LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

 [Tugas Mata Kuliah Landasan Kependidikan]

 Disusun oleh  Yefie Virgiana  & Dwitirta Mayasari (virgiana15shy@gmail.com)

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.   LATAR BELAKANG

Manusia merupakan subyek dalam kehidupan, sebab sebagai makhluk Tuhan yang selalu melihat, bertanya, berpikir, dan tertarik mempelajari lingkungan atau hal-hal di luar dirinya. Manusia bahkan tertarik mempelajari hal-hal tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia ingin mengetahui keadaan diri sendiri, sehingga manusia dapat menjadi obyek studi bagi manusia lainnya.

Dasar pemahaman tersebut diambil dari cabang ilmu psikologi. Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia, pendapat tersebut dinyatakan oleh Pidarta (2013). Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan sekitar. Karena itu, jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia.

Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmaninya. Jiwa balita baru berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sangat sederhana. Makin besar anak itu, maka makin berkembang pula jiwanya. Kemudian dengan melalui tahapan tertentu, akhirnya anak itu akan mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.

Dalam perkembangan dua hal itulah anak belajar, di mana mereka peka untuk belajar, belum bekerja, belum berumahtangga ataupun bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarga. Tingkatan dalam masa belajar ini sejalan dengan fase-fase perkembangan mereka. Untuk itu, layanan pendidikan terhadap mereka harus pula dibuat bertingkat-tingkat agar pelajaran itu dapat dipahami oleh anak-anak.

Di lembaga pendidikan, anak belajar bersama guru atau pendidik. Dalam hal ini, tentu saja mereka dilayani oleh tenaga pendidik profesional agar tujuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat tercapai, yaitu anak belajar dalam suasana dan proses pemebelajaran yang mengarahkan agar mereka aktif mengembangkan potensi diri menjadi anggota masyarakat, bangsa, dan juga negara.

Untuk melaksanakan profesinya, tenaga pendidik sangat memerlukan ragam pengetahuan dan keterampilan keguruan yang memadai, dam harus sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains serta teknologi. Di antaranya, mereka harus paham mengenai pengetahuan psikologi, untuk kemudian mampu dan terampil menerapkannya dalam bentuk pendekatan yang sesuai dalam proses pendidikan.

Salah satu problematika PAUD dalam kancah nasional yaitu kurangnya kompetensi tenaga pendidik, di mana kompetensi tersebut seharusnya meliputi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Semua kompetensi penting ini harus dimiliki oleh tenaga pendidik. Pengetahuan tentang psikologi nyatanya termasuk dalam kompetensi profesional. Artinya tenaga pendidik PAUD perlu memiliki pemahaman tentang psikologi yaitu tentang perkembangan baik secara umum maupun khusus, belajar dan kesiapan belajar, dan aspek keindividuan anak. Kemudian jika kompetensi tersebut penuh dimiliki, maka pendidik PAUD mampu memberikan layanan pendidikan terhadap para peserta didik yaitu anak secara layak dan sesuai dengan aspek-aspek perkembangan anak.

Hal-hal tersebut menjadi dasar penyusunan makalah ini. Selanjutnya penulis akan membahas tentang psikologi sebagai salah satu asas penting dalam jalannya pendidikan sehingga muncul istilah landasan psikologi dalam proses pendidikan atau singkatnya disebut landasan psikologi pendidikan yang penulis kaji menjadi aspek penting untuk jalannya pendidikan pada jenjang usia dini atau PAUD.

 

B.   RUMUSAN MASALAH

1.     Bagaimana konsep psikologis dalam pendidikan?

2.     Apa saja manfaat psikologi dalam pendidikan ?

3.     Bagaimanakah implementasi psikologi dalam dunia pendidikan, termasuk bagi pendidikan pada jenjang usia dini (PAUD)?

 

C.   TUJUAN PENULISAN

1.     Mengetahui tentang konsep psikologi dalam pendidikan.

2.     Mengetahui manfaat psikologi dalam pendidikan.

3.     Mengetahui implementasi psikologi dalam dunia pendidikan, termasuk bagi pendidikan pada jenjang usia dini (PAUD).


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   KONSEP PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Bidang psikologi memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan. Alasannya adalah karena aspek-aspek psikologi seorang individu menjadi obyek yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Perlu diingat bahwa pendidikan paling awal terjadi di keluarga, kemudian berlanjut dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi, bukan guru di sekolah saja yang menjadi pendidik paham psikologi, sebab orangtua dan anggota masyarakat juga perlu memahaminya. Pemahaman tentang psikologi tersebut kemudian menjadi salah satu pedoman dalam praktik 3A, yaitu dalam mengasah mengasihi mengasuh anak atau si pembelajar.

Sebelum membahas aspek-aspek psikologi dalam pendidikan, baiknya dikaji terlebih dulu tentang aspek-aspek psikologi untuk kemudian dikaji keterkaitannya dengan pendidikan sehingga menghasilkan konsep psikologi pendidikan. 

1.     Pengertian Psikologi

Sebelumnya di bagian latar belakang sudah disebutkan bahwa psikologi disebut sebagai ilmu jiwa oleh Pidarta (2013). Namun, para ahli masa kini sepakat bahwa psikologi tidak boleh lagi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa, melainkan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku atau kegiatan individu. Makna baru tersebut timbul atas pertimbangan bahwa jiwa adalah hal yang sukar diamati secara langsung melalui metode penelitian ilmiah, sebab urusan jiwa adalah milik Tuhan di mana kita hanya diberi pengetahuan sedikit tentangnya. Pertimbangan lain adalah, mempelajari jiwa berarti hanya mempelajari sebagian dari individu saja, sehingga studi tersebut menjadi tidak lengkap (Sukmadinata, 2016 : 18).

Untuk itu, selanjutnya penulis sajikan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian dari psikologi sebagai cabang ilmu pengetahuan tersebut.

a.     Glover dan Ronning (1987) yang menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mengkaji perkembangan, perbedaan individu, pengukuran, belajar dan motivasi manusia.

b.     Dakir (1993), berpendapat bahwa psikologi hanya membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.

c.     Menurut Muhibin Syah (2001), psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup manusia baik yang individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.

d.     Nana Syaodih Sukmadinata (2016) menyatakan bahwa psikologi yaitu studi atau ilmu yang mempelajari kegiatan atau perilaku individu dalam interaksinya dengan lingkungan.

Kemudian dapat penulis simpulkan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam lingkungan tertentu. Individu tersebut tentu saja manusia yang lahir dengan karunia jiwa raga yang memungkinkan dirinya mampu berpikir, belajar dan berperilaku; di mana ketiga kegiatan tersebut terjadi dalam lingkungan pendidikan dan dapat dipelajari.

Selanjutnya mengenai ruang lingkup psikologi, telah dikategorikan oleh Sukmadinata menjadi bidang psikologi umum, psikologi khusus, dan psikologi terapan. Psikologi umum dan psikologi khusus sama-sama menjadi studi tentang perilaku individu. Psikologi umum secara umum mempelajari apa, mengapa, dan bagaimana individu berperilaku; sedangkan psikologi khusus mempelajari khusus aspek sorotannya. Psikologi terapan (applied psychology) adalah penerapan dari penggunaan ilmu pengetahuan, prinsip, kaidah, pendekatan, dan teknik psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah di bidang lain (2016, 23-28).

2.     Psikologi Perkembangan

Pendapat dari Pidarta (2013 : 196-197) yang menyatakan bahwa psikologi erat hubungannya dengan perkembangan (maka jadilah psikologi perkembangan) dan aspek individu; belajar (menjadi psikologi belajar) dan kesiapan belajar; dan aspek sosial (menjadi psikologi sosial). Sebelum Pidarta, beberapa ahli berhasil menelurkan teori-teori tentang psikologi perkembangan manusia (dengan kajian menyeluruh maupun khusus). Pendekatan perkembangan terjadi melalui tiga cara menurut Nana Syaodih (1988), yaitu pentahapan menganggap perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap tertentu; kemudian pendekatan diferensial yang memandang individu itu memiliki kesamaan dan perbedaan; dan pendekatan ipsatif yang mengkaji karakteristik perkembangan seseorang secara individual.

Pendekatan pentahapan adalah yang paling sering digunakan hingga kini, baik secara menyeluruh atau khusus. Secara menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan dalam menyusun tahap perkembangan, selagi cara khusus hanya mempertimbangan faktor tertentu sebagai dasar, misalnya pentahapan oleh Piaget, Vygotsky, Kohlberg, dan Erikson. Penulis tegaskan, bahwa studi psikologi perkembangan termasuk dalam psikologi khusus (Sukmadinata, 2016 : 24).

Cara menyeluruh yang paling terkenal yaitu Hurlock (1980) tentang tahap pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Hurlock mengkaji perubahan manusia sejak periode pranatal (sebelum lahir), masa baru lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, masa puber dan remaja, masa dewasa, masa usia madya, hingga masa usia lanjut. Namun tidak menutup kemungkinan jika fakta menunjukkan perkembangan anak yang menyimpang dari teorinya, sehingga muncul kritik dan rumusan teori yang lebih sesuai.

Pendapat lainnya, yaitu Rousseau (Pidarta, 2013 : 200) yang merumuskan lima periode perkembangan manusia. Tahap perkembangan pertama (masa bayi) pada usia 0 s.d 2 tahun, yang dihiasi oleh perkembangan fisik. Tahap kedua (masa anak) pada usia 2 s.d 12 tahun, laiknya manusia primitif. Kemudian masa pubertas pada usia 12 s.d 15 tahun, ditandai dengan berkembangnya pikiran dan kemauan berpetualang. Terakhir, masa adolesen pada usia 15 s.d 25 tahun, di saat seksual menonjol dan mulai hidup berbudaya (sosial, kata hati, moral individu).

Sementara itu Stanley Hall (Pidarta, 2013 : 201), penganut Teori Evolusi dan Teori Rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut :

a.     Masa kanak-kanak sebagai kehidupan binatang, usia 0 s.d 4 tahun

b.     Masa anak sebagai manusia pemburu, usia 4 s.d 8 tahun

c.     Masa muda sebagai manusia belum berbudaya, usia 8 s.d 12 tahun

d.     Masa adolesen sebagai manusia berbudaya, usia 12 tahun s.d dewasa

Havighurst juga menyusun fase-fase perkembangan manusia, yaitu dalam bentuk tugas perkembangan yang tampaknya disiapkan untuk pendidikan seumur hidup manusia (Pidarta, 2013 : 201-203). Tugas tersebut supaya dijalankan atau diselesaikan oleh setiap individu sepanjang hidupnya. Pidarta melanjutkan bahwa tugas tersebut nantinya berguna bagi pendidik di setiap jenjang pendidikan dalam menentukan arah pendidikan, menentukan metode/ model belajar agar anak-anak mampu menyelesaikan tugas perkembangan, menyiapkan materi dan pengalaman belajar yang sesuai dengan tugas perkembangan. Mulyani (1988) mengkaji teori tugas-tugas perkembangan Havighurst tersebut sebagai berikut :

a.     Tugas perkembangan masa kanak-kanak, berupa: belajar bicara, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelamin, stabilitas fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang lain, serta belajar membedakan yang benar atau salah.

b.     Tugas perkembangan masa anak, berupa : belajar keterampilan fisik untuk bermain, membentuk sikap diri, belajar bergaul rukun, belajar peran jenis kelamin, belajar keterampilan calistung, mengembangkan konsep kehidupan, membentuk kata hati dan moral/ nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok/ sosial.

c.     Tugas perkembangan masa remaja, berupa : membuat hubungan baru dan matang dengan teman dan kedua jenis kelamin, memperoleh peran sosial yang cocok dengan jenis kelamin, menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dan ketergantungan pada orang lain, memilih/ menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi, memersiapkan perkawinan dan hidup berkeluarga, mengembangkan skill dan konsep jadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab, memperoleh seperangkat nilai serta etika sebagai pedoman hidup.

d.     Tugas perkembangan masa dewasa awal, berupa : memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami isteri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan jabatan/ pekerjaan, belajar bertanggungjawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapakan sosial yang tepat.

e.     Tugas perkembangan masa setengah baya, berupa : bertanggungjawab menjadi warga negara baik, membangun dan mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja menjadi dewasa-bertanggungjawab-bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan tertentu, membina hubungan suami isteri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri, dan menyesuaikan diri dengan usia.

f.      Tugas perkembangan orangtua, berupa : menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pension, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membantun kehidupan fisik yang memuaskan.

Pembahasan psikologi perkembangan selanjutnya diarahkan pada hal-hal khusus dari aspek perkembangan tertentu manusia. Pertama, Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif dengan pemikiran bahwa fisik individu mempunyai struktur untuk beradaptasi dengan dunia, begitu pula dengan struktur mentalnya. Piaget menekankan bahwa anak secara aktif membangun dunia kognitif sendiri sebab informasi dari lingkungan tidak begitu saja tertuang ke dalam pikiran. Ia menemukan bagaimana anak rupanya mampu memandang dunia dan bagaimana perubahan yang sistematis terjadi dalam pikiran mereka (Santrock, 2011 : 243).

Menurut Piaget, kognitif individu berkembang selama empat tahap, yaitu dimulai sejak usia 0 s.d 2 tahun dengan gerak refleks sensorimotorik yang terbatas dan dilanjut periode praoperasional pada usia 2 s.d 7 tahun di mana intuisi anak berkembang pesat selagi analisis rasionalnya masih nol. Periode selanjutnya pada usia 7 s.d 11 tahun di mana anak sudah mampu berpikir logis, sistematis dalam memecahkan masalah operasi konkret seperti mengerjakan soal matematika. Usia selanjutnya yaitu 11 s.d 15 tahun dengan periode operasi formal saat anak mampu berpikir logis terhadap masalah abstrak sekalipun dengan ide yang realistis.

Ahli bernama Kohlberg mengembangkan teori moral dengan dasar kognisi Piaget. Menurutnya, moral kognisi manusia terbentuk melalui tiga tingkat, yaitu prakonvensional, konvensional, menuju post-konvensional (Pidarta, 2013 : 205). Khamidun (2012) menjelaskan bahwa tahap prakonvensional menjadi tingkat terendah dari penalaran individu, sebab anak menginterpretasikan sesuatu sebagai hal yang baik atau buruk melalui reward dan punishment dari luar. Tahap ini anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman menuju orientasi egois naïf. Penalaran konvensional terlihat saat individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditentukan orang lain. Anak berorientasi sebagai anak baik menuju orientasi mempertahankan aturan dan norma. Penalaran post-konvensional sebagai tingkat tertinggi telihat saat individu menyadari jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan lalu memutuskan atas dasar kode moral personal. Di sini anak berorientasi pada kontrak sosial yang legal menuju orientasi prinsip etika universal.

Dalam hal afeksi, Erikson (Pidarta, 2013 : 205-207) mencoba menyusun perkembangannya ke dalam 8 tahap di sepanjang umur hidup manusia.

a.     Bersahabat vs menolak pada usia 0 s.d 1 tahun

b.     Otonomi vs rasa malu pada usia 1 s.d 3 tahun

c.     Inisiatif vs perasaan bersalah pada usia 3 s.d 5 tahun

d.     Produktif vs rendah diri pada usia 6 s.d 11 tahun

e.     Identitas diri vs kebingungan pada usia 12 s.d 18 tahun

f.      Intim vs isolasi diri pada usia 19 s.d 25 tahun

g.     Generasi vs kesenangan pribadi pada usia 25 s.d 45 tahun

h.     Integritas vs putus asa pada usia 45  tahun ke atas

Selanjutnya konsep perkembangan terakhir, penulis kaji dari teori Gagne mengenai perkembangan kemampuan belajar (Pidarta, 2013 : 208) bahwa anak belajar secara multideskiriminasi atau membedakan stimuli, kemudian belajar konsep atau membuat respon sederhana, dilanjut belajar prinsip atau mempelajari prinsip/ aturan konsep, hingga belajar pemecahan masalah atau mencari sesuatu yang baru setelah mengombinasikan dua atau lebih prinsip.  

Penulis setuju dengan pemikiran Pidarta (2013) bahwa pembahasan rinci mengenai psikologi perkembangan dalam bentuk teori-teori perkembangan umum (kognisi-moral-afeksi) yang kemudian dipahami sungguh-sungguh oleh pendidik dapat menjadi petunjuk yang berharga dalam melaksanakan pendidikan.

3.     Psikologi Belajar

Belajar bagi Pidarta (2013) adalah perubahan perilaku yang relatif tetap dari hasil pengamatan (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat, kecelakaan). Melalui belajar, individu kemudian bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain atau mengkomunikasikan pada orang lain. Terdapat sejumlah prinsip belajar yang dirumuskan Gagne (1979), yaitu : kontiguitas, pengulangan agar lama diingat, dan penguatan respon; ketiganya menjadi faktor luar yang mendukung hasil belajar. Prinsip lain yaitu faktor intern yang dikembangkan oleh anak sendiri dalam arahan atau strategi mengajar, meliputi : motivasi positif dan kepercayaan diri, materi yang memadai, adanya upaya membangkitkan keterampilan intelektual (apersepsi pembelajaran), strategi tepat agar anak aktif, dan aspek jiwa anak.

Bicara soal psikologi belajar tentu akan membahas teori-teori belajar yang hingga kini telah berevolusi selama dua periode yaitu secara klasik dan modern (Pidarta, 2013 : 210-221). Teori belajar klasik meliputi disiplin mental theistik dari psikologi daya/ fakulti, disiplin mental humanistik dari Aristoteles dan Plato, teori naturalis/ aktualisasi diri dari Rousseau, dan teori belajar asosiasi Herbart. Dinyatakan Pidarta, bahwa meski teori belajar klasik umumnya sudah sangat lama namun untuk hal-hal tertentu masih bisa dipakai hingga saat ini. Buktinya dalam menghapal perkalian dan latihan soal-soal yang ternyata menggunakan disiplin mental; atau paham naturalis untuk dipakai dalam pendidikan luar sekolah. 

Meninggalkan teori belajar klasik, lantas muncul para ahli pencetus teori belajar modern yang terbagi dalam kelompok behavioris dan teori belajar kognisi. Teor behaviorisme hakikatnya terbagi menjadi menjadi dua yaitu pengkondisian instrumental (Thorndike, Watson) dan pengkondisian operan (Skinner, Hull). Dua teori tersebut sama-sama bermanfaat untuk mengembangkan tingkah laku yang nyata seperti hidup teratur, rajin belajar, mencuci tangan sebelum makan, bersedia gotong royong, gemar berolahraga; namun lemah untuk melatih logika.

Untuk itu hadir teori belajar kognisi yang memungkinkan si pembelajar untuk mempelajari materi rumit penuh pemahaman untuk memecahkan masalah atau menyusun ide. Teori tersebut dulu disusun oleh Bruner, Ausubel, Lewin. Kemudian pada abad terakhir ini muncul dua teori baru bernama teori belajar konstruktivisme dan teori belajar kuantum. Penulis anggap jika dua teori baru atas dasar penelitian tersebut telah berlaku di Indonesia, dengan adanya pendekatan saintifik dalam pembelajaran anak karena kedua teori baru tersebut membiasakan pembelajar laiknya ilmuwan yang kritis antusias dalam menghadapi pengetahuan dan informasi baru dari lingkungannya (Pidarta, 2013 : 210).

4.     Psikologi Sosial

Hollander (1981) menyatakan bahwa psikologi kategori ini mempelajari psikologi individu dalam masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. Dilanjutkan oleh Pidarta bahwa psikologi ini melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi psikologi kehidupan individu (2013 : 221).

Pendapat Freedman (1981) tentang hubungan masyarakat dengan individu yang diawali oleh pembentukan kesan pertama meski dalam pertemuan sekejap; biasanya ditentukan oleh kepribadian orang yang diamati, perilaku orang tersebut, dan latar belakang situasi/ waktu saat mengamati. Jika berkesan, maka muncul persepsi diri sendiri yang berkaitan dengan sikap dan perasaan, di mana keduanya bertalian dengan lingkungan atau mempengaruhi konsep diri seseorang. Persepsi diri sendiri berasal dari perilaku yang jelas dan persepsi diri terhadap lingkungan. Sikap muncul secara alami atau dikondisi atau mempelajari dari tokoh/ model.

Selain pembentukan kesan dan persepsi diri, motivasi juga menjadi salah satu aspek psikologi sosial. Pidarta (2013 : 224) menyatakan bahwa individu akan sulit berpartisipasi dalam masyarakat jika tidak punya motivasi. Menurut Klinger, motivasi tersebut dipengaruhi oleh minat dan kebutuhan, persepsi kesulitan akan tugas-tugas yang menantang, dan harapan sukses.

Selanjutnya adalah aspek keintiman hubungan sebagai lawan dari perilaku agresif. Altman dan Taylor (dalam Pidarta, 2013 : 225) menyebut lain keintiman sebagai penetrasi sosial di mana terjadi perilaku antarpribadi yang diikuti perasaan subyektif. Hubungan intim misalnya terjadi pada kasus ide atau kecemasan yang sama, dan lain-lain. Sementara lawan dari keintiman atau perilaku agresif, justru menyakiti orang lain; biasanya disebabkan oleh watak berkelahi, gangguan pihak lain, atau putus asa dalam mencapai target. Walaupun watak agresif sulit diubah, Pidarta berpendapat bahwa pendidikan yang kontinu dapat sedikit demi sedikit mengikisnya dari seorang individu. Freedman (1981) membagi perilaku agresif dalam 3 kategori, yaitu : agresif anti sosial (memaki, menampar), agresif prososial (menangkap pencuri, mengeksekusi teroris), dan agresif sanksi (aksi bela diri).

Aspek selanjutnya yaitu tentang kasih sayang (altruisme) yang berbentuk perilaku menolong orang lain tanpa pamrih. Perilaku ini penting dimiliki setiap pendidik, sehingga tugasnya sudah benar dalam mengabdikan dirinya pada peserta didik. Satu hal yang mengiringi kasih sayang adalah kesepakatan/ kepatuhan yang akan membantu perencanaan dalam pelaksanaan kerja tim. Lebih lanjut Pidarta (2013 : 229) menasihati agar tidak mengesampingkan kemungkinan soal pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku seseorang. Perbedaan alami dari tiap-tiap jenis kelamin dalam kemampuan atau pengalaman dan sikap muncul akibat proses perkembangan perlu diperhatikan. Pendidik harus mampu mengatur strategi dan metode belajar yang sesuai dalam membina anak dalam perbedaan tersebut.

Akhir kata, aspek-aspek dalam psikologi sosial mengenai talian individu dengan masyarakat meliputi pembentukan kesan, persepsi diri, keintiman versus perilaku agresif, motivasi, kasih sayang dan kesepakatan, hingga perbedaan jenis kelamin perlu dipahami pendidik yang sungguh-sungguh ingin mengabdikan diri dalam proses pendidikan dalam melaksanakan 3A terhadap peserta didik.

5.     Kesiapan Belajar dan Aspek-Aspek Individu

Pengertian umum kesiapan belajar menurut Pidarta adalah kemampuan seseorang untuk menapatkan keuntungan dari pengalaman yang ditemukan; selagi kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berpikir saat menghadapi situasi belajar yang baru (2013 : 229). Kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual, latar belakang pengalaman, dan cara-cara menyusun pengetahuan (Connel, 1974). Tambahan pendapat Ausubel soal faktor terpenting dalam belajar adalah apa yang sudah diketahui oleh individu.

Connel (1974) melanjutkan bahwa motivasi atau kesiapan afeksi belajar di kelas bergantung kepada kekuatan motif atau kebutuhan berprestasi, orientasinya, dan faktor situasional yang membangunkan motivasi. Adapun motivasi pendorong agar berprestasi misalnya adalah mengejar kompetensi, aktualisasi diri, dan usaha berprestasi (disebut McClelland sebagai kebutuhan untuk berprestasi).

Aspek-aspek individu disebut Pidarta (2013 : 235) sebagai perlengkapan subyek didik atau peserta didik sebagai pusat dalam proses pendidikan yang ala pedosentris, meliputi : watak (sifat bawaan lahir), IQ (kemampuan umum), bakat (kemampuan khusus), kepribadian, dan latar belakang lingkungan (keluarga). Lalu meski setiap individu bersifat unik, namun aspek keindividuan mereka tersusun dalam struktur jiwa manusia yang sama, yaitu terbagi menjadi fungsi afeksi atau sikap, kognisi atau pengetahuan, dan psikomotorik atau keterampilan.

6.     Pengertian Psikologi Pendidikan

Menurut Sukmadinata (2016), psikologi pendidikan termasuk cabang dari psikologi terapan, yang awalnya ia sebut sebagai landasan psikologi dalam proses pendidikan. Atas dasar tersebut penulis berpendapat bahwa psikologi pendidikan adalah studi yang mempelajari perkembangan manusia, belajar, kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, hubungan individu dengan masyarakat dalam bidang pendidikan. Namun penulis tetap menyajikan pendapat para ahli lain.

a.     Rifa’i dan Tri Anni (2010 : 1) menghartikan psikologi pendidikan sebagai kajian tentang manusia belajar di latar pendidikan, efektivitas intervensi, psikologi pembelajaran, dan psikologi sosial tentang sekolah sebagai organisasi. Artinya, ilmu jiwa ini mengkhususkan diri pada cara memahami pembelajaran dalam lingkungan pendidikan.

b.     Glover dan Ronning (1987) mengartikan psikologi pendidikan sebagai penerapan prinsip-prinsip dan metode psikologi untuk mengkaji perkembangan, belajar, motivasi, pembelajaran, penilaian dan isu terkait lain yang mempengaruhi interaksi belajar mengajar.

c.     Huitt (2001) menyatakan bahwa psikologi pendidikan adalah disiplin ilmiah untuk memahami proses pembelajaran dan belajar yang terjadi di lingkungan formal dan mengembangkan cara memperbaiki prosedur dan kegiatan belajar mengajar. Psikologi pendidikan berkaitan dengan kajian teori belajar, metode pembelajaran, motivasi, perkembangan kognitif, emosional dan moral, serta hubungan orangtua dengan anak.

d.     Sukmadinata (2016 : 28) memaknai psikologi pendidikan sebagai ilmu yang mempelajari penerapan dasar dan prinsip-prinsip, metode, teknik dan pendekatan psikologi, untuk memahami dan memecahkan masalah dalam pendidikan. Fokus studi ini adalah interaksi pendidikan untuk menningkatkan kemampuan peserta didik, dengan bantuan sarana dan fasilitas tertentu yang berlangsung alam suatu lingkungan tertentu.

Dewey berpendapat bahwa anak akan merasa lebih mudah jika dia belajar aktif dalam sistem pedosentris dengan memperkuat kemampuan beradaptasi pada lingkungan, dan semua anak berhak mendapat pendidikan yang layak. Thorndike berpendapat bahwa salah satu tugas pendidikan di sekolah adalah menanamkan keahlian penalaran anak (dalam Rifa’i dan Tri Anni, 2010 : 2-3).

Tentang psikologi pendidikan Rifa’i dan Tri Anni (2010 : 3) menganggap pendidik sebagai agen pembelajaran. Pendidik adalah jabatan profesional yang memberikan layanan ahli dengan syarat kemampuan secara akademik, pedagogis, dan profesional untuk dapat diterima oleh pihak tempat pendidik bertugas (yaitu anak/ peserta didik), baik penerima jasa layanan secara langsung maupun pihak lain terhadap siapa pendidik bertanggungjawab. Penulis tambahkan, para pendidik harus memiliki cukup modal dalam memahami psikologi individu dan bagaimana pendidikan dilaksanakan dengan benar sesuai kebutuhan individu penerimanya.

 

B.   MANFAAT PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN

Sesungguhnya setiap orang membutuhkan kebutuhan dalam psikologi, sebab seseorang dalam kehidupannya selalu menghadapi, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Oleh karena itu, tujuan utama dari studi tentang psikologi adalah agar seseorang mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang individu, baik dirinya sendiri, maupun orang lain dan dengan hasil pemahaman tersebut seseorang diharapkan dapat bertindak atau memberikan perlakuan yang lebih bijaksana. Seseorang yang telah belajar psikologi diharapkan mampu mengerti dirinya dan mampu mengerti orang lain serta dapat memberikan perlakuan yang bijaksana.

Manfaat psikologi pendidikan dapat ditunjukkan dalam empat komponen pokok dalam proses pendidikan, yaitu tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, proses belajar , strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

1.     Tujuan Pembelajaran

Sebelum menyelengarakan proses pembelajaran, komponen utama yang dipikirkan adalah mengenai tujuan yang akan dicapai oleh peserta didik. Peran utama pendidik dalam hal ini adalah membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Psikologi pendidikan memberikan kontribusi penting dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh pendidik dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Psikologi pendidikan memberikan bimbingan tentang cara-cara merumuskan tujuan pembelajaran. Para pakar psikologi pendidikan menyatakan bahwa tujuan pembelajaran hendaknya menyatakan apa yang peserta didik mampu lakukan dan apa yang akan peserta didik itu lakukan jika mereka diberikan kesempatan.

 

2.     Karakteristik Peserta Didik

Pada waktu pendidik merumuskan tujuan pembelajaran, mereka menggunakan gagasan dan informasi mengenai karakteristik peserta didik. Karakteristik dan perilaku yang diperoleh peserta didik sebelum mengikuti pembelajaran baru umumnya akan mempengaruhi kesiapan belajar dan cara-cara mereka belajar. Dengan memperhatikan pengaruh itu, psikologi pendidikan memberikan kontribusi dengan cara membantu pendidik memperhatikan karakteristik dan perilaku peserta didik sebelum pembelajaran dimulai.

3.     Proses belajar

Pendidik dalam menyelenggarakan pembelajaran dituntut memahami proses belajar  peserta didik. Masalah yang sering dihadapi oleh pendidik berkenaan dengan proses belajar itu adalah ketika pendidik merancang prosedur pembelajaran dengan memadukan cara-cara belajar peserta didik.

Pendidik harus memahami cara-cara memotivasi peserta didik. Sementara masalah yang dihadapi oleh peserta didik adalah cara-cara belajar dengan mudah dan sederhana. Para pakar psikologi percaya bahwa berbagai materi pembelajaran yang dipelajari oleh peserta. Mempersyaratkan proses belajar yang berbeda. Seperti halnya cara mempelajari konsep akan berbeda dengan mempelajari fakta. Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh pendidik.

4.     Strategi Pembelajaran

Jika tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan proses belajar telah didiskusikan oleh pendidik, maka setiap pendidik juga dituntut mampu memilih dan menggunakan berbagai strategi dalam pembelajaran. Para pakar psikologi pendidikan menyatakan bahwa pemilihan strategi pembelajaran adalah sama pentingnya dengan unsur-unsur pembelajaran lainnya. Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan prosedur membantu peserta didik bergerak dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup di setiap pembelajaran, sehingga peserta didik mencapai tujan pembelajaran.

5.     Evaluasi Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, pendidik dituntut mampu melakukan penilalaian terhadap kegiatan belajar atau perolehan hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Masalah yang dihadapi oleh pendidikan adalah merancang prosedur untuk mengetahui peristiwa belajar yang dialami oleh peserta didik. Sementara masalah yang dihadapi oleh peserta didik adalah cara yang harus dilakukan untuk lulus ujian dan memperoleh nilai baik. Berkenaan dengan evaluasi ini, psikologi pendidikan memberikan kontribusi tentang perumusan instrumen evaluasi, pelaksanaan ujian, analisis hasil evaluasi, dan penafsiran hasil-hasil evaluasi.

Psikologi pendidikan memberikan manfaat dari berbagai aspek dalam pendidikan. Jadi intinya, bahwa psikologi pendidikan membantu pendidik untuk memahami siswa sebagai anak didiknya secara lebih dalam berdasarkan aspek keindividuan atau karakteristiknya, tahap tumbuh kembangnya, perilaku dan juga tingkah laku. Kemudian secara emosionalnya, psikologi pendidikan memberikan kontribusi agar pendidik mampu memberlangsungkan proses pendidikan (belajar mengajar) yang tepat dan sesuai sehingga menghasilkan proses pembelajaran yang efektif sekaligus efisien. Proses pendidikan yang baik tersebut nantinya juga akan berdampak akhir berupa hasil yang memuaskan. Siswa yang mendapatkan proses pembelajaran baik, selanjutnya akan menerapkan pola-pola kebiasaan yang baik setelah dinyatakan lulus kemudian memasuki kehidupan sosial (bermasyarakat) seperti masuk ke dalam organisasi keluarga dan masyarakat. Dalam hubungan tersebut, individu yang awalnya hanya berbentuk anak yang dididik dan dibina telah menjadi individu manusia yang dewasa dan matang sehingga mampu menampilkan perilaku positif dalam setiap kehidupannya.

 

C.   IMPLIKASI LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM DUNIA PENDIDIKAN (TERMASUK BAGI PAUD)

Pidarta (2013 : 200) menjelaskan bahwa sebelumnya, para pendidik di masa lampau cenderung memisahkan pendidikan anak laki-laki dengan anak perempuan agar sejalan dengan masa tertentu di saat terjadinya pertentangan antara kelompok perempuan dengan lak-laki. Pemisahan ini biasanya terjadi dilakukan di tingkat SMP. Tetapi hasil penelitian kemudian menyatakan bahwa pendidikan terpisah ini dapat merugikan anak-anak sebab mereka berkembang di luar kewajaran hidup manusia, yang menyebabkan pendidikan terpisah ini dihentikan.

Pembahasan perkembangan anak oleh beberapa ahli seperti Piaget yang secara khusus mengkaji aspek kognitif bermanfaat bagi pendidikan dalam penyusunan materi pelajaran dan proses belajar yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kognisi anak. Untuk itu penulis sajikan beberapa saran Piaget dalam pendidikan kaitannya dengan perkembangan kognitif anak (Santrock, 2011 : 260-261) :

1.     Gunakan pendekatan konstruktif. Piaget menekankan bahwa anak-anak belajar dengan baik ketika aktif dan mencari solusi secara mandiri.

2.     Melakukan pembelajaran filsafatif, bukan pembelajaran langsung. Guru mendesain situasi yang membiarkan anak dapat belajar sambil bertindak.

3.     Pertimbangkan pengetahuan dan level pemikiran anak. Guru perlu paham apa yang dikatakan anak dan merespon secara tidak terlampau jauh.

4.     Gunakan penilaian yang berkesinambungan, dengan metode apapun.

5.     Tingkatkan kesehatan intelektual siswa tanpa memaksa (menekan) anak untuk belajar terlalu banyak/ dini sebelum mereka siap dan matang.

6.     Tata ruang kelas untuk bereksplorasi dan penemuan.

7.     Dorong interaksi antar anak selama belajar dan bermain karena perbedaan sudut pandang justru berkontribusi terhadap kemajuan berpikir anak.

Perkembangan moral kajian Kohlberg juga dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para pendidik dalam mengembangkan moral anak. Begitu pula dengan perkembangan afeksi menurut Erikson, yang ikut memudahkan pendidik dalam mengembangkan afeksi anak-anak dan dalam mempengaruhi afeksi orang dewasa dan orang-orang yang sudah tua (dengan mengikuti tahap-tahap menurut Erikson). Maka kesimpulannya, semua pembahasan tentang psikologi perkembangan yang disebut Pidarta sebagai teori perkembangan umum, kognisi, dan afeksi dapatlah menjadi petunjuk yang berharga bagi pendidik dalam mengoperasikan pendidikan sebagai upaya mengembangkan potensi anak sekaligus membina anak-anak agar berkenan belajar dengan sukarela (2013 : 208, 239).

Berikutnya tentang implikasi psikologi belajar dalam pendidikan yang diawali dengan teori klasik menuju teori yang lebih modern. Rinciannya sebagai berikut :

1.     Teori belajar klasik disiplin mental hingga kini masih dimanfaatkan untuk pengajaran menghapal perkalian dan melatih soal-soal. Tentu saja belum diberlakukan di jenjang PAUD, melainkan dimulai di sekolah dasar kelas tingkat rendah. Sementara prinsip naturalis/ aktualisasi diri masih menjadi prinsip pendidikan di Indonesia, yaitu bermanfaat sebagai pendidikan yang seumur hidup, sejak jenjang PAUD, dilanjutkan dengan pendidikan dasar menuju tahap pendidikan aktual yang diinginkan masing-masing individu.

2.     Teori belajar behavioris yang hakikatnya terdiri atas teori pengkondisian instrumental dan pengkondisian operan cocok untuk membentuk perilaku yang nyata, seperti hidup teratur, mau menyumbang, rajin belajar, giat bekerja, bersedia gotong royong, gemar berolahraga, dan sebagainya.

3.     Teori kognisi cocok untuk mempelajari materi pelajaran yang lebih rumit dan perlu pemahaman untuk memecahkan masalah atau menyusun ide.

Bidang psikologi sosial ikut berimplikasi terhadap konsep pendidikan sebab jalannya proses pendidikan juga  harus sejalan dengan kontak sosial. Berikut ini yang penulis kaji dengan bantuan hasil pemikiran Pidarta (2013 : 239-240) :

1.     Persepsi diri nyatanya bersumber dari perilaku overt dan persepsi individu terhadap lingkungan dengan pengaruh dari sikap dan perasaan. Maka agar anak memiliki konsep diri yang sesuai, pendidik perlu membina perilaku overt anak dalam memandang lingkungan dengan wajar bersama sikap dan perasaan yang positif. Jadi anak telah berkembang dengan benar.

2.     Karena pembentukan sikap dapat muncul secara alami atau dikondisi atau meniru model, maka pendidik perlu membentuk sikap positif anak dengan cara yang direncanakan untuk dilakukan di waktu dan tempat yang tepat.

3.     Sama seperti sikap, pendidik juga perlu memotivasi anak di saat-saat yang memungkinkan dengan cara : memenuhi minat dan kebutuhan, memberi tugas-tugas baru yang menantang, dan menanamkan harapan yang sukses melalui sering memberikan pengalaman sukses.

4.     Pendidik menciptakan kontak dan interaksi yang intim dalam konseling, pembimbingan, belajar, atau bermain dalam hubungannya dengan anak.

5.     Pendidik perlu membendung perilaku agresif anti sosial, tetapi memancing yang prososial dan sanksi. Pembendungan dapat melalui cara penanaman ketertiban (aturan main), larangan tidak mengganggu sesama teman, dan berupaya agar anak-anak dipenuhi dengan rasa pantang menyerah.

6.     Pendidik juga perlu melatihkan kepemimpinan pada anak guna menunjang kesuksesan belajar bersama dan belajar hidup kooperatif saat dewasa.

Kesiapan belajar secara afektif dan kognitif perlu pula dipahami oleh pendidik agar materi yang diberikan dapat dipelajari dan diinternalisasikan baik oleh anak. Kesiapan afeksi dikembangkan pendidik dengan cara memotivasi anak, sedangkan kesiapan kognisi perlu dikaji oleh pendidik secara individual. Satu hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan pendidik yaitu tentang aspek individu, meliputi aspek rohani (agamis, perasaan, kemauan, pikiran, kemasyarakatan, cinta kepada tanah air), dan jasmani (keterampilan, kesehatan, dan keindahan tubuh).

Sebagai simpulan, keseluruhan aspek psikologi yang wajib dipahami pendidik sebelum melangsungkan proses pendidikan akan menelurkan landasan psikologi dalam proses pendidikan (psikologi pendidikan). Landasan tersebut memiliki dua tujuan utama. Pertama, agar para pendidik dan calonnya memahami dengan baik tentang situasi pendidikan (meliputi interaksi pendidikan, lingkungan pendidikan, tujuan pendidikan, dan bentuk pendidikan). Kedua, agar pendidik dan calonnya mampu menyiapkan dan melaksanakan proses pendidikan (bimbingan sikap, pengajaran pengetahuan, pelatihan keterampilan) terhadap peserta didik dengan lebih baik. Dengan bekal tersebut, harapannya pendidik dapat membantu peserta ddik dalam mencapai perkembangan potensi diri yang setinggi-tingginya.

 

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

 

A.   SIMPULAN

Psikologi pendidikan adalah studi yang mempelajari perkembangan manusia, belajar, kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, dan hubungan individu dengan masyarakat dalam bidang pendidikan. Dengan mempelajari dan paham tentang psikologi pendidikan maka akan terselenggara proses pendidikan yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang—yang akan momotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dengan memberikan ruang yang cukup untuk anak didik dalam berkreativitas, dan mengembangkan kemandirian anak sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 

Psikologi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi pendidikan anak usia dini. Dengan psikologi pendidikan, seorang pendidik PAUD dapat merencanakan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia dini. Pendidik PAUD dapat mengetahui tujuan dan strategi- strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini sehingga selanjutnya akan berlangsung proses belajar mengajar yang sesuai dengan harapan tujuan.

 

B.   SARAN

Karena begitu pentingnya landasan psikologis dalam dunia pendidikan, maka seluruh pendidikan PAUD diharapkan mampu mempelajari dan memahami serta mengaplikasikan landasan tersebut dalam layanan PAUD agar proses pendidikan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan PAUD yaitu untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hurlock, Elizabeth. B,. (2011). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Khamidun. (2012). Buku Ajar Metode Perkembangan Moral dan Agama. Semarang : PG-PAUD FIP Unnes

Pidarta, Made (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus llmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta

Rifa’i, Achmad dan Catharina Tri Anni. (2010). Psikologi Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LP3 Unnes

Santrock, John. W,. (2011). Perkembangan Anak. New York : McGraw-Hill

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2016). Landasan Pskologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Syah, Muhibbin. (2014). Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANA PENDIDIKAN 20% DARI APBN & ABPD? BENARKAH?

AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN