ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI ILMU PAUD
LANDASAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
[Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu]
Disusun oleh : Yefie Virgiana & Faizah (virgiana15shy@gmail.com)
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Mendengar
istilah ilmu pendidikan anak usia dini (selanjutnya disebut dengan ilmu PAUD)
terasa baru bagi beberapa pihak. Di Indonesia sendiri, ilmu jenis ini kurang
lebih muncul bersamaan dengan lahirnya PAUD dalam skala besar pada tahun 2001,
tepatnya sejak terbentuknya Direktorat PADU. Kini instansi tersebut telah
berganti nama menjadi Direktorat PAUD. Kronologisnya, awal kesadaran dan
komitmen Indonesia tentu mengekori gagasan global terhadap adikuasanya PAUD
sebagai bagian dari upaya pembangunan “manusia seutuhnya” yang dipicu oleh
Deklarasi HAM pada tahun 1948 dan Convention
on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) pada tahun 1989. Tidak cukup
sampai di situ, kemudian dikuatkan oleh komitmen Jomtien Thailand pada tahun
1990, Deklarasi Dakkar pada tahun 2000, dan Deklarasi A World Fit for Children pada tahun 2002.
Bangsa
Indonesia perlu bersyukur karena komitmen tentang pembinaan anak sebagai warga
negara secara utuh tertuang dalam berbagai peraturan perundangan secara lengkap
dan selaras dengan komitmen internasional. Komitmen tersebut di antaranya
tertuang dalam UUD 1945, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Selanjutnya disebut sebagai dasar hukum sekaligus spirit dalam memacu pembangunan PAUD di
Indonesia.
Spirit
hebat tersebut apabila diiringi semangat dan keberhasilan masyarakat di dunia
dalam membangun PAUD mampu menanamkan inspirasi dan refleksi bagi pembangunan
PAUD di Indonesia. Untuk itu, tahun 2011 dianggap sebagai tahun kelahiran akan
penguatan dan tekad bulat untuk membangun PAUD yang mampu mengakar di semua
lapisan masyarakat hingga kawasan yang tertinggal, terpencil, hingga kawasan
yang berbatasan dengan negara lain. Adapun yang menjadi dasar dalam membangun
PAUD yang lebih terarah dan terencana, sistematis, menyatu, dan lebih
komprehensif yaitu PAUD pada masa sebelum tahun 2011.
Seperti
yang tertuang dalam dokumen Kerangka Besar Pembangunan PAUD 2011-2025,
pembangunan PAUD saat ini perlu didukung oleh kebijakan, strategi, dan
langkah-langkah operasional yang sistematis, terarah, jelas, dan terukur. Jadi
hasilnya mampu dipanen hingga tahun 2045, bersamaan dengan merayakan ulang
tahun Indonesia yang ke 100 tahun. Kado istimewa yang disiapkan untuk tahun
2045 tersebut adalah lahirnya insan (SDM) yang cerdas dan komprehensif. Insan
jenis itu harusnya sudah terlihat sejak tahun 2015 lalu yaitu lahirnya insan
SDM berkualitas. Kemudian pada tahun 2025 akan bertransformasi menjadi SDM yang
handal dan SDM yang mampu bersaing secara global di tahun 2035. Tentu saja,
dampak di tahun 2045 menjadi harapan yang paling diidam-idamkan.
Insan
yang cerdas dan komprehensif nantinya terbungkus sebagai sosok Anak Indonesia
Harapan (AIH) dengan sepuluh ciri utama (dasa
citra anak Indonesia), yang meliputi : 1) beriman dan 2) bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, 3) berakhlak mulia, 4) sehat, 5) cerdas, 6) jujur, 7)
bertanggungjawab, 8) kreatif, 9) percaya diri, dan 10) cinta tanah air. Hal
tersebut menjadi layanan utama PAUD melalui kelembagaannya seperti TK/RA, KB,
TPA, Satuan PAUD Sejenis (SPS), dan PAUD Berbasis Keluarga (PBK) dalam
mengantarkan anak siap mengikuti pendidikan lebih lanjut sekaligus siap
memasuki ekosistem yang lebih luas.
Lalu
apakah benih Anak Indonesia Harapan (AIH) sudah terlihat? Perlu dikaji kondisi
terkini pembangunan PAUD Indonesia yang hingga kini dirasakan belum optimal.
Pertama, mengenai kondisi akses
layanan PAUD diukur melalui besaran angka partisipasi kasar anak usia dini (APK,
Angka Partisipasi Kasar) yang telah dapat dilayani oleh PAUD. APK PAUD hingga
akhir tahun 2017 sebesar 72,35% yaitu baru 13.913.680 anak yang terlayani dari
19.229.800 anak usia 3 s.d 6 tahun di seluruh Indonesia. Jika lebih dicermati,
besaran APK tersebut juga berbeda di setiap daerah yang disebabkan oleh kondisi
masing-masing daerah yang berbeda-beda. Dirjen PAUDNI pada tahun 2011 rupanya
menemukan kondisi berikut :
1.
Faktor populasi dan sebaran penduduk, di mana penduduk yang tinggal di
pedesaan dan perkotaan tidak merata, penduduk pulau Jawa yang melebihi separuh
jumlah penduduk di seluruh Indonesia, sehingga populasi anak usia dini yang
belum dapat terlayani sepenuhnya oleh PAUD.
2.
Faktor kesehatan dan gizi, tentang kasus gizi buruk, kasus bayi dengan
berat badan lahir rendah, prevalensi balita kerdil dan anemia.
3. Faktor tingkat pendidikan, di mana tingkat
pendidikan yang masih kurang memadai di seluruh Indonesia sehingga kalaupun
seluruh lulusan PT yang ada bisa menjadi guru, maka untuk memenuhi kualifikasi
pendidikan guru PAUD-SLTA minimal S1/D4 masih belum cukup.
Melalui
penjelasan tersebut, penulis memilih faktor ketiga yaitu faktor tingkat
pendidikan sebagai latar belakang dalam penyusunan makalah ini. Penulis lantas
mengidentifikasikannya sebagai berikut : kualifikasi pendidik yang berkaitan
erat dengan kompetensi profesional belum sepenuhnya dimiliki para pendidik PAUD
di Indonesia. Sebab eksternalnya bisa saja karena kurangnya sarana atau metode
dan dukungan bagi mereka dalam mencapai standar kualifikasi dan kompetensi yang
cukup. Sedangkan sebab internalnya berasal dari pribadi pendidik itu sendiri,
kepribadiannya yang kurang sadar/ peka ditambah potensinya yang kurang paham
tentang ilmu yang digunakan dalam memberikan layanan di lembaga PAUD.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah di sini disusun berdasarkan latar belakang yang penulis kaji dari
data-data yang telah disebutkan, yang kemudian akan dibahas dengan kajian
filsafat ilmu. Salah satu masalah yang ditemukan yaitu kurangnya kualifikasi
dan kompetensi sebab pendidik PAUD belum memahami ilmu tentang PAUD dalam
memberikan layanannya. Untuk itu penulis akan membahas tentang ilmu PAUD dalam
tiga kajian, yaitu secara ontologi (hakikat), epistemologi (kebenarannya), dan
aksiologi (kebermanfaatan/ nilai) Penjabarannya sebagai berikut :
1. Bagaimana
analisis mengenai landasan ontologi dalam Ilmu Pendidikan Anak Usia Dini (Ilmu
PAUD)?
2. Bagaimana
analisis mengenai landasan epistemologi dalam Ilmu Pendidikan Anak Usia Dini
(Ilmu PAUD)?
3. Bagaimana
analisis mengenai landasan aksiologi dalam Ilmu Pendidikan Anak Usia Dini (Ilmu
PAUD)?
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas analisis ketiga landasan
berdasarkan filsafat ilmu dalam ilmu PAUD; perlu kami bahas terlebih dahulu
tentang poin-poin utama dalam cara mengkaji filsafatis secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.
§ Kajian
ontologi mengkaji tentang hakikat apa yang dikaji yaitu mengkaji hal-hal
metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dan batas-batas penjelajahan dalam
suatu ilmu (Suriasumantri, 2003). Kaitannya dengan tulisan ini, penulis akan
menganalisis hakikat dan apa saja yang dikaji dalam ilmu PAUD.
§ Kajian
epistemologi mengkaji tentang cara mendapatkan pengetahuan yang benar atau
dalam mencari kebenaran seperti mengenai metode yang dipakai dan struktur
pengetahuan dari suatu ilmu (Suriasumantri, 2003). Maka penulis akan
menganalisis tentang metode dan struktur pengetahuan dari ilmu PAUD.
§ Kajian
aksiologi mengkaji tentang nilai kegunaan suatu ilmu (Suriasumantri, 2003),
sehingga penulis akan mengkaji kebermanfaatan dari ilmu PAUD.
A.
LANDASAN
ONTOLOGI DALAM ILMU PAUD
1.
Konsep
Ilmu PAUD
Pada dasarnya ilmu berasal dari
pengetahuan manusia tentang hal-hal yang dirasa menarik baginya, dia memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman
manusia. Ilmu membatasi lingkup jelajahnya pada batas pengalaman manusia dengan
metode penyusunan yang teruji empiris. Untuk itu ilmu tidak akan belajar
tentang hal-hal akhirat, sebab itu sudah menjadi urusan agama, dan hanya milik
Tuhan. Ilmu berfungsi untuk membantu manusia dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapi mereka sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu
manusia untuk memerangi sakit/ penyakit, membangun gedung, membangkitkan tenaga
listrik, mendidik anak, meratakan pendapatan nasional, dan sebagainya
(Suriasumantri, 2003 : 91).
Telah disinggung Suriasumantri bahwa ilmu
juga ikut membantu manusia dalam mendidik anak. Penulis anggap di sanalah peran
ilmu PAUD dengan nilai kegunaan yang akan dibahas di bagian kajian
epistemologis. Lalu bagaimana ilmu PAUD dapat termasuk dalam cabang-cabang ilmu
yang awalnya hanya dua yaitu filsafat alam atau rumpun ilmu alam (natural sciences) dan ilmu sosial (social sciences)? Penulis akan
membahasnya sebagai berikut, kedua rumpun ilmu awal kemudian bercabang menjadi
cabang-cabang ilmu lain. Ilmu alam terbagi menjadi ilmu alam fisik dan ilmu
alam hayat untuk mempelajari alam semesta, kemudian bercabang menjadi fisika,
kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Cabang ilmu tersebut selanjutnya meranting
menjadi mekanika, hidrodinamika, cahaya, fisika nuklir, kimia murni,
kelistrikan—disebut sebagai ilmu murni dan menjadi ilmu terapan.
Yang kedua adalah ilmu sosial yang
berkembang lebih lambat dibanding ilmu alam dengan cabang utama antropologi
(manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (proses mental/ jiwa dan
perilaku manusia), sosiologi (struktur organisasi sosial manusia), ekonomi
(manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui proses pertukaran), dan ilmu
politik (sistem dan proses dalam kehidupan manusia dalam lingkup pemerintahan
dan negara) (Suriasumantri, 2003 : 94). Dari penjelasan tersebut, penulis dapat
menyimpulkan bahwa ilmu PAUD lebih dekat prinsipnya dengan psikologi sebagai
cabang dari ilmu sosial.
2. Obyek Material dan Obyek Formal dalam Ilmu PAUD
Di bagian ini akan
mengantarkan pada pembahasan selanjutnya. Penulis membagi obyek dalam ilmu PAUD
sesuai dengan kajian filsafat yaitu mana obyek material dan mana obyek formal
dari ilmu PAUD.
a)
Obyek material ilmu PAUD berupa hal-hal yang menjadi sasaran kajian baik
yang konkret maupun abstrak. Obyek material ilmu PAUD tentu saja mencakup
hal-hal yang berada dalam lingkup PAUD seperti anak usia dini (atau peserta
didik, yang berupa input dan output), guru/ pendidik (harus kompeten
dan profesional), kurikulum, strategi/ metode/ pendekatan dalam pembelajaran, evaluasi, manajemen sekolah,
sarana prasana (untuk PAUD maka disebut dengan APE—Alat Permainan Edukatif),
dan lain-lain.
§ Anak usia dini sebagai obyek
yaitu anak dari anak-anak berusia 0 s.d 6 tahun atau usia
prasekolah (UURI Nomor 20 Tahun 2003 pasal 28 (1)). Anak-anak tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi : kelompok 0 s.d 2 tahun, kelompok > 2 s.d 4 tahun,
kelompok > 4 s.d 5 tahun, dan kelompok > 5 s.d 6 tahun. Inputnya adalah anak-anak di saat
pertama kali dilayani oleh PAUD, sedangkan outputnya
berupa anak-anak yang sama setelah menerima layanan PAUD.
§ Tenaga kependidikan PAUD mencakup
guru PAUD, guru di lembaga umum, guru TPA, guru pendidikan khusus, penyedia
rumah penitipan anak, pengasuh, pengelola/ pemilik/ pimpinan TPA, penyedia
layanan TPA, asisten guru, ahli bimbingan anak, ahli perkembangan anak, ahli
kurikulum, pengurus administrasi, petugas perpustakaan, terapis anak, orangtua
sebagai fasilitator guru (komite sekolah), dan sebagainya (Morisson, 2012 : 18
tentang jalur profesional praktisi PAUD).
§ Struktur kurikulum PAUD mencakup
program pengembangan dengan unsur enam aspek lingkup perkembangan anak (nilai
agama moral, kognitif, bahasa, fisik motorik, sosial emosional, seni), TPP
(Tingkat Pencapaian Perkembangan dan indikator pencapaian perkembangan. Dari
BAN PAUD dan PNF kemudian menyarankan agar standar tersebut dapat
diimplementasikan dengan acuan Standar Nasional; juga diperkaya dengan Standar
Lokal/ Provinsi dan Standar Internasional.
§ Pemilihan strategi/ metode/
pendekatan pembelajaran disesuaikan pada kurikulum yang diberlakukan. Untuk
PAUD di Indonesia saat ini pasti menggunakan Kurikulum 2013 dengan pendekatan
saintifik. Setelah itu, PAUD juga memiliki beberapa model pembelajaran seperti
model sentra, model area, model kelompok, klasikal, dan lain sebagainya.
§ Evaluasi atau penilaian di PAUD
dilakukan terhadap proses dan hasil pembelajaran dalam 4 satuan waktu yaitu :
setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan setiap semester. Adapun teknik
yang dipakai yaitu melalui : observasi/ pengamatan, catatan anekdot dan catatan
autentik, hasil karya, unjuk kerja/ demonstrasi, dan portofolio.
§ Manajemen sekolah PAUD diawali
dengan visi, misi, dan tujuan suatu lembaga PAUD; dan perlu ada sosialisasinya.
PAUD harus memiliki rencana kerja secara tahunan dan lima tahunan, yang berisi
: tujuan, target sararan, kebijakan, program/ kegiatan, dan pembiayaan. PAUD
juga harus memiliki organisasi terstruktur, jaringan kemitraan (formal,
mutualisme, relevan, berlanjut), administrasi, dan sistem informasi.
§ Sarana prasana di PAUD harus
memenuhi syarat aman, bersih, sehat, nyaman, dan indah—yang meliputi sarana
pendidikan (sarana bermain di dalam/ luar ruangan, buku, gambar, tape recorder, ruang tidur dan ruang
makan bagi TPA), sarana pembelajaran (balok, puzzle, alat main seni, alat main keaksaraan, alat main peran, alat
main sensorimotor, alat main berat dan tinggi badan, piranti cuci tangan, bola,
dsb), lahan setidaknya seluas 500 m2 atau lebih, gedung (ruang
kelas, ruang guru, kantor, gudang, aula, toilet, ruang bermain, halaman), dan
prasarana instalasi (listrik/ penerangan lain, air, alat komunikasi, dan
internet).
b)
Obyek formal ilmu PAUD yaitu cara pandang dan perspektif peneliti/ pengkaji
dalam mengkaji obyek-obyek material ilmu PAUD tersebut baik secara ontologi,
epistemologi, maupun aksiologi. Maka tentu saja berupa hal abstrak, seperti
yang dituliskan oleh penulis dalam makalah ini.
3.
Asumsi
Para Ahli tentang Ilmu PAUD
Sebelumnya telah dipastikan bahwa ilmu
PAUD dekat prinsipnya dengan bidang psikologi sebagai cabang dari ilmu sosial.
Psikologi disebut sama dengan ilmu jiwa oleh Pidarta (2013). Namun, ahli masa
kini justru tidak sepakat dan menganggap bahwa psikologi adalah ilmu yang
mempelajari perilaku individu. Pertimbangan mereka adalah bahwa jiwa sukar
diamati langsung secara metode ilmiah (menjadi urusan Tuhan selagi kita diberi
pengetahuan sedikit tentangnya). Pertimbangan lainnya, mempelajari jiwa berarti
hanya mempelajari sebagian dari individu, sehingga studi tersebut menjadi tidak
lengkap (Sukmadinata, 2016 : 18).
Morisson (2012 : 3) menyatakan bahwa para
ahli bidang PAUD sebaiknya memiliki pengetahuan tentang isi pelajaran,
pendidikan, profesional dan kualitas profesional dalam mengajar/ menjalankan
program-program agar anak-anak dapat belajar dengan baik. Para ahli yang
dimaksud yaitu siapapun yang bekerja dengan, peduli akan, dan mengajar anak
usia dini. Artinya bahwa ilmu tentang PAUD perlu dimiliki dalam taraf yang
cukup dan terus ditambahkembangkan oleh para ahli atau pendidik selama dia
masih terjun dalam bidang PAUD.
Selanjutnya adalah John Comenius
(1592-1670) yang menyatakan bahwa pendidikan di usia dini menentukan kesuksesan
di sekolah dan dalam hidup. Ada pula John Locke (1632-1704) bersama teori
tabula rasa yang menggagas tentang pentingnya pengaruh lingkungan dalam program
yang mendorong-mendukung pendidikan anak usia dini dalam mendapat dasar belajar
yang baik pada usia dini. Atau, Robert Owen (1771-1858) yang menyatakan bahwa
dahsyatnya pendidikan anak usia dini dapat mereformasi masyarakat.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa sebagain
besar asumsi ahli mengenai ilmu PAUD adalah pendidikan anak usia dini termasuk
dalam cabang ilmu sosial sebagai terapan dari ilmu psikologi; di mana ilmu
tersebut harus dimiliki setiap pendidik atau pihak lain yang bertanggungjawab
terhadap melayani pendidikan anak usia dini agar prosesnya memberi hasil yang
lebih optimal; dan efek jangka panjang dari pendidikan anak usia dini tersebut
akan terasa seumur hidup.
4.
Aspek-Aspek
dalam Ilmu PAUD
Penulis mengkaji tentang aspek-aspek dalam
ilmu PAUD sebagai hal-hal yang perlu dimiliki dan dipahami oleh pendidik PAUD,
yaitu :
a) Pengetahuan
tentang Isi Pelajaran
Aspek ini harus dimiliki pendidik sehingga
mereka mengerti tentang materi yang akan diberikan pada anak. Pengetahuan ini
meliputi perkembangan anak dan ragam disiplin akademik. Pengetahuan tentang
perkembangan anak akan membantu dalam menerapkan kegiatan yang sesuai dengan
perkembangan anak. Jika dikaitkan dengan akar ilmunya bahwa ilmu PAUD berawal
dari psikologi, pengetahuan perkembangan anak memang erat hubungannya dengan
psikologi sehingga muncul istilah psikologi perkembangan (Pidarta, 2013 :
196-197). Selain itu, pendidik PAUD juga perlu memahami bidang psikologi
lainnya seperti aspek-aspek individu, belajar dan kesiapan belajar, dan
aspek-aspek sosial.
Yang kedua adalah disiplin akademik atau
bidang pelajaran sebagai dasar proses anak belajar membaca, menulis, matematika
dan ilmu pengetahuan alam, dan belajar menjadi kreatif. Bidang pelajaran dalam
PAUD yang dimaksud adalah bahasa dan kemampuan baca tulis, kesenian (musik,
musik kreatif, tari, drama, seni), matematika, kegiatan fisik dan pendidikan
fisik, geografi, sejarah, ekonomi, dan hubungan sosial/ kewarganegaraan. Bidang
tersebut dikemukakan oleh Morisson (2012 : 5) dengan area kerja di benua
Amerika; sementara di Indonesia sendiri telah dikenal adanya aspek perkembangan
anak yang meliputi : nilai agama dan moral, kognitif, bahasa, motorik dan
kesehatan fisik (motorik kasar dan motorik halus), sosial emosional, dan seni.
Saran Morisson (2012) agar pendidik PAUD
perlu memahami pentingnya setiap bidang pelajaran dalam perkembangan dan
belajar anak; memperlihatkan keahlian dan pengetahuan inti untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung proses belajar di tiap bidang pelajaran; dan
memperlihatkan pengetahuan dasar tentang dasar penelitian setiap bidang
pelajaran. Penulis tambahkan, para pendidik harus memiliki cukup modal dalam
memahami psikologi individu dan bagaimana pendidikan dilaksanakan dengan benar
sesuai kebutuhan individu penerimanya.
b) Pengetahuan
tentang Pendidikan
Pengetahuan ini diikuti dengan
keterampilan mendidik mencakup konsep, teori, penelitian, dan pendekatan
pengajaran yang efektif yang membantu pendidik dalam mengembangkan dan
menerapkan kegiatan belajar penuh arti dan mendukung proses belajar bagi semua
siswa. Saran dari Morisson (2012 : 5-6) adalah pendidik menggunakan pendekatan
yang sesuai perkembangan siswa, yaitu yang pendekatan yang memahami anak,
praktik pengajaran yang sesuai dengan perkembangan dan budaya sekitar anak, dan
kurikulum yang anti bias.
Di Indonesia sendiri sudah terdapat
pendekatan pembelajaran terbaru yang selaras dengan kurikulum pendidikan
terbaru yaitu pendekatan saintifik yang idealnya harus menerapkan pembelajaran
dengan prinsip: belajar sambil bermain, orientasi kebutuhan/ perkembangan anak,
stimulasi terpadu, tematikal, PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan), lingkungan kondusif, dan menggunakan berbagai media. Pendekatan
ini berupaya membangun ide dan bebas berekspresi, daya khayal, dan kerativitas
sehingga mengembangkan aspek perkembangan sesuai prinsip perkembangan anak.
Pendekatan tersebut berpegang pada karakteristik belajar anak, yang : belajar
secara bertahap, dengan berbagai cara, khas,
bersama dalam lingkungan sosial, dan belajar melalui bermain. Jurus
dalam penerapannya yaitu melalui kegiatan 5M : mengamati indrawi, menanya,
mengumpulkan, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan.
c) Pengetahuan
Profesional
Pengetahuan jenis ini dinyatakan Morisson
(2012 : 9) sebagai berikut : (1) mengerti tentang dan ikut serta dalam praktik
etis; (2) ikut serta dalam proses belajar seumur hidup dan perkembangan
profesional yang terus menerus; (3) mau bekerjasama dengan rekan guru, orangtua
dan keluarga siswa, dan masyarakat; (4) merenungkan cara-cara mengajar
(refleksi diri); dan (5) mendukung kepentingan anak, keluarga anak, dan
profesi. Penulis setuju dengan pendapat Morisson bahwa jika hal-hal tersebut
sudah dikuasai betul oleh para pendidik PAUD, maka akan menunjang pengembangan
profesionalisme mereka.
Rifa’i dan Tri Anni (2010 : 3) menganggap
pendidik sebagai agen pembelajaran—jabatan profesional pemberi layanan ahli
dengan syarat mampu akademik, pedagogis, dan profesional untuk dapat diterima
oleh pihak tempat pendidik bertugas (anak/ peserta didik), baik penerima jasa
secara langsung atau pihak lain terhadap siapa pendidik bertanggungjawab. Di
Indonesia sendiri, sudah diatur dalam Permendikbud No 58 Tahun 2009 dan
Permendikbud No 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD. Dinyatakan bahwa
pendidik PAUD harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.
Kualifikasinya yaitu harus memiliki ijazah S1 atau DIV di bidang PAUD atau
pendidikan lain yang relevan dengan sistem PAUD. Sedangkan kompetensi utuhnya
haruslah meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
5.
Pertumbuhan
PAUD di Indonesia
Penulis mengkaji dari pendapat Suyadi & Ulfah (2012) di mana PAUD
di Indonesia telah berkembang selama tiga periode. Penjelasannya sebagai
berikut :
a) PAUD
Terdahulu
Tentu saja PAUD masa lampau sangat berbeda
dengan PAUD saat ini, juga dengan PAUD di masa mendatang. Pertumbuhan PAUD
terjadi amat pesat dan membawa perubahan di segala bidang. Kira-kira seperti
ini sejarahnya :
§
Sebelum kemerdekaan, keberadaan PAUD di Indonesia yang tidak terlepas
dari perkembangan PAUD secara internasional. Pada tahun 1840, Froebel
mendirikan Kindergarten di
Blankerburg, Jerman yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda
dengan mendirikan Frobel School yang diperuntukkan
bagi anak mereka (keturunan Belanda, Eropa, bangsawan).
§
Tahun 1919, berdiri Bustanul
Athfal pertama di Yogyakarta oleh Persatuan Wanita Aisyiyah dengan kurikulum
penanaman nasionalisme dan agama.
§
Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendidikan Kindertuin atau Taman Lare
atau Taman Anak yang akhirnya berkembang menjadi Taman Indria.
§
Pada masa penjajahan Jepang, penyelenggaraan pendidikan tingkat PAUD
dilengkapi kelasnya dengan nyanyian-nyanyian Jepang.
§
Era 1945-1965, Yayasan Pendidikan Lanjutan Wanita mendirikan Sekolah
Pendidikan Guru TK Nasional di Jakarta sebagai nasionalisme melawan kembalinya
Belanda. Melalui UU No 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah, TK resmi diakui sebagai bagian sistem pendidikan nasional.
Pada tanggal 22 Mei 1950, IGTKI didirikan.
§
Era 1965-1998, pemerintah dan UNICEF bekerjasama dalam penyediaan
konsultan dan pendanaan untuk penataran guru dan admistrator pendidikan tingkat
TK. Tahun 1970, mulai dijalin kerjasama nyata antara pemerintah dengan GOPTKI,
IGTKI, dan PGRI. Terbit PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah
mempertegas pendidikan prasekolah di Indonesia.
§
Periode 1998-2003 ditandai dengan otonomi pendidikan dan berpengaruh
terhadap tata kelola penanganan PAUD di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001
dibentuk Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) yang mengemban mandat
melakukan pembinaan satuan PAUD nonformal.
§
Era 2003-2009, terbit UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional di mana pertama kalinya PAUD diatur khusus pada pasal 1 butir 14, pasal
28, dan pasal lainnya. Pada tahun 2005 berdiri HIMPAUDI yang menggerakkan
potensi tenaga kependidikan PAUD di seluruh Indonesia.
§
Periode 2010 sampai sekarang ditandai dengan kebijakan penggabungan
pembinaan PAUD formal dan nonformal di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini, Non Formal, dan Informal (PAUDNI).
Selama perjalanannya, di Indonesia telah terjadi
kristalisasi bentuk satuan PAUD yang meliputi Taman Kanak-Kanak (TK) (termasuk
Taman Kanak-Kanak Bustanul Athfal/ TK
BA), Roudhotul Athfal (RA), Kelompok Bermain,
Taman Penitipan/ Pengasuhan Anak, SPS (Satuan PAUD Sejenis), serta PAUD yang Berbasis
Keluarga dan/ atau PAUD yang Berbasis Lingkungan.
b) PAUD
Masa Kini
Suyadi
& Ulfah (2012) menyatakan beberapa kondisi PAUD di Indonesia saat ini
dengan lima gejala barunya, yaitu sebagai berikut :
§ Tumbuhnya
kesadaran orangtua akan pentingnya masa golden
ages anak sehingga mereka
berinisiatif melibatkan anak mereka di lembaga PAUD. Kesadaran ini didukung
oleh politik kebijakan pendidikan yang memihak pengembangan PAUD secara lebih
besar sehingga kesadaran masyarakat terakomodasi. Sekadar contoh, pada tahun
2012-2013, Kemendikbud mencanangkan tambahan lembaga PAUD sebanyak 14.000 unit.
§ PAUD
sekarang jauh lebih akademis daripada PAUD sepuluh tahun yang lalu, di mana
permainan tradisional (dolanan—yang
sangat diagungkan oleh pendidikan anak rancangan Ki Hajar Dewantara) kini
justru makin ditinggalkan. Kenyataannya, anak masa kini lebih gemar pada permainan
modern berbasis teknologi informasi, terlebih lagi permainan digital.
§ PAUD
sekarang lebih berorientasi pada pengembangan sains anak dan matematika,
daripada sosial anak. Buktinya, PAUD mengaja anak dalam kegiatan membaca,
menulis, dan berhitung.
§ Semakin
banyak lembaga PAUD yang menyediakan layanan sehari penuh atau full days school karena tuntutan
masyarakat, khususnya wanita karir.
§ Program
PAUD sekarang jauh lebih menantang mental dan pikiran anak daripada program
PAUD masa lampau. Bahkan, beberapa lembaga mulai memberikan Pekerjaan Rumah
(PR) kepada anak-anak dengan maksud agar orangtuanya berpartisipasi aktif
mendidik anaknya di rumah.
c) PAUD
Masa Depan
PAUD jenis ini memiliki arah baru yang
akademis, namun justru kurang pantas bagi anak (Suyadi & Ulfah, 2012). Penjelasannya
sebagai berikut :
§ Akademis
vs humanis; lembaga PAUD saat ini dan yang akan datang akan mengalami
kebingungan antara memenuhi kebutuhan perkembangan anak secara sosial atau
kebutuhan akademis. Hal ini dicirikan dengan kegiatan pembelajaran sains dan
matematika awal, termasuk penekanan calistung.
§ PAUD
ke depan akan semakin inklusif; meski masih kekurangan fasilitas edukasi bagi
ABK-nya. Hal ini ditopang UU Pendidikan yang memastikan agar PAUD tidak menolak
ABK. Meski realitanya, lembaga PAUD belum siap menghadapi keinklusifan anak
didik hingga berakibat pada ABK yang termarginalkan di lembagai PAUD dan selalu
kalah dari anak normal.
§ Beragamnya
PAUD akademis; karena tuntutan masyarakat dan orangtua yang ingin agar anaknya
memiliki kemampuan calistung lebih awal. Inilah yang menjadi salah satu
penyebab bosan belajar di Perguruan
Tinggi.
§ Dukungan
menyeluruh; dengan terbentuknya kerjasama antara lembaga PAUD dengan organisasi
profesional, klinik perkembangan, ahli gizi, ahli psikologi anak, dan lain
sebagainya. Akibatnya, program PAUD menjadi semakin kompleks dalam memberikan
pelayanan terhadap anak.
§ Meningkatnya
minat orangtua (khususnya mereka yang berkarir) untuk memasukkan anak mereka ke
lembaga PAUD full days school atau
tempat pengasuhan anak sehari penuh tak peduli berapapun ongkosnya.
Setelah
mengkaji pertumbuhan PAUD di Indonesia sejak awal berdirinya, menuju PAUD masa
kini atau yang akan datang, maka dapat diambil kesimpulan bahwa PAUD di
Indonesia telah mengalami beberapa kali pengembangan; baik dari segi pendirian,
dasar hukum, program, maupun respon masyarakat terhadap kehadirannya. Untuk itu
dapat disarikan seperti berikut :
§ Kemunculan
PAUD di Indonesia berdasarkan riset luar negeri yang sudah lebih dulu
mencanangkan pendidikan untuk anak usia dini.
§ PAUD
menjadi semakin merata bagi semua anak di Indonesia seiring dengan pergantian
siapa pendiri dan hukum yang sedang berlaku.
§ Pemerintah
semakin memperhatikan kedudukan anak, sehingga terbit undang-undang yang secara
khusus mengatur penyelenggaraan PAUD untuk anak.
§ Masyarakat
semakin sadar akan pentingnya masa emas anak, beranggap pula bahwa pendidikan
untuk anak juga penting yaitu melalui lembaga PAUD.
§ Program
PAUD selalu berganti mengikuti perkembangan zaman, dan selalu berusaha
menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat Indonesia.
Dengan
memahami pertumbuhan PAUD di negara sendiri, para pendidik PAUD yang bijaksana
diharapkan dapat memilih mana prinsip yang perlu untuk terus diterapkan dalam
layanannya sekaligus menyingkirkan prinsip yang mubah. Pendidik PAUD juga harus
waspada jika program PAUD masa kini ikut terbawa oleh perkembangan zaman guna menyesuaikan
tuntutan masyarakat. Misalnya datangnya era globalisasi yang ditandai dengan
majunya teknologi dan peradaban/ kebudayaan. pendidik PAUD perlu hati-hati agar
etika bangsa tetap terjaga.
Setelah mengalami empat kali
revolusi, penyelenggaraan layanan PAUD kini tidak hanya melibatkan pendidik
saja. Para pendidik PAUD masa kini juga mampu menggunakan berbagai sumber untuk
menunjang proses belajar, diikuti pula oleh pengembangan dan pengelolaan sumber
tersebut agar memaksimalkan proses belajar bagi anak usia dini sebagai peserta didik.
B.
LANDASAN
EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PAUD
Suriasumantri (2003 : 105) menyatakan bahwa persoalan utama yang
dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan adalah bagaimana mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi. Bagian
ini akan membahas tentang metode dalam mencari kebenaran tentang ilmu PAUD. Pada dasarnya, kebenaran suatu
ilmu dapat dicari melalui cara-cara yang sama dengan aliran rasionalisme,
empirisme, realisme, dan kritisisme; yang sebenarnya menjadi pendekatan dalam
menanggapi permasalahan keilmuan.
1.
Kebenaran Ilmu PAUD secara
Rasionalisme
Cara rasionalisme menganggap bahwa semua
pengetahuan berasal dari akal dalam mencari informasi melalui indera, kemudian
dicerna menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Suatu pengetahuan harus bersifat dan
memiliki ciri ilmiah, yaitu harus logis, sistematis, obyektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Ilmu PAUD memenuhi ciri rasionalisme karena ilmunya
bersifat logis dan sistematis. Ilmu PAUD lahir tidak tiba-tiba begitu saja,
namun berakar dari ilmu sosial atau cabang dari psikologi. Jika ilmu sosial dan
bidang psikologi saja sudah logis dan sistematis, maka ilmu PAUD sebagai
cabangnya ikut memiliki prinsip tersebut.
Ciri logis terlihat dari obyek material
dalam ilmu PAUD (baik konkret maupun abstrak) yang dapat diterima oleh logika
manusia dan dapat dipikirkan, bahkan dikembangkan. Ciri sistematis yaitu ilmu
PAUD telah menjalani proses yang urut dalam perkembangannya hingga saat ini.
Teori-teori ke-PAUD-an sejak dulu hingga kini terus berkembang dan melengkapi
kekurangan masing-masing. Sebagai contoh, teori perkembangan kognitif Vygotsky
muncul setelah teori milik Piaget sebagai kritik evaluasi dan pengembangan
teori kognitif yang lebih baik. Jalannya layanan pendidikan PAUD juga telah
berevolusi sebanyak empat kali, sejak yang awalnya hanya terlayani dengan
sumber guru, kemudian dibantu oleh sumber buku, kemudian kini terlayani dengan
menggunakan multisumber.
Ilmu PAUD juga tidak berat sebelah dan
dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu PAUD tidak melulu membahas tentang anak usia
dini saja, namun mengkaji pula tentang siapa-siapa yang berada di sekitar anak
(orangtua, saudara, keluarga, pendidik/ guru, masyarakat, bahkan budaya dan
dunia). Buktinya, melalui ilmu PAUD lantas lahir pengetahuan lain mengenai
bagaimana kompetensi pendidik yang profesional, bagaimana pengasuhan orangtua
yang demokratis, bagaimana pendidikan karakter dan budaya bangsa, dan lain
sebaigainya.
Sifat dapat dipertanggungjawabkan
berkaitan dengan sifat logis dari ilmu PAUD. Karena sifat logisnya itu, ilmu
PAUD pantas untuk diuji melalui berbagai penelitian. Hingga kini sudah ribuan
kali penelitian di bidang PAUD yang telah dilakukan oleh para peniti yang
benar-benar ahli maupun yang masih amatir.
2.
Kebenaran Ilmu PAUD secara Empirisme
Cara ini mengindikasikan kebenaran
pengetahuan jika hal tersebut telah dialami sendiri dan menjadi pengalaman.
Namun masih boleh dinyatakan benar meski belum mengalaminya, dengan syarat
buktinya ada di lapangan. Ilmu PAUD adalah benar secara empirisme, alasannya
karena buktinya sudah ada di lapangan yaitu berupa obyek ilmu PAUD baik yang
material maupun yang formal.
3.
Kebenaran Ilmu PAUD secara Realisme
Cara ini berdasarkan
atas pemikiran terhadap fakta yang realistis (nyata) dan faktual (berdasarkan
fakta sebenarnya). Pada dasarnya ilmu PAUD berpegang pada prinsip ini.
Gambarannya, sebelum menciptakan gagasan menjadi teori, para ahli terlebih dulu
mengadakan penelitian yang mungkin tidak hanya satu atau dua kali menggunakan
metode yang ilmiah. Sebagai contoh, Montessori yang bekerja sebagai asisten di
Klinik Psikiatri Universitas Roma mengamati anak-anak yang memainkan potongan
roti di lantai (Formen, 2009 : 46), lantas tergugah dirinya untuk menciptakan
mainan bagi anak-anak tersebut dalam sebuah ruangan khusus. Perlu beberapa
tahun sebelum Montessori akhirnya mampu mendirikan Casa dei Bambini (Rumah Anak); sebab dia lebih dulu terjun melayani
anak-anak dengan kelainan dan keterbelakangan mental dan berlanjut mengurus
bidang pendidikan anak di kawasan slum
yang kumuh di distrik San Lorenzo. Di dua tempat itulah, Montessori
mengembangkan pemikirannya dalam menentukan metode yang tepat untuk
membelajarkan anak dalam lingkungan bermain yang menyenangkan.
4.
Kebenaran Ilmu PAUD secara Kritisisme
Ciri ini menyatakan
bahwa pengetahuan itu benar apabila logika, rasa, dan empati manusia yang
mengkajinya merasa setuju itu benar. Di awal sudah dibahas bahwa secara logika
ilmu PAUD sudah benar, karena pengetahuan tentang PAUD diperoleh melalui
cara-cara yang ilmiah atau melalui proses penelitian yang dapat diterima nalar.
Ilmu PAUD merupakan cabang ilmu sosial sekaligus terapan dari ilmu pendidikan
dengan unsur psikologi, sosiologi, dan antropologi di dalamnya. Tiga unsur
tersebut mempelajari tentang individu dalam hal tahap perkembangan dan
karakteristiknya, tentang organisasi individu di lingkungan sosial, dan tentang
individu dalam perspektif waktu dan tempat. Sementara
itu aspek rasa dan empati berada dalam mental manusia yang dapat pula dipelajari
melalui ilmu psikologi. Maka dari itu, ketiga logika-rasa-empati telah
menempati posisi dalam psikologi termasuk cabangnya yaitu dalam ilmu PAUD.
C.
LANDASAN
AKSIOLOGI DALAM ILMU PAUD
Bagian ini akan membahas nilai (manfaat)
ilmu PAUD bagi beberapa pihak yang terlibat. Obyek material utama dari ilmu
PAUD atau ilmu Pendidikan Anak Usia Dini adalah anak usia dini sehingga sebagian besar nilai-nilai ilmu PAUD akan tertuju
pada anak usia dini (Morisson, 2012). Ilmu PAUD yang di dalamnya berisi
pengetahuan tentang perkembangan anak, yaitu mengkaji bagaimana anak sering
berubah selama masa usia dini. Pengetahuan tersebut penting demi praktik
memberikan layanan PAUD terhadap anak sebab beberapa alasan berikut :
§ Memudahkan
dalam menjelaskan pada orang lain (keluarga, orangtua) tentang bagaimana anak
usia dini berkembang dan belajar (komunikasi).
§ Memudahkan
dalam menilai pembelajaran dan merencanakan pembelajaran selanjutnya, sebab
pengetahuan tersebut mampu menjelaskan perilaku dan mengidentifikasi apa yang
dapat dikerjakan anak di usia tertentu (evaluasi).
§ Membantu
pemahaman soal bagaimana, mengapa, di mana, dan kapan proses belajar anak
terjadi; mengarahkan dalam pengembangan program untuk anak yang mendukung dan meningkatkan
proses belajar tersebut (bimbingan).
Alasan tersebut dinyatakan oleh Morisson
(2012 : 60-61), yang kemudian juga menjelaskan tentang nilai-nilai ilmu PAUD
bagi pihak yang berkaitan.
1.
Mengajari
Anak Belajar
Nilai ini akan tercapai apabila pendidik
PAUD menyediakan kurikulum dan instruksi pengajaran berkualitas dalam
pembelajaran yang tepat berguna bagi anak; juga sesuai dengan standar. Pendidik
juga perlu mempraktikkan pengajaran yang membantu anak supaya meraih prestasi
tertinggi yaitu tumbuh berkembang hingga optimal. Pendidik PAUD yang paham
setiap disiplin akademik—meliputi konsep dasar, struktur, dan sarana
penelitiannya—selanjutnya dapat menyediakan sumber belajar yang memperdalam
pemahaman anak. Yang ketiga, pendidik perlu bersifat kreatif inovatif dalam
menggunakan pengetahuan dan sumber lain untuk merancang, menerapkan, dan
menilai kurikulum menjadi lebih bermakna dan menantang; sehingga dapat
meningkatkan output pembelajaran dan
perkembangan yang lebih komprehensif bagi semua anak (Morisson, 2012 : 129).
2.
Mengamati
dan Menilai Anak
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membimbing dan mengajar anak (Morisson, 2012 : 157). Pendidik PAUD sebaiknya
menilai anak dengan ukuran sesuai yang autentik untuk memandu pengajaran.
Sebelum melakukan penilaian, pendidik lebih dulu memahami tentang tujuan,
manfaat, dan cara menggunakan penilaian. Pendidik PAUD dapat menggunakan
observasi sistematis, dokumentasi, dan strategi penilaian lain dengan penuh
tanggung jawab. Boleh pula bekerjasama dengan pihak lain untuk secara positif
mempengaruhi perkembangan belajar anak.
3.
Mendampingi
Masa-Masa Penting Bayi dan Balita
Pendidik PAUD sebaiknya mempraktikkan pembelajaran
bayi dan balita yang sesuai dengan perkembangan (Morisson, 2012 : 183).
Pendidik lebih dulu harus paham tahapan tumbuh kembang anak usia dini.
Pengetahuan dasar tersebut dapat berguna di saat menerapkan praktik asuhan yang
sesuai perkembangan anak sehingga terjadi peningkatan perkembangan fisik,
kognisi, sosial dan emosi pada capaian potensi yang tertinggi. Pendidik juga
harus memahami tentang karakter dan kebutuhan anak, dan tentang berbagai
pengaruh interaksi pada perkembangan belajar anak untuk selanjutnya mampu
menciptakan lingkungan yang sehat, saling menghargai, mendukung, sekaligus
menantang bagi semua anak.
4.
Mempersiapkan
Anak Prasekolah
Persiapan yang dimaksud yaitu bersiap untuk
pergi belajar di sekolah dan kehidupan (Morisson, 2012 : 217). Pendidik PAUD
harus memahami lebih dulu tentang tahap tumbuh kembang anak sebagai dasar
mempraktikkan asuhan untuk memacu perkembangan fisik, kognisi, sosial, dan
emosi pada capaian tertinggi. Pendidik dapat menggunakan berbagai pendekatan,
strategi, dan sarana efektif untuk mempengaruhi secara positif perkembangan
belajar anak. Pendidik perlu paham setiap bidang pelajaran (meliputi konsep
dasar, struktur, alat penelitian) dan mengidentifikasi sumber daya untuk
meningkatkan pemahaman anak.
5.
Memenuhi
Kebutuhan Perkembangan dan Akademis
Inilah tujuan utama Taman Kanak-Kanak (TK)
masa kini (Morisson, 2012 : 251) dan akan terwujud apabila pendidiknya sanggup
mempraktikkan pengajaran yang sesuai dengan perkembangan anak. Maka pastinya
pendidik PAUD harus memahami tahap tumbuh kembang anak sebagai dasar mengasuh
perkembangan fisik, kognisi, sosial, dan emosi anak menuju targetnya. Pendidik
juga perlu tahu tentang sifat dan kebutuhan anak, dan tentang berbagai pengaruh
interaksi pada perkembangan belajar anak demi mencipta lingkungan belajar sehat
yang saling menghargai, dan mendukung anak. Pendidik perlu menggunakan
pengetahuan dan sumber lain untuk merancang, menerapkan, dan menilai kurikulum
menjadi lebih bermakna dan menantang untuk meningkatkan hasil positif
pembelajaran anak.
6.
Memastikan
Semua Anak dapat Belajar
Maksud Morisson adalah mendidik pula anak
dengan kebutuhan khusus dan anak dari berbagai latar belakang (2012 : 315).
Pendidik PAUD harus setuju dengan penuh hormat dan penghargaan bahwa semua anak
ialah individu dengan kekuatan dan tantangan unik. Pendidik kemudian menyatukan
perbedaan tersebut, berusaha memenuhi kebutuhan khusus anak-anak, dan mendorong
toleransi serta kebersamaan di dalam kelas inklusi. Kemudian dengan menggunakan
pemahaman tentang karakteristik dan kebutuhan anak, serta pengaruh interaksi
ganda terhadap perkembangan belajar anak; pendidik mampu menciptakan lingkungan
sehat yang saling menghargai, mendukung, dan menantang bagi anak. Pendidik
dapat pula menggabungkan pemahaman dan hubungannya dengan anak dan keluarga
anak; pemahaman tentang pendekatan pembelajaran; dan pengetahuan tentang bidang
akademik untuk merancang, menerapkan, dan menilai pengalaman yang mampu
mendorong perkembangan dan pembelajara positif bagi anak. Terakhir, dengan
menggunakan pengetahuan diri dan sumber lain untuk merancang, menjalankan, dan
menilai kurikulum yang menantang untuk mendorong hasil perkembangan dan pembelajaran
komprehensif bagi semua anak.
7.
Membantu
Membimbing Anak agar Berperilaku Baik
Nilai tersebut tercapai apabila pendidik
PAUD telah paham tentang prinsip dan perkembangan perilaku (Morisson, 2012 :
343). Pendidik juga menggunakan hubungan positif dan interaksi suportif dalam
membimbing anak untuk tenang, hormat, kooperatif, dan memiliki kendali terhadap
perilaku mereka. Selanjutnya, pendidik boleh menggunakan aturan luas tentang
pendekatan efektif, strategi, dan alat untuk memberikan pengaruh positif pada
perkembangan belajar anak.
8.
Mencapai
Keberhasilan Belajar terhadap Semua Anak
Intinya yaitu membentuk kemitraan melalui kolaborasi bersama orangtua/ keluarga dan masyarakat (Morisson, 2012 : 371). Pendidik PAUD harus sadar tentang penting dan kompleksnya karakteristik keluarga dan masyarakat di sekitar anak. Pendidik dapat bertindak sebagai penasihat atas nama anak dan keluarga; sehingga mampu memperlakukan orangtua dengan pantas dan hormat. Pendidik melibatkan orangtua/ keluarga, dan anggota masyarakat dalam programnya; boleh pula mendorong dan membantu mereka untuk menjadi pengasuh dan guru utama bagi anak; yaitu melibatkan keluarga dan masyarakat dalam banyak aspek tumbuh kembang anak. Yang tidak kalah penting, pendidik harus menciptakan hubungan penuh hormat dan timbal balik yang mendukung dan memberdayakan keluarga.
DAFTAR
PUSTAKA
BAN PAUD & PNF. Rubrik
Penilaian Akreditasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta : Ditjen
Dikdasmen Kemendikbud. Diakses dari www.banpnf.or.id
Data PDSP. (2017). APK
dan APM PAUD, SD, SMP, dan SM Tahun 2016/2017. Jakarta : Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025. Jakarta :
Kementerian Pendidikan Nasional
Dirjen PAUDNI. Pedoman
Pembelajaran Anak Usia Dini dengan Pendekatan Saintifik. Jakarta :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Formen, Ali. (2009). Buku Ajar
Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini. Semarang : Universitas Negeri Semarang
Morisson, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Edisi Bahasa Indonesia).
Jakarta : PT INDEKS
Permendikbud RI
Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar PAUD
Permendikbud RI Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional PAUD
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta : Rineka Cipta
Rifa’i,
Achmad dan Catharina Tri Anni. (2010). Psikologi
Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LP3 Unnes
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (2016). Landasan Pskologi
Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Suriasumantri,
Jujun. S,. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Suyadi
& Ulfah. (2012). Konsep Dasar PAUD.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]