keIndonesiaan yaitu yang berfilsofi Pancasila dan
tidak lepas dari budaya bangsa, atau yang seperti pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Penerapannya, pendidik PAUD dapat menyiapkan alat main peran mikro yang serupa
mainan tradisional.
a.
Tikar untuk setting bermain
peran rumah bukan dari karpet, melainkan disiapkan dari anyaman bambu/ daun
pisang/ janur kelapa;
b.
Piring untuk setting bermain
peran di rumah makan bukan dari piring plastik, melainkan disiapkan dari daun
yang lebar;
c.
Senjata untuk setting bermain
peran polisi bukan menggunakan pistol mainan, melainkan dari pelepah daun
pisang;
d.
Hiasan kepala untuk setting
main peran kerajaan bukan dari mahkota mainan, melainkan dari daun nangka yang
dirangkai;
e.
Alat tulis dan kertas coba diganti dengan lidi atau ranting kurus yang
digoreskan di permukaan daun muda; dan sebagainya.
2. Bermain Peran yang Berbudaya dan Berkarakter Bangsa
Kemendiknas
menyatakan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai usaha sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar mampu menginternalisasikan, menghayati nilai-nilai menjadi
kepribadian dalam bergaul dalam masyarakat. Misi tersebut diperluas untuk mengembangkan hidup masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan
bangsa yang bermartabat.
Pidarta (2013: 167) menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua cara
hidup ditambah kehidupan yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai bagiannya.
Budaya menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari
budaya terdekat menuju budaya nasional dan universal. Kebudayaan dibagi ke dalam tiga kelompok
besar : (1) kebudayaan umum/ kebudayaan Indonesia, (2) kebudayaan daerah, (3) kebudayaan
populer yang muncul karena fenomena populer. Apabila anak asing dengan
kebudayaan daerah, maka dia tidak mengenal baik bangsanya, dan tidak mengenal
dirinya sebagai anggota bangsa. Mereka pun rentan terhadap pengaruh
luar dan cenderung menerima budaya luar tanpa pertimbangan. Untuk itu, ketiganya pantas diajarkan pada
anak. Kebudayaan umum harus diajarkan, selagi kebudayaan daerah dikaitkan
dengan kurikulum lokal, selagi kebudayaan populer cukup pada proporsi kecil.
Untuk itu, sudah sepantasnya PAUD sebagai pelayan pendidikan juga turut
mengenalkan ketiga kebudayaan tersebut.
PAUD dapat melayani anak sambil menyisipkan
pendidikan budaya dan karakter dalam kurikulumnya dengan syarat bahwa prosesnya
tidak memisah anak dari sosial, masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan
sosial dan budaya bangsa anak adalah Pancasila, maka pendidikan budaya dan
karakter bangsa bagi mereka harus berdasarkan Pancasila. Pendidik
mengembangkannya melalui pendidikan hati, otak, dan fisik; melalui perencanaan
yang baik, pendekatan yang sesuai, dan dengan metode yang efektif bersama seluruh
anggota lembaga pendidikan.
Pendidik PAUD di seluruh Indonesia tidak
perlu pusing dalam penerapan tuntutan tersebut pada anak karena aturan
pemerintah sudah memilih nilai agama, nilai Pancasila, nilai budaya, dan nilai
tujuan pendidikan nasional sebagai acuan. Nilai-nilai tersebut dispesifikkan
lagi ke dalam delapan belas (18) nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa,
yaitu : religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab. Dengan begitu, pendidik tidak
perlu enggan melaksanakan proses pendidikannya.
Gagasan penulis tentang bermain peran yang berbudaya dan berkarakter
bangsa yaitu menanamkan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa. Penulis
memilih tiga nilai yang paling sesuai demi menanamkan pendidikan multikultural,
yaitu : toleransi, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air.
Toleransi |
Sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. |
Semangat Kebangsaan |
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. |
Cinta Tanah Air |
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. |
Pendidikan budaya dan karakter bangsa
diintegrasikan dalam kurikulum melalui pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan bagi anak, salah satunya dengan metode bermain peran. Contoh
penerapannya yaitu sebagai berikut :
a.
Menyediakan boneka orang dengan berbagai warna kulit, jenis rambut, atau
mengenakan pakaian/ atribut yang berbeda;
b.
Menyediakan busana adat nusantara sebagai alat main peran makro;
c.
Merancang main peran dengan setting
di luar daerah tempat berdirinya lembaga (provinsi/ pulau lain), sehingga pendidik
perlu menyiapkan alat bahan main dengan sungguh-sungguh dan memadai;
d.
Merancang satu kali episode main peran yang komunikasi/ dialognya
menggunakan bahasa daerah (misalnya Bahasa Jawa);
e.
Menyediakan buku cerita dengan kisah berasal dari luar daerah tempat
berdirinya lembaga PAUD (provinsi/ pulau lain);
f.
Mendampingi jalannya bermain peran yang dilakukan anak, awasi jika ada
anak yang melakukan diskriminasi terhadap anak yang dianggap berbeda dan ajak
anak untuk saling toleransi; dan sebagainya.
Di luar kegiatan bermain peran, pendidik perlu
melaksanakan pembiasaan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa terhadap
anak sehingga kedelapan belas nilai tersebut semakin tertanam dalam keseharian
anak.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Pendidikan multikultural bagi anak usia dini
dapat dibantu oleh kurikulum anti bias untuk menanamkan identitas individual
dan identitas budaya dalam diri anak. Pengembangan identitas individual
dilakukan dengan berbagai kegiatan pada tema diri sendiri yang biasanya menjadi tema pembelajaran di kelas PAUD. Identitas
budaya dapat dikenalkan pendidik tentang budaya daerah dan budaya umum yang
hidup Indonesia, dengan tetap bersikap kritis terhadap arus globalisasi.
Bermain peran makro dan
mikro boleh dimainkan oleh anak sejak berusia satu tahun. Permainan tersebut mengajak
anak untuk menyusun kejadian
simbolik dari bersadarkan kehidupan nyata. Anak juga belajar mengenal dunia sekitarnya,
sejak lingkungan terdekat menuju lingkungan yang lebih luas.
Metode main peran dipilih penulis untuk
penerapan pendidikan multikultural bagi anak, dengan syarat bahwa permainan
tersebut harus berbasis keIndonesiaan dan mendidik anak mengenali budaya dan
karakter bangsanya. Ide penulis tentang bermain peran berbasis keIndonesiaan
yaitu dengan menggunakan alat main peran dari permainan tradisional. Satu ide
lainnya yaitu bermain peran dengan disisipi nilai-nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa; terutama nilai toleransi, nilai semangat kebangsaan, dan dan
nilai cinta tanah air.
B.
SARAN
Sesuai ide penulis
tentang metode main peran yang mendukung penanaman pendidikan multikultural bagi anak usia dini,
maka disarankan hal-hal berikut :
1.
Pendidik harus mampu menyusun dan menerapkan kurikulum anti bias.
2.
Pendidik harus memahami konsep bermain peran yang tepat bagi anak.
3.
Pendidik mampu menerapkan pendidikan multikultural terhadap anak usia
dini dengan metode bermain peran, dan juga metode-metode lainnya.
4.
Orangtua sebaiknya mendukung upaya pendidik dan lembaga PAUD yang
menerapkan pendidikan multikultural bagi anak-anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arriani, Neni. Panduan Pendidikan Sentra untuk PAUD, Sentra
Main Peran. Jakarta : Sekolah Al Falah
Diana, Diana. (2013). Model-Model Pembelajaran Anak Usia Dini.
Yogyakarta : Deepublish
Ibrahim, Idi Subandy. (1997). Life Ecstasy : Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia/
David Chaney. Yogyakarta : Jalasutra
Kemendiknas. Landasan
Pedagogis Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa
Khamidun. (2012). Environmentally Awareness
Behaviour Increase in
Early Childhood Using Story Telling Method. IJECES 1 (1) (2012).
ISSN 2252-6374. Tersedia di : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijeces
Morrison, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta : PT INDEKS
Munib, Achmad, dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : UPT UNNES Press
Nazari, Mohammad Reza., et, al. (2012). TV exposure as a Risk Factor for Aggressive
Behavior Among Primary School Students. Vol 65, No. 8
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Saddoen, Arifin. (2018). 9+ Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli/ Umum, Faktor Penyebab,
Teori, Ciri, Dampak. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018 dari https://moondoggiesmusic.com/pengertian-globalisasi/amp/
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
11 Metode Pembelajaran PAUD yang Wajib Guru PAUD Ketahui. Diakses pada tanggal 19
November 2018 dari www.karyatulisku.com
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]