LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
LANDASAN
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia merupakan subyek dalam
kehidupan, sebab sebagai makhluk Tuhan yang selalu melihat, bertanya, berpikir,
dan tertarik mempelajari lingkungan atau hal-hal di luar dirinya. Manusia
bahkan tertarik mempelajari hal-hal tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain,
manusia ingin mengetahui keadaan diri sendiri, sehingga manusia dapat menjadi
obyek studi bagi manusia lainnya.
Dasar pemahaman tersebut diambil
dari cabang ilmu psikologi. Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang
mempelajari tentang jiwa manusia, pendapat tersebut dinyatakan oleh Pidarta
(2013). Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan sekitar. Karena itu, jiwa
atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia.
Jiwa manusia berkembang
sejajar dengan pertumbuhan jasmaninya. Jiwa balita baru berkembang sedikit
sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sangat sederhana.
Makin besar anak itu, maka makin berkembang pula jiwanya. Kemudian dengan
melalui tahapan tertentu, akhirnya anak itu akan mencapai kedewasaan baik dari
segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan dua hal
itulah anak belajar, di mana mereka peka untuk belajar, belum bekerja, belum
berumahtangga ataupun bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarga. Tingkatan
dalam masa belajar ini sejalan dengan fase-fase perkembangan mereka. Untuk itu,
layanan pendidikan terhadap mereka harus pula dibuat bertingkat-tingkat agar
pelajaran itu dapat dipahami oleh anak-anak.
Di lembaga pendidikan, anak
belajar bersama guru atau pendidik. Dalam hal ini, tentu saja mereka dilayani
oleh tenaga pendidik profesional agar tujuan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
tercapai, yaitu anak belajar dalam suasana dan proses pemebelajaran yang
mengarahkan agar mereka aktif mengembangkan potensi diri menjadi anggota
masyarakat, bangsa, dan juga negara.
Untuk melaksanakan profesinya,
tenaga pendidik sangat memerlukan ragam pengetahuan dan keterampilan keguruan
yang memadai, dam harus sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains serta
teknologi. Di antaranya, mereka harus paham mengenai pengetahuan psikologi,
untuk kemudian mampu dan terampil menerapkannya dalam bentuk pendekatan yang
sesuai dalam proses pendidikan.
Salah satu problematika PAUD
dalam kancah nasional yaitu kurangnya kompetensi tenaga pendidik, di mana
kompetensi tersebut seharusnya meliputi pedagogik, profesional, kepribadian,
dan sosial. Semua kompetensi penting ini harus dimiliki oleh tenaga pendidik.
Pengetahuan tentang psikologi nyatanya termasuk dalam kompetensi profesional.
Artinya tenaga pendidik PAUD perlu memiliki pemahaman tentang psikologi yaitu
tentang perkembangan baik secara umum maupun khusus, belajar dan kesiapan
belajar, dan aspek keindividuan anak. Kemudian jika kompetensi tersebut penuh
dimiliki, maka pendidik PAUD mampu memberikan layanan pendidikan terhadap para
peserta didik yaitu anak secara layak dan sesuai dengan aspek-aspek
perkembangan anak.
Hal-hal tersebut menjadi dasar
penyusunan makalah ini. Selanjutnya penulis akan membahas tentang psikologi
sebagai salah satu asas penting dalam jalannya pendidikan sehingga muncul
istilah landasan psikologi dalam proses pendidikan atau singkatnya disebut
landasan psikologi pendidikan yang penulis kaji menjadi aspek penting untuk
jalannya pendidikan pada jenjang usia dini atau PAUD.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konsep psikologis
dalam pendidikan?
2.
Apa saja manfaat
psikologi dalam pendidikan ?
3.
Bagaimanakah implementasi
psikologi dalam dunia pendidikan, termasuk bagi pendidikan pada jenjang usia
dini (PAUD)?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Mengetahui tentang
konsep psikologi dalam pendidikan.
2.
Mengetahui manfaat
psikologi dalam pendidikan.
3.
Mengetahui
implementasi psikologi dalam dunia pendidikan, termasuk bagi pendidikan pada
jenjang usia dini (PAUD).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP
PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN
Bidang psikologi memiliki hubungan yang
erat dengan pendidikan. Alasannya adalah karena aspek-aspek psikologi seorang
individu menjadi obyek yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Perlu
diingat bahwa pendidikan paling awal terjadi di keluarga, kemudian berlanjut dalam
lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi, bukan guru di sekolah saja yang
menjadi pendidik paham psikologi, sebab orangtua dan anggota masyarakat juga perlu
memahaminya. Pemahaman tentang psikologi tersebut kemudian menjadi salah satu
pedoman dalam praktik 3A, yaitu dalam mengasah mengasihi mengasuh anak atau si
pembelajar.
Sebelum
membahas aspek-aspek psikologi dalam pendidikan, baiknya dikaji terlebih dulu
tentang aspek-aspek psikologi untuk kemudian dikaji keterkaitannya dengan
pendidikan sehingga menghasilkan konsep psikologi pendidikan.
1.
Pengertian
Psikologi
Sebelumnya di bagian latar belakang sudah
disebutkan bahwa psikologi disebut sebagai ilmu jiwa oleh Pidarta (2013). Namun,
para ahli masa kini sepakat bahwa psikologi tidak boleh lagi diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari jiwa, melainkan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku
atau kegiatan individu. Makna baru tersebut timbul atas pertimbangan bahwa jiwa
adalah hal yang sukar diamati secara langsung melalui metode penelitian ilmiah,
sebab urusan jiwa adalah milik Tuhan di mana kita hanya diberi pengetahuan
sedikit tentangnya. Pertimbangan lain adalah, mempelajari jiwa berarti hanya
mempelajari sebagian dari individu saja, sehingga studi tersebut menjadi tidak
lengkap (Sukmadinata, 2016 : 18).
Untuk itu, selanjutnya penulis sajikan
beberapa pendapat ahli mengenai pengertian dari psikologi sebagai cabang ilmu
pengetahuan tersebut.
a. Glover
dan Ronning (1987) yang menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mengkaji
perkembangan, perbedaan individu, pengukuran, belajar dan motivasi manusia.
b. Dakir
(1993), berpendapat bahwa psikologi hanya membahas tingkah laku manusia dalam
hubungannya dengan lingkungannya.
c. Menurut
Muhibin Syah (2001), psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah
laku terbuka dan tertutup manusia baik yang individu maupun kelompok, dalam
hubungannya dengan lingkungan.
d. Nana
Syaodih Sukmadinata (2016) menyatakan bahwa psikologi yaitu studi atau ilmu
yang mempelajari kegiatan atau perilaku individu dalam interaksinya dengan
lingkungan.
Kemudian dapat penulis simpulkan bahwa psikologi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam lingkungan tertentu. Individu
tersebut tentu saja manusia yang lahir dengan karunia jiwa raga yang
memungkinkan dirinya mampu berpikir, belajar dan berperilaku; di mana ketiga kegiatan
tersebut terjadi dalam lingkungan pendidikan dan dapat dipelajari.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup
psikologi, telah dikategorikan oleh Sukmadinata menjadi bidang psikologi umum,
psikologi khusus, dan psikologi terapan. Psikologi umum dan psikologi khusus
sama-sama menjadi studi tentang perilaku individu. Psikologi umum secara umum
mempelajari apa, mengapa, dan bagaimana individu berperilaku; sedangkan
psikologi khusus mempelajari khusus aspek sorotannya. Psikologi terapan (applied psychology) adalah penerapan
dari penggunaan ilmu pengetahuan, prinsip, kaidah, pendekatan, dan teknik
psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah di bidang lain (2016, 23-28).
2.
Psikologi
Perkembangan
Pendapat dari Pidarta (2013 : 196-197)
yang menyatakan bahwa psikologi erat hubungannya dengan perkembangan (maka
jadilah psikologi perkembangan) dan aspek individu; belajar (menjadi psikologi
belajar) dan kesiapan belajar; dan aspek sosial (menjadi psikologi sosial). Sebelum
Pidarta, beberapa ahli berhasil menelurkan teori-teori tentang psikologi
perkembangan manusia (dengan kajian menyeluruh maupun khusus). Pendekatan
perkembangan terjadi melalui tiga cara menurut Nana Syaodih (1988), yaitu pentahapan
menganggap perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap tertentu;
kemudian pendekatan diferensial yang memandang individu itu memiliki kesamaan dan
perbedaan; dan pendekatan ipsatif yang mengkaji karakteristik perkembangan
seseorang secara individual.
Pendekatan
pentahapan adalah yang paling sering digunakan hingga kini, baik secara menyeluruh
atau khusus. Secara menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan dalam
menyusun tahap perkembangan, selagi cara khusus hanya mempertimbangan faktor
tertentu sebagai dasar, misalnya pentahapan oleh Piaget, Vygotsky, Kohlberg,
dan Erikson. Penulis tegaskan, bahwa studi psikologi perkembangan termasuk
dalam psikologi khusus (Sukmadinata, 2016 : 24).
Cara
menyeluruh yang paling terkenal yaitu Hurlock (1980) tentang tahap pertumbuhan
dan perkembangan manusia dengan pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Hurlock
mengkaji perubahan manusia sejak periode pranatal (sebelum lahir), masa baru
lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, masa puber dan remaja, masa dewasa, masa
usia madya, hingga masa usia lanjut. Namun tidak menutup kemungkinan jika fakta
menunjukkan perkembangan anak yang menyimpang dari teorinya, sehingga muncul kritik
dan rumusan teori yang lebih sesuai.
Pendapat
lainnya, yaitu Rousseau (Pidarta, 2013 : 200) yang merumuskan lima periode perkembangan
manusia. Tahap perkembangan pertama (masa bayi) pada usia 0 s.d 2 tahun, yang dihiasi
oleh perkembangan fisik. Tahap kedua (masa anak) pada usia 2 s.d 12 tahun, laiknya
manusia primitif. Kemudian masa pubertas pada usia 12 s.d 15 tahun, ditandai
dengan berkembangnya pikiran dan kemauan berpetualang. Terakhir, masa adolesen
pada usia 15 s.d 25 tahun, di saat seksual menonjol dan mulai hidup berbudaya (sosial,
kata hati, moral individu).
Sementara
itu Stanley Hall (Pidarta, 2013 : 201), penganut Teori Evolusi dan Teori
Rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut :
a. Masa
kanak-kanak sebagai kehidupan binatang, usia 0 s.d 4 tahun
b. Masa
anak sebagai manusia pemburu, usia 4 s.d 8 tahun
c. Masa
muda sebagai manusia belum berbudaya, usia 8 s.d 12 tahun
d. Masa
adolesen sebagai manusia berbudaya, usia 12 tahun s.d dewasa
Havighurst
juga menyusun fase-fase perkembangan manusia, yaitu dalam bentuk tugas
perkembangan yang tampaknya disiapkan untuk pendidikan seumur hidup manusia
(Pidarta, 2013 : 201-203). Tugas tersebut supaya dijalankan atau diselesaikan
oleh setiap individu sepanjang hidupnya. Pidarta melanjutkan bahwa tugas
tersebut nantinya berguna bagi pendidik di setiap jenjang pendidikan dalam
menentukan arah pendidikan, menentukan metode/ model belajar agar anak-anak
mampu menyelesaikan tugas perkembangan, menyiapkan materi dan pengalaman
belajar yang sesuai dengan tugas perkembangan. Mulyani (1988) mengkaji teori tugas-tugas
perkembangan Havighurst tersebut sebagai berikut :
a. Tugas
perkembangan masa kanak-kanak, berupa: belajar bicara, makan makanan padat,
berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelamin, stabilitas
fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar
menghubungkan diri secara emosional dengan orang lain, serta belajar membedakan
yang benar atau salah.
b. Tugas
perkembangan masa anak, berupa : belajar keterampilan fisik untuk bermain,
membentuk sikap diri, belajar bergaul rukun, belajar peran jenis kelamin,
belajar keterampilan calistung, mengembangkan konsep kehidupan, membentuk kata
hati dan moral/ nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap
kelompok/ sosial.
c. Tugas
perkembangan masa remaja, berupa : membuat hubungan baru dan matang dengan
teman dan kedua jenis kelamin, memperoleh peran sosial yang cocok dengan jenis
kelamin, menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dan
ketergantungan pada orang lain, memilih/ menyiapkan jabatan, mendapatkan
kebebasan ekonomi, memersiapkan perkawinan dan hidup berkeluarga, mengembangkan
skill dan konsep jadi warga negara
yang baik dan bertanggungjawab, memperoleh seperangkat nilai serta etika
sebagai pedoman hidup.
d. Tugas
perkembangan masa dewasa awal, berupa : memilih pasangan hidup, belajar hidup
rukun bersuami isteri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan
merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan jabatan/ pekerjaan,
belajar bertanggungjawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapakan sosial
yang tepat.
e. Tugas
perkembangan masa setengah baya, berupa : bertanggungjawab menjadi warga negara
baik, membangun dan mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja menjadi
dewasa-bertanggungjawab-bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan
tertentu, membina hubungan suami isteri sebagai pribadi, menerima serta
menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri, dan menyesuaikan diri dengan usia.
f. Tugas
perkembangan orangtua, berupa : menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya
kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan
atau karena pension, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan
dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang
baik, dan membantun kehidupan fisik yang memuaskan.
Pembahasan
psikologi perkembangan selanjutnya diarahkan pada hal-hal khusus dari aspek
perkembangan tertentu manusia. Pertama, Piaget yang berfokus pada perkembangan
kognitif dengan pemikiran bahwa fisik individu mempunyai struktur untuk beradaptasi
dengan dunia, begitu pula dengan struktur mentalnya. Piaget menekankan bahwa
anak secara aktif membangun dunia kognitif sendiri sebab informasi dari
lingkungan tidak begitu saja tertuang ke dalam pikiran. Ia menemukan bagaimana
anak rupanya mampu memandang dunia dan bagaimana perubahan yang sistematis
terjadi dalam pikiran mereka (Santrock, 2011 : 243).
Menurut
Piaget, kognitif individu berkembang selama empat tahap, yaitu dimulai sejak
usia 0 s.d 2 tahun dengan gerak refleks sensorimotorik yang terbatas dan
dilanjut periode praoperasional pada usia 2 s.d 7 tahun di mana intuisi anak
berkembang pesat selagi analisis rasionalnya masih nol. Periode selanjutnya
pada usia 7 s.d 11 tahun di mana anak sudah mampu berpikir logis, sistematis
dalam memecahkan masalah operasi konkret seperti mengerjakan soal matematika.
Usia selanjutnya yaitu 11 s.d 15 tahun dengan periode operasi formal saat anak
mampu berpikir logis terhadap masalah abstrak sekalipun dengan ide yang
realistis.
Ahli
bernama Kohlberg mengembangkan teori moral dengan dasar kognisi Piaget.
Menurutnya, moral kognisi manusia terbentuk melalui tiga tingkat, yaitu
prakonvensional, konvensional, menuju post-konvensional (Pidarta, 2013 : 205). Khamidun
(2012) menjelaskan bahwa tahap prakonvensional menjadi tingkat
terendah dari penalaran individu, sebab anak menginterpretasikan sesuatu
sebagai hal yang baik atau buruk melalui reward
dan punishment dari luar. Tahap ini
anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman menuju orientasi egois naïf. Penalaran
konvensional terlihat saat individu memberlakukan standar tertentu, tetapi
standar ini ditentukan orang lain. Anak berorientasi sebagai anak baik menuju
orientasi mempertahankan aturan dan norma. Penalaran post-konvensional sebagai tingkat
tertinggi telihat saat individu menyadari jalur moral alternatif,
mengeksplorasi pilihan lalu memutuskan atas dasar kode moral personal. Di sini
anak berorientasi pada kontrak sosial yang legal menuju orientasi prinsip etika
universal.
Dalam hal
afeksi, Erikson (Pidarta, 2013 : 205-207) mencoba
menyusun perkembangannya ke dalam 8 tahap di sepanjang umur hidup manusia.
a.
Bersahabat vs menolak pada usia 0 s.d 1 tahun
b.
Otonomi vs rasa malu pada usia 1 s.d 3 tahun
c.
Inisiatif vs perasaan bersalah pada usia 3 s.d
5 tahun
d.
Produktif vs rendah diri pada usia 6 s.d 11
tahun
e.
Identitas diri vs kebingungan pada usia 12 s.d
18 tahun
f.
Intim vs isolasi diri pada usia 19 s.d 25 tahun
g.
Generasi vs kesenangan pribadi pada usia 25 s.d
45 tahun
h.
Integritas vs putus asa pada usia 45 tahun ke atas
Selanjutnya
konsep perkembangan terakhir, penulis kaji dari teori Gagne mengenai
perkembangan kemampuan belajar (Pidarta, 2013 : 208)
bahwa anak belajar secara multideskiriminasi atau membedakan stimuli, kemudian
belajar konsep atau membuat respon sederhana, dilanjut belajar prinsip atau
mempelajari prinsip/ aturan konsep, hingga belajar pemecahan masalah atau
mencari sesuatu yang baru setelah mengombinasikan dua atau lebih prinsip.
Penulis
setuju dengan pemikiran Pidarta (2013) bahwa pembahasan rinci mengenai
psikologi perkembangan dalam bentuk teori-teori perkembangan umum
(kognisi-moral-afeksi) yang kemudian dipahami sungguh-sungguh oleh pendidik
dapat menjadi petunjuk yang berharga dalam melaksanakan pendidikan.
3.
Psikologi
Belajar
Belajar bagi Pidarta (2013) adalah
perubahan perilaku yang relatif tetap dari hasil pengamatan (bukan hasil
perkembangan, pengaruh obat, kecelakaan). Melalui belajar, individu kemudian
bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain atau mengkomunikasikan pada orang
lain. Terdapat sejumlah prinsip belajar yang dirumuskan Gagne (1979), yaitu :
kontiguitas, pengulangan agar lama diingat, dan penguatan respon; ketiganya menjadi
faktor luar yang mendukung hasil belajar. Prinsip lain yaitu faktor intern yang
dikembangkan oleh anak sendiri dalam arahan atau strategi mengajar, meliputi :
motivasi positif dan kepercayaan diri, materi yang memadai, adanya upaya
membangkitkan keterampilan intelektual (apersepsi pembelajaran), strategi tepat
agar anak aktif, dan aspek jiwa anak.
Bicara soal psikologi belajar tentu akan
membahas teori-teori belajar yang hingga kini telah berevolusi selama dua
periode yaitu secara klasik dan modern (Pidarta, 2013 : 210-221). Teori belajar
klasik meliputi disiplin mental theistik dari psikologi daya/ fakulti, disiplin
mental humanistik dari Aristoteles dan Plato, teori naturalis/ aktualisasi diri
dari Rousseau, dan teori belajar asosiasi Herbart. Dinyatakan Pidarta, bahwa
meski teori belajar klasik umumnya sudah sangat lama namun untuk hal-hal
tertentu masih bisa dipakai hingga saat ini. Buktinya dalam menghapal perkalian
dan latihan soal-soal yang ternyata menggunakan disiplin mental; atau paham
naturalis untuk dipakai dalam pendidikan luar sekolah.
Meninggalkan teori belajar klasik, lantas
muncul para ahli pencetus teori belajar modern yang terbagi dalam kelompok
behavioris dan teori belajar kognisi. Teor behaviorisme hakikatnya terbagi
menjadi menjadi dua yaitu pengkondisian instrumental (Thorndike, Watson) dan
pengkondisian operan (Skinner, Hull). Dua teori tersebut sama-sama bermanfaat
untuk mengembangkan tingkah laku yang nyata seperti hidup teratur, rajin
belajar, mencuci tangan sebelum makan, bersedia gotong royong, gemar
berolahraga; namun lemah untuk melatih logika.
Untuk itu hadir teori belajar kognisi yang
memungkinkan si pembelajar untuk mempelajari materi rumit penuh pemahaman untuk
memecahkan masalah atau menyusun ide. Teori tersebut dulu disusun oleh Bruner,
Ausubel, Lewin. Kemudian pada abad terakhir ini muncul dua teori baru bernama
teori belajar konstruktivisme dan teori belajar kuantum. Penulis anggap jika
dua teori baru atas dasar penelitian tersebut telah berlaku di Indonesia,
dengan adanya pendekatan saintifik dalam pembelajaran anak karena kedua teori
baru tersebut membiasakan pembelajar laiknya ilmuwan yang kritis antusias dalam
menghadapi pengetahuan dan informasi baru dari lingkungannya (Pidarta, 2013 :
210).
4.
Psikologi
Sosial
Hollander (1981) menyatakan bahwa
psikologi kategori ini mempelajari psikologi individu dalam masyarakat, yang
mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari
pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. Dilanjutkan oleh
Pidarta bahwa psikologi ini melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi
psikologi kehidupan individu (2013 : 221).
Pendapat Freedman (1981) tentang hubungan
masyarakat dengan individu yang diawali oleh pembentukan kesan pertama meski
dalam pertemuan sekejap; biasanya ditentukan oleh kepribadian orang yang diamati,
perilaku orang tersebut, dan latar belakang situasi/ waktu saat mengamati. Jika
berkesan, maka muncul persepsi diri sendiri yang berkaitan dengan sikap dan
perasaan, di mana keduanya bertalian dengan lingkungan atau mempengaruhi konsep
diri seseorang. Persepsi diri sendiri berasal dari perilaku yang jelas dan
persepsi diri terhadap lingkungan. Sikap muncul secara alami atau dikondisi atau
mempelajari dari tokoh/ model.
Selain pembentukan kesan dan persepsi
diri, motivasi juga menjadi salah satu aspek psikologi sosial. Pidarta (2013 :
224) menyatakan bahwa individu akan sulit berpartisipasi dalam masyarakat jika
tidak punya motivasi. Menurut Klinger, motivasi tersebut dipengaruhi oleh minat
dan kebutuhan, persepsi kesulitan akan tugas-tugas yang menantang, dan harapan
sukses.
Selanjutnya adalah aspek keintiman
hubungan sebagai lawan dari perilaku agresif. Altman dan Taylor (dalam Pidarta,
2013 : 225) menyebut lain keintiman sebagai penetrasi sosial di mana terjadi
perilaku antarpribadi yang diikuti perasaan subyektif. Hubungan intim misalnya
terjadi pada kasus ide atau kecemasan yang sama, dan lain-lain. Sementara lawan
dari keintiman atau perilaku agresif, justru menyakiti orang lain; biasanya
disebabkan oleh watak berkelahi, gangguan pihak lain, atau putus asa dalam
mencapai target. Walaupun watak agresif sulit diubah, Pidarta berpendapat bahwa
pendidikan yang kontinu dapat sedikit demi sedikit mengikisnya dari seorang
individu. Freedman (1981) membagi perilaku agresif dalam 3 kategori, yaitu :
agresif anti sosial (memaki, menampar), agresif prososial (menangkap pencuri,
mengeksekusi teroris), dan agresif sanksi (aksi bela diri).
Aspek selanjutnya yaitu tentang kasih
sayang (altruisme) yang berbentuk perilaku menolong orang lain tanpa pamrih.
Perilaku ini penting dimiliki setiap pendidik, sehingga tugasnya sudah benar
dalam mengabdikan dirinya pada peserta didik. Satu hal yang mengiringi kasih
sayang adalah kesepakatan/ kepatuhan yang akan membantu perencanaan dalam
pelaksanaan kerja tim. Lebih lanjut Pidarta (2013 : 229) menasihati agar tidak
mengesampingkan kemungkinan soal pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku seseorang.
Perbedaan alami dari tiap-tiap jenis kelamin dalam kemampuan atau pengalaman
dan sikap muncul akibat proses perkembangan perlu diperhatikan. Pendidik harus
mampu mengatur strategi dan metode belajar yang sesuai dalam membina anak dalam
perbedaan tersebut.
Akhir kata, aspek-aspek dalam psikologi
sosial mengenai talian individu dengan masyarakat meliputi pembentukan kesan,
persepsi diri, keintiman versus perilaku agresif, motivasi, kasih sayang dan
kesepakatan, hingga perbedaan jenis kelamin perlu dipahami pendidik yang
sungguh-sungguh ingin mengabdikan diri dalam proses pendidikan dalam
melaksanakan 3A terhadap peserta didik.
5.
Kesiapan
Belajar dan Aspek-Aspek Individu
Pengertian umum kesiapan belajar menurut
Pidarta adalah kemampuan seseorang untuk menapatkan keuntungan dari pengalaman
yang ditemukan; selagi kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran,
dan kualitas berpikir saat menghadapi situasi belajar yang baru (2013 : 229).
Kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual, latar belakang
pengalaman, dan cara-cara menyusun pengetahuan (Connel, 1974). Tambahan
pendapat Ausubel soal faktor terpenting dalam belajar adalah apa yang sudah
diketahui oleh individu.
Connel (1974) melanjutkan bahwa motivasi
atau kesiapan afeksi belajar di kelas bergantung kepada kekuatan motif atau
kebutuhan berprestasi, orientasinya, dan faktor situasional yang membangunkan
motivasi. Adapun motivasi pendorong agar berprestasi misalnya adalah mengejar
kompetensi, aktualisasi diri, dan usaha berprestasi (disebut McClelland sebagai
kebutuhan untuk berprestasi).
Aspek-aspek individu disebut Pidarta (2013
: 235) sebagai perlengkapan subyek didik atau peserta didik sebagai pusat dalam
proses pendidikan yang ala pedosentris, meliputi : watak (sifat bawaan lahir), IQ (kemampuan umum), bakat (kemampuan
khusus), kepribadian, dan latar belakang lingkungan (keluarga). Lalu meski setiap
individu bersifat unik, namun aspek keindividuan mereka tersusun dalam struktur
jiwa manusia yang sama, yaitu terbagi menjadi fungsi afeksi atau sikap, kognisi
atau pengetahuan, dan psikomotorik atau keterampilan.
6.
Pengertian
Psikologi Pendidikan
Menurut Sukmadinata (2016), psikologi
pendidikan termasuk cabang dari psikologi terapan, yang awalnya ia sebut
sebagai landasan psikologi dalam proses pendidikan. Atas dasar tersebut penulis
berpendapat bahwa psikologi pendidikan adalah studi yang mempelajari
perkembangan manusia, belajar, kesiapan belajar dan aspek-aspek individu,
hubungan individu dengan masyarakat dalam bidang pendidikan. Namun penulis
tetap menyajikan pendapat para ahli lain.
a. Rifa’i
dan Tri Anni (2010 : 1) menghartikan psikologi pendidikan sebagai kajian
tentang manusia belajar di latar pendidikan, efektivitas intervensi, psikologi
pembelajaran, dan psikologi sosial tentang sekolah sebagai organisasi. Artinya,
ilmu jiwa ini mengkhususkan diri pada cara memahami pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan.
b. Glover
dan Ronning (1987) mengartikan psikologi pendidikan sebagai penerapan
prinsip-prinsip dan metode psikologi untuk mengkaji perkembangan, belajar,
motivasi, pembelajaran, penilaian dan isu terkait lain yang mempengaruhi
interaksi belajar mengajar.
c. Huitt
(2001) menyatakan bahwa psikologi pendidikan adalah disiplin ilmiah untuk
memahami proses pembelajaran dan belajar yang terjadi di lingkungan formal dan
mengembangkan cara memperbaiki prosedur dan kegiatan belajar mengajar. Psikologi
pendidikan berkaitan dengan kajian teori belajar, metode pembelajaran,
motivasi, perkembangan kognitif, emosional dan moral, serta hubungan orangtua
dengan anak.
d. Sukmadinata
(2016 : 28) memaknai psikologi pendidikan sebagai ilmu yang mempelajari
penerapan dasar dan prinsip-prinsip, metode, teknik dan pendekatan psikologi,
untuk memahami dan memecahkan masalah dalam pendidikan. Fokus studi ini adalah
interaksi pendidikan untuk menningkatkan kemampuan peserta didik, dengan bantuan
sarana dan fasilitas tertentu yang berlangsung alam suatu lingkungan tertentu.
Dewey berpendapat bahwa anak akan merasa lebih
mudah jika dia belajar aktif dalam sistem pedosentris dengan memperkuat
kemampuan beradaptasi pada lingkungan, dan semua anak berhak mendapat
pendidikan yang layak. Thorndike berpendapat bahwa salah satu tugas pendidikan
di sekolah adalah menanamkan keahlian penalaran anak (dalam Rifa’i dan Tri
Anni, 2010 : 2-3).
Tentang psikologi pendidikan Rifa’i dan
Tri Anni (2010 : 3) menganggap pendidik sebagai agen pembelajaran. Pendidik adalah
jabatan profesional yang memberikan layanan ahli dengan syarat kemampuan secara
akademik, pedagogis, dan profesional untuk dapat diterima oleh pihak tempat
pendidik bertugas (yaitu anak/ peserta didik), baik penerima jasa layanan
secara langsung maupun pihak lain terhadap siapa pendidik bertanggungjawab. Penulis
tambahkan, para pendidik harus memiliki cukup modal dalam memahami psikologi
individu dan bagaimana pendidikan dilaksanakan dengan benar sesuai kebutuhan
individu penerimanya.
B.
MANFAAT
PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN
Sesungguhnya setiap orang membutuhkan kebutuhan dalam
psikologi, sebab seseorang dalam kehidupannya selalu menghadapi, bergaul, dan
bekerjasama dengan orang lain. Oleh karena itu, tujuan utama dari studi tentang
psikologi adalah agar seseorang mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang
individu, baik dirinya sendiri, maupun orang lain dan dengan hasil pemahaman
tersebut seseorang diharapkan dapat bertindak atau memberikan perlakuan yang
lebih bijaksana. Seseorang yang telah belajar psikologi diharapkan mampu
mengerti dirinya dan mampu mengerti orang lain serta dapat memberikan perlakuan
yang bijaksana.
Manfaat psikologi pendidikan dapat ditunjukkan dalam
empat komponen pokok dalam proses pendidikan, yaitu tujuan pembelajaran,
karakteristik peserta didik, proses belajar , strategi pembelajaran, dan
evaluasi pembelajaran.
1. Tujuan Pembelajaran
Sebelum menyelengarakan proses
pembelajaran, komponen utama yang dipikirkan adalah mengenai tujuan yang akan
dicapai oleh peserta didik. Peran utama pendidik dalam hal ini adalah membantu peserta
didik untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Psikologi pendidikan memberikan
kontribusi penting dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh pendidik dalam merumuskan
tujuan pembelajaran. Psikologi pendidikan memberikan bimbingan tentang cara-cara
merumuskan tujuan pembelajaran. Para pakar psikologi pendidikan menyatakan bahwa
tujuan pembelajaran hendaknya menyatakan apa yang peserta didik mampu lakukan dan
apa yang akan peserta didik itu lakukan jika mereka diberikan kesempatan.
2. Karakteristik
Peserta Didik
Pada waktu pendidik merumuskan
tujuan pembelajaran, mereka menggunakan gagasan dan informasi mengenai karakteristik
peserta didik. Karakteristik dan perilaku yang diperoleh peserta didik sebelum mengikuti
pembelajaran baru umumnya akan mempengaruhi kesiapan belajar dan cara-cara mereka
belajar. Dengan memperhatikan pengaruh itu, psikologi pendidikan memberikan kontribusi
dengan cara membantu pendidik memperhatikan karakteristik dan perilaku peserta
didik sebelum pembelajaran dimulai.
3. Proses
belajar
Pendidik dalam menyelenggarakan
pembelajaran dituntut memahami proses belajar
peserta didik. Masalah yang sering dihadapi oleh pendidik berkenaan dengan
proses belajar itu adalah ketika pendidik merancang prosedur pembelajaran dengan
memadukan cara-cara belajar peserta didik.
Pendidik harus memahami cara-cara
memotivasi peserta didik. Sementara masalah yang dihadapi oleh peserta didik adalah
cara-cara belajar dengan mudah dan sederhana. Para pakar psikologi percaya bahwa
berbagai materi pembelajaran yang dipelajari oleh peserta. Mempersyaratkan proses
belajar yang berbeda. Seperti halnya cara mempelajari konsep akan berbeda dengan
mempelajari fakta. Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh pendidik.
4. Strategi Pembelajaran
Jika tujuan pembelajaran,
karakteristik peserta didik, dan proses belajar telah didiskusikan oleh pendidik,
maka setiap pendidik juga dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai strategi
dalam pembelajaran. Para pakar psikologi pendidikan menyatakan bahwa pemilihan
strategi pembelajaran adalah sama pentingnya dengan unsur-unsur pembelajaran lainnya.
Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan prosedur membantu peserta didik bergerak
dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup di setiap pembelajaran,
sehingga peserta didik mencapai tujan pembelajaran.
5. Evaluasi Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran,
pendidik dituntut mampu melakukan penilalaian terhadap kegiatan belajar atau perolehan
hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Masalah yang dihadapi oleh pendidikan
adalah merancang prosedur untuk mengetahui peristiwa belajar yang dialami oleh peserta
didik. Sementara masalah yang dihadapi oleh peserta didik adalah cara yang
harus dilakukan untuk lulus ujian dan memperoleh nilai baik. Berkenaan dengan evaluasi
ini, psikologi pendidikan memberikan kontribusi tentang perumusan instrumen
evaluasi, pelaksanaan ujian, analisis hasil evaluasi, dan penafsiran hasil-hasil
evaluasi.
Psikologi
pendidikan memberikan manfaat dari berbagai aspek dalam pendidikan. Jadi
intinya, bahwa psikologi pendidikan membantu pendidik untuk memahami siswa
sebagai anak didiknya secara lebih dalam berdasarkan aspek keindividuan atau karakteristiknya,
tahap tumbuh kembangnya, perilaku dan juga tingkah laku. Kemudian secara emosionalnya,
psikologi pendidikan memberikan kontribusi agar pendidik mampu
memberlangsungkan proses pendidikan (belajar mengajar) yang tepat dan sesuai sehingga
menghasilkan proses pembelajaran yang efektif sekaligus efisien. Proses pendidikan
yang baik tersebut nantinya juga akan berdampak akhir berupa hasil yang
memuaskan. Siswa yang mendapatkan proses pembelajaran baik, selanjutnya akan menerapkan
pola-pola kebiasaan yang baik setelah dinyatakan lulus kemudian memasuki
kehidupan sosial (bermasyarakat) seperti masuk ke dalam organisasi keluarga dan
masyarakat. Dalam hubungan tersebut, individu yang awalnya hanya berbentuk anak
yang dididik dan dibina telah menjadi individu manusia yang dewasa dan matang
sehingga mampu menampilkan perilaku positif dalam setiap kehidupannya.
C.
IMPLIKASI
LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM DUNIA PENDIDIKAN (TERMASUK BAGI PAUD)
Pidarta (2013 : 200) menjelaskan bahwa
sebelumnya, para pendidik di masa lampau cenderung memisahkan pendidikan anak
laki-laki dengan anak perempuan agar sejalan dengan masa tertentu di saat
terjadinya pertentangan antara kelompok perempuan dengan lak-laki. Pemisahan
ini biasanya terjadi dilakukan di tingkat SMP. Tetapi hasil penelitian kemudian
menyatakan bahwa pendidikan terpisah ini dapat merugikan anak-anak sebab mereka
berkembang di luar kewajaran hidup manusia, yang menyebabkan pendidikan
terpisah ini dihentikan.
Pembahasan perkembangan anak oleh beberapa
ahli seperti Piaget yang secara khusus mengkaji aspek kognitif bermanfaat bagi
pendidikan dalam penyusunan materi pelajaran dan proses belajar yang berkaitan
dengan upaya mengembangkan kognisi anak. Untuk itu penulis sajikan beberapa
saran Piaget dalam pendidikan kaitannya dengan perkembangan kognitif anak
(Santrock, 2011 : 260-261) :
1. Gunakan
pendekatan konstruktif. Piaget menekankan bahwa anak-anak belajar dengan baik
ketika aktif dan mencari solusi secara mandiri.
2. Melakukan
pembelajaran filsafatif, bukan pembelajaran langsung. Guru mendesain situasi
yang membiarkan anak dapat belajar sambil bertindak.
3. Pertimbangkan
pengetahuan dan level pemikiran anak. Guru perlu paham apa yang dikatakan anak
dan merespon secara tidak terlampau jauh.
4. Gunakan
penilaian yang berkesinambungan, dengan metode apapun.
5. Tingkatkan
kesehatan intelektual siswa tanpa memaksa (menekan) anak untuk belajar terlalu
banyak/ dini sebelum mereka siap dan matang.
6. Tata
ruang kelas untuk bereksplorasi dan penemuan.
7. Dorong
interaksi antar anak selama belajar dan bermain karena perbedaan sudut pandang
justru berkontribusi terhadap kemajuan berpikir anak.
Perkembangan moral kajian Kohlberg juga
dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para pendidik dalam mengembangkan moral
anak. Begitu pula dengan perkembangan afeksi menurut Erikson, yang ikut
memudahkan pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak dan dalam mempengaruhi
afeksi orang dewasa dan orang-orang yang sudah tua (dengan mengikuti
tahap-tahap menurut Erikson). Maka kesimpulannya, semua pembahasan tentang
psikologi perkembangan yang disebut Pidarta sebagai teori perkembangan umum,
kognisi, dan afeksi dapatlah menjadi petunjuk yang berharga bagi pendidik dalam
mengoperasikan pendidikan sebagai upaya mengembangkan potensi anak sekaligus
membina anak-anak agar berkenan belajar dengan sukarela (2013 : 208, 239).
Berikutnya tentang implikasi psikologi
belajar dalam pendidikan yang diawali dengan teori klasik menuju teori yang
lebih modern. Rinciannya sebagai berikut :
1. Teori
belajar klasik disiplin mental hingga kini masih dimanfaatkan untuk pengajaran
menghapal perkalian dan melatih soal-soal. Tentu saja belum diberlakukan di
jenjang PAUD, melainkan dimulai di sekolah dasar kelas tingkat rendah.
Sementara prinsip naturalis/ aktualisasi diri masih menjadi prinsip pendidikan
di Indonesia, yaitu bermanfaat sebagai pendidikan yang seumur hidup, sejak
jenjang PAUD, dilanjutkan dengan pendidikan dasar menuju tahap pendidikan
aktual yang diinginkan masing-masing individu.
2. Teori
belajar behavioris yang hakikatnya terdiri atas teori pengkondisian
instrumental dan pengkondisian operan cocok untuk membentuk perilaku yang
nyata, seperti hidup teratur, mau menyumbang, rajin belajar, giat bekerja,
bersedia gotong royong, gemar berolahraga, dan sebagainya.
3. Teori
kognisi cocok untuk mempelajari materi pelajaran yang lebih rumit dan perlu pemahaman
untuk memecahkan masalah atau menyusun ide.
Bidang
psikologi sosial ikut berimplikasi terhadap konsep pendidikan sebab jalannya
proses pendidikan juga harus sejalan
dengan kontak sosial. Berikut ini yang penulis kaji dengan bantuan hasil
pemikiran Pidarta (2013 : 239-240) :
1. Persepsi
diri nyatanya bersumber dari perilaku overt
dan persepsi individu terhadap lingkungan dengan pengaruh dari sikap dan
perasaan. Maka agar anak memiliki konsep diri yang sesuai, pendidik perlu
membina perilaku overt anak dalam
memandang lingkungan dengan wajar bersama sikap dan perasaan yang positif. Jadi
anak telah berkembang dengan benar.
2. Karena
pembentukan sikap dapat muncul secara alami atau dikondisi atau meniru model,
maka pendidik perlu membentuk sikap positif anak dengan cara yang direncanakan
untuk dilakukan di waktu dan tempat yang tepat.
3. Sama
seperti sikap, pendidik juga perlu memotivasi anak di saat-saat yang
memungkinkan dengan cara : memenuhi minat dan kebutuhan, memberi tugas-tugas
baru yang menantang, dan menanamkan harapan yang sukses melalui sering
memberikan pengalaman sukses.
4. Pendidik
menciptakan kontak dan interaksi yang intim dalam konseling, pembimbingan,
belajar, atau bermain dalam hubungannya dengan anak.
5. Pendidik
perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi memancing yang prososial
dan sanksi. Pembendungan dapat melalui cara penanaman ketertiban (aturan main),
larangan tidak mengganggu sesama teman, dan berupaya agar anak-anak dipenuhi
dengan rasa pantang menyerah.
6. Pendidik
juga perlu melatihkan kepemimpinan pada anak guna menunjang kesuksesan belajar
bersama dan belajar hidup kooperatif saat dewasa.
Kesiapan
belajar secara afektif dan kognitif perlu pula dipahami oleh pendidik agar
materi yang diberikan dapat dipelajari dan diinternalisasikan baik oleh anak.
Kesiapan afeksi dikembangkan pendidik dengan cara memotivasi anak, sedangkan
kesiapan kognisi perlu dikaji oleh pendidik secara individual. Satu hal yang
tidak kalah penting untuk diperhatikan pendidik yaitu tentang aspek individu,
meliputi aspek rohani (agamis, perasaan, kemauan, pikiran, kemasyarakatan,
cinta kepada tanah air), dan jasmani (keterampilan, kesehatan, dan keindahan
tubuh).
Sebagai
simpulan, keseluruhan aspek psikologi yang wajib dipahami pendidik sebelum
melangsungkan proses pendidikan akan menelurkan landasan psikologi dalam proses
pendidikan (psikologi pendidikan). Landasan tersebut memiliki dua tujuan utama.
Pertama, agar para pendidik dan calonnya memahami dengan baik tentang situasi
pendidikan (meliputi interaksi pendidikan, lingkungan pendidikan, tujuan
pendidikan, dan bentuk pendidikan). Kedua, agar pendidik dan calonnya mampu
menyiapkan dan melaksanakan proses pendidikan (bimbingan sikap, pengajaran
pengetahuan, pelatihan keterampilan) terhadap peserta didik dengan lebih baik.
Dengan bekal tersebut, harapannya pendidik dapat membantu peserta ddik dalam
mencapai perkembangan potensi diri yang setinggi-tingginya.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Psikologi pendidikan adalah studi yang
mempelajari perkembangan manusia, belajar, kesiapan belajar dan aspek-aspek
individu, dan hubungan individu dengan masyarakat dalam bidang pendidikan. Dengan
mempelajari dan paham tentang psikologi pendidikan maka akan terselenggara proses
pendidikan yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang—yang akan momotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif dengan memberikan ruang yang cukup
untuk anak didik dalam berkreativitas, dan mengembangkan kemandirian anak sesuai
dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Psikologi pendidikan memiliki peranan yang
sangat penting dan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi
pendidikan anak usia dini. Dengan psikologi pendidikan, seorang pendidik PAUD
dapat merencanakan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam
menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia dini. Pendidik PAUD dapat mengetahui
tujuan dan strategi- strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
anak usia dini sehingga selanjutnya akan berlangsung proses belajar mengajar
yang sesuai dengan harapan tujuan.
B.
SARAN
Karena begitu pentingnya landasan
psikologis dalam dunia pendidikan, maka seluruh pendidikan PAUD diharapkan
mampu mempelajari dan memahami serta mengaplikasikan landasan tersebut dalam layanan
PAUD agar proses pendidikan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan PAUD yaitu
untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas yang tumbuh
dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan
yang optimal di dalam memasuki pendidikan
dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock,
Elizabeth. B,. (2011). Psikologi
Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta :
Erlangga
Khamidun.
(2012). Buku Ajar Metode Perkembangan
Moral dan Agama. Semarang : PG-PAUD FIP Unnes
Pidarta,
Made (2013). Landasan Kependidikan,
Stimulus llmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta
Rifa’i,
Achmad dan Catharina Tri Anni. (2010). Psikologi
Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LP3 Unnes
Santrock,
John. W,. (2011). Perkembangan Anak.
New York : McGraw-Hill
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (2016). Landasan Pskologi
Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Syah,
Muhibbin. (2014). Psikologi Pendidikan.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]