DIAGRAM KEILMUAN PENDIDIKAN

Diagram Keilmuan Pendidikan

Dianalisis oleh Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)


Diagram Keilmuan Pendidikan



Deskripsi Diagram Keilmuan Pendidikan

1.     Hakikat Manusia

Munib (2010, 4-5) membahas beberapa pengertian tentang hakikat manusia dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan.

§  Kepustakaan Hindu (Ciwa) menyatakan bahwa atman manusia datang langsung dari Tuhan (Bathara Ciwa), sekaligus menjadi jelmaannya.

§  Kepustakaan Budha menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk sengsara, merupakan wadah dari the absolute dengan kehidupan penuh kegelapan, sehingga tak sanggup melihat kenyataan.

§  Socrates menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada budi yang memungkinkan untuk menentukan hikmah dan kebaikan.

§  Plato lebih menonjolkan peran pikir yang dapat melahirkan budi baik, dan dengan demikian hakikat manusia terletak pada hatinya.

§  Aristoteles menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada pikirnya tetapi perlu dilengkapi dengan hasil pengamatan indera.

§  Dari aliran humanistik dinyatakan bahwa hakikat manusia merupakan kemenyeluruhan dalam segala dimensinya.

§  Spinosa, hakikat manusia sama dengan hakikat Tuhan dan alam.

§  Notonegoro menyatakan bahwa manusia merupakan bentuk makhluk monodualistis antara jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan.

§  Ahli biologi cenderung melihat hakikat manusia dari segi fisik. Maka dari itu, Democritus menganggap manusia adalah atom.

§  Al Jammaly, manusia dan jagat pada hakikatnya adalah satu kesatuan.

§  Pancasila, manusia adalah monodualistik-monopluralistik; keselarasan, keserasian, keseimbangan; integralistik; kebersamaan dan kekeluargaan.

Maka dapat saya disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah kesatuan antara jiwa, raga, pikiran, dan hatinya. Selain itu, hakikat manusia juga kesatuan dirinya bersama Tuhan dan alam semesta di mana manusia itu berada.

Selanjutnya juga dijelaskan oleh Munib (2010 : 13-17) tentang manusia yang memiliki beberapa dimensi kemanusiaan, di antaranya : manusia sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius. Sebagai makhluk individu, manusia bersifat unik atau khas, dan berbeda satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, berarti bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup (lahir dan dibesarkan, tumbuh berkembang) tanpa bantuan orang laing. Paling tidak manusia perlu dibantu oleh orang-orang terdekatnya, yaitu orangtua dan keluarga. Manusia sebagai makhluk susila berarti mereka sadar nilai dan menjadi pengabdi bagi norma-norma (Noor Syam, 1983). Manusia juga mengetahui nilai-nilai dan mampu menilai (Morris and Pai, 1976). Sebagai makhluk religi, manusia sadar dan mengakui adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang supranatural, yang secara umum disebut Tuhan. Religi berarti kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan suatu agama tertentu.

Bersama keempat dimensi tersebut, manusia tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang lebih dewasa, lebih bersahabat, lebih cerdas dan bijaksana, serta lebih agamis. Namun sekali lagi ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dan dukungan dari luar dirinya. Adalah pendidikan yang dapat pula membantu dan mendukung manusia di seluruh dunia untuk hidup dan mencapai tujuan hidupnya. Pendidikan bagi Munib (2010 : 7) adalah bantuan dari manusia lain untuk mengembangkan potensi seorang manusia. Sementara itu Pidarta (2013) berpendapat bahwa pendidikan berupaya membudayakan manusia, dengan upaya yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan perkembangan manusia agar tumbuh dan berkembang menjadi insan yang semakin sempurna. Berdasarkan kedua pemikiran tersebut, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan akan mengembangkan potensi dari seorang manusia agar tumbuh dan berkembang menjadi insan yang semakin sempurna; itulah tujuan utama pendidikan.

Sebaiknya pendidikan diselenggarakan sesuai dengan konsep dasarnya, yaitu : harus berlangsung seumur hidup (life long education), tanggung jawab pendidikan menjadi tanggungan keluarga, masyarakat/ sekolah, dan pemerintah; bagi seorang manusia, pendidikan adalah keharusan demi mengembangkan kepribadian serta kemampuan dirinya (Munib, 2010 : 26-27). Pendidikan juga hanya berlaku bagi manusia, sebab manusia memang perlu dididik (melalui pendidikan). Untuk itu, manusia pada hakikatnya pasti terlibat di dalam pendidikan, sehingga nantinya muncul pihak yang disebut sebagai pendidik dan peserta didik.

 

2.     Tujuan Pendidikan

Pendidikan menyangkut seluruh aspek kepribadian manusia (hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan, dan keterampilan (Munib, 2010 : 27-28). Pendidikan akan mengolah hati manusia (mendidik), mengolah otak manusia (pengajaran), dan mengolah lidah dan tangan manusia (melatih). Ketika proses tersebut menjadi sebuah tujuan pendidikan yaitu mendidik, mengajar, dan melatih seorang manusia agar menjadi sosok yang beriman, cerdas, dan terampil.

Sementara itu Sukmadinata (2016 : 4) menyatakan bahwa tujuan pendidikan menyakut pada kepentingan peserta didik, kepentingan masyarakat, dan tuntutan lapangan pekerjaan, atau ketiga-tiganya sekaligus. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap, dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri peserta didik. Yang tidak kalah penting, perbuatan pendidikan selalu diarahkan kepada kemaslahatan dan kesejahteraan peserta didik dan masyarakat.

Perlu diketahui bahwa tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan tujuan pendidikan di negara lain, sesuai dengan dasar negara, falsafah hidup atau ideologi negara tersebut. Adapun tujuan pendidikan Indonesia atau yang disebut dengan tujuan nasional pendidikan saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Pada Pasal 13 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.

Pada pasal tersebut tersirat tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu untuk menciptakan Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS). Manusia tersebut adalah sosok manusia Indonesia ideal yang Pancasilais sehingga mampu menempatkan dimensi kemanusiaan (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religi) secara serasi, selaras, dan seimbang. Hingga kini harapan tersebut masih didambakan karena termasuk dalam rumusan kerangka besar pembangunan PAUD 2011-2025 dalam menciptakan AIH (Anak Indonesia Harapan) sebagai Kado 100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun 2045. Di tahun penciptaan rumusan tersebut, Dirjen PAUD (2011) menyatakan bahwa sosok Anak Indonesia Harapan adalah benih dari generasi Manusia Indonesia Seutuhnya.

Demi mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, diperlukan unsur-unsur yang terlibat di setiap kegiatan pendidikan, di samping beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prosesnya. Menurut Munib (2010 : 42), pendidikan diiringi unsur berikut : pendidik, peserta didik, tujuan, isi pendidikan, metode, dan lingkungan. Pendidik dan peserta didik menjadi dua pihak yang terlibat langsung dalam proses pendidikan dalam kegiatan saling memberi dan menerima informasi pendidikan, bahkan saat  ini keduanya bisa saling bertukar dan berbagi informasi.

Jadi dapat saya sarikan bahwa pendidikan dengan cara mendidik, mengajar, dan melatih bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi lebih dewasa dan mampu dalam kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan.

Tujuan adalah hasil apa yang ingin diraih melalui penyelenggaraan pendidikan dan biasanya didukung oleh isi pendidikan—segala sesuatu yang langsung dioper oleh pendidik kepada peserta didik dalam bentuk materi yang harus sesuai dengan tujuan pendidikan dan sesuai dengan peserta didik (Munib, 2010 : 50-51). Sebagai mahasiswa program studi PAUD, saya kaitkan hal tersebut dengan saran dari Morisson (2012) bahwa pendidik PAUD agar mengerti pentingnya setiap bidang pelajaran tentang perkembangan dan belajar anak; memperlihatkan keahlian dan pengetahuan inti untuk menciptakan lingkungan yang mendukung proses belajar; dan memperlihatkan pengetahuan dasar tentang dasar penelitian bidang pelajaran.

Metode berfungsi sebagai sarana mencapai tujuan. Dalam pendidikan, metode dipilih dengan mempertimbangkan tujuan dan kebutuhan peserta pendidikan itu sendiri. Untuk PAUD tentu saja harus menerapkan metode yang menyenangkan, menarik, dan sesuai dengan tugas perkembangan anak. Sementara itu lingkungan memegang peran sebagai pendukung atau justru menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Lingkungan tersebut meliputi: lingkungan sosial budaya, lingkungan fisik (teknik, bangunan, gedung, dsb), dan lingkungan alam (cuaca, iklim, dsb). Lingkungan yang mendukung dapat menjadi bahan ajar sesuai rencana pendidik.

 

3.     Pendidik

Pendidik atau agen pembelajaran (Rifa’i & Tri Anni, 2010 : 5) adalah jabatan pemberi layanan ahli yang mampu secara akademik, paedagogik, dan profesional. Pendidik menurut jabatannya akan menerima tanggung jawab mendidik dari tiga pihak, yaitu : orangtua, masyarakat, dan negara (pemerintah). Sebagaimana PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional dan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; kualifikasi dan kompetensi pendidik di jenjang PAUD diatur dalam Permendikbud No 137 Tahun 2014. Mereka ialah tenaga profesional dengan tugas merencanakan, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan, pelatihan, pengasuhan, dan perlindungan. Baik guru, dosen, atau pendidik PAUD, mereka harus memenuhi kualifikasi akademik; juga memiliki kompetensi paedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Sementara itu Sukmadinata (2016: 252-254) menyatakan bahwa pendidik atau guru memiliki peran sebagai pendidik dan pengajar, serta pembimbing.

Hubungannya dengan kompetensi paedagogik, Pidarta (2013) menyatakan jika pemahaman tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan kesiapan belajar serta aspek keindividuan berimplikasi terhadap pendidikan. Sukmadinata juga setuju bahwa pemahaman psikologi penting dimiliki pendidik dalam menjalankan proses pendidikan (2016: 21-22).

Kompetensi profesional erat hubungannya dengan kompetensi paedagogik, di dalam kemampuan menguasai materi pembelajaran hingga seluas-luasnya dalam membimbing peserta didik dan sesuai dengan standar yang diberlakukan. Dengan profesionalismenya, pendidik lalu berinovasi kreatif dalam memanfaatkan segala teknologi informasi, dan komunikasi dalam proses pendidikan. Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi bersama: peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/ wali peserta didik, atau msyarakat sekitar. Sementara itu kompetensi kepribadian berkaitan dengan performa diri sebagai pendidik yang berakhlak mulia, berpribadi mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta didik.

Simpulan dari saya, pendidik sebaiknya mampu memenuhi syarat kualifikasi akademik dan empat kompetensi untuk menunjang keprofesionalannya di dalam menjalankan tugasnya sebagai pembimbing, pengajar, serta pengembang potensi peserta didik. Dengan begitu, tujuan pendidikan akan tercapai maksimal. Selain itu, pendidik juga perlu memiliki unsur kewibawaan dan kewiyataan sebagai bukti bahwa dia adalah sosok dewasa yang matang dan siap mendidik peserta didik.

a.     Kewibawaan

Kewibawaan atau keluasan batin dalam mendidik merupakan alat yang digunakan pendidik untuk menjangkau (to touch) peserta didik dalam hubungan pendidikan. Hal tersebut mengarah pada kondisi high touch, pendidik menyentuh secara positif, konstruktif, dan komprehensif terhadap aspek kemanusiaan peserta didik yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik dalam suasana penuh dengan kehangatan, penerimaan, keterbukaan, ketulusan, penghargaan, kecintaan, empati, kepercayaan, pemahaman, dan penuh perhatian (Rogers, 1969: Gordon, 1974; Smith, 1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Yaitu dengan bahasa yang lembut dan tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).

Kewibawaan termasuk dalam kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Kewibawaan pendidik muncul jika pribadi dirinya telah matang atau menjadi makhluk individu yang dewasa. Sukmadinata (2016, 254-255) menyatakan pendidik boleh disebut dewasa, jika : (1) memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), (2) mampu melihat segala sesuatu secara obyektif dan bertindak sesuai obyektivitas tersebut, dan (3) sudah merdeka/ bebas dengan tetap bertanggungjawab. Kewibawaan pendidik juga terlihat dari segi fisik dan mental yang sehat serta terhindar dari berbagai macam penyakit. Kesehatan fisik juga berarti bahwa pendidik tidak memiliki cacat tubuh yang menonjol sebab dikhawatirkan dapat mendistraksi peserta didik selama pembelajaran. Kesehatan mental berkaitan dengan kompetensi kepribadian dan sosial pendidik dalam hal mampu menciptakan hubungan yang hangat, bersahabat, penuh kasih sayang, dan penuh pengertian terhadap para peserta didik. Sebagai contoh, pendidik memberi nasihat pada peserta didik di akhir pembelajaran tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh ikhlas dan sabar, bukannya menyombongkan diri dengan menceritakan pencapaian materi oleh kemampuan dirinya.

Terdapat tiga indikator kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan. Pendidik harus percaya bahwa dirinya mampu mendidik dan harus percaya bahwa peserta didik akan mampu mengembangkan diri sehingga dalam proses pembelajaran pendidik bertindak sebagai pembangkit potensi peserta didik. Kasih sayang mengandung penyerahan diri kepada yang disayangi—yaitu peserta didik jika di bidang pendidikan, dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan yang tidak merugikan, serta kesediaan untuk berkorban dalam pengabdian kerja. Sedangkan kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui : pengkajian ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, atau mengikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mampu melangsungkan inovasi pembelajaran.

b.     Kewiyataan (kasih sayang dana kelembutan)

Rahmat (2008) menjelaskan bahwa di dalam proses pembelajaran di kelas terjadi interaksi hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik dengan syarat: (1) sikap percaya, (2) sikap sportif,  dan (3) sikap terbuka. Ketiga sikap tersebut mengantar hubungan atau interaksi yang saling menghargai, menghormati yang akan bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.

Apabila telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta di antara pendidik dan perserta didik, maka akan timbul rasa percaya, sikap terbuka, saling menghormati dan menghargai. Dengan demikian kisah sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang diperoleh peserta didik merupakan bentuk bimbingan dari pendidik, yang akan merangsang mereka untuk bereaksi positif, tindakan kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam belajar mandiri.

 

4.     Peserta didik

Sesuai hakikatnya sebagai makhluk sosial, manusia adalah peserta didik yang dibantu oleh pendidik dengan prinsip 3A (diasah, diasihi, diasuh). Namun, peserta didik masa kini tidak lagi dianggap pasif dalam menerima informasi pendidikan. Telah berubah istilah teacher-centered learning menjadi yang student-centered, berarti bahwa pendidikan berpusat pada peserta didik sebagai pelaku aktif yang difasilitasi oleh pendidik. Pendekatan pembelajaran masa kini juga ikut berubah lebih konstruktif memancing peserta didik untuk membangun pemahaman melalui pengalaman dan kognisinya. Yang dimaksud tentu saja pendekatan saintifik yang berupaya membangun ide bebas berekspresi, daya khayal, dan krativitas dalam menyokong aspek perkembangan peserta didik. Penerapannya yaitu secara 5M : mengamati, menanya, mengumpulkan, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.

Setiap peserta didik dilahirkan dengan karunia aspek-aspek keindividuan yang dicap Pidarta (2013: 235) sebagai perlengkapan menjadi pusat proses pendidikan yang ala pedosentris, meliputi : watak (sifat bawaan), IQ (kemampuan umum), bakat (kemampuan khusus), kepribadian, dan latar belakang lingkungan keluarga. Meskipun setiap individu adalah unik, namun aspek keindividuan mereka tersusun dalam struktur jiwa manusia yang sama, yaitu terbagi menjadi fungsi afeksi atau sikap, kognisi atau pengetahuan, dan psikomotorik atau keterampilan.

Di PAUD Indonesia, peserta didik adalah anak usia dini yang oleh UUSPN No 20 Tahun 2003 digambarkan sebagai anak-anak berusia 0 s.d 6 tahun. Meski begitu, beberapa penelitian tentang anak usia dini dari beberapa negara mengukur jangkauan usia untuk anak-anak usia dini pada usia 0 s.d 8 tahun (Awalya, 2012 : 2). Bersama pendidik, peserta didik terlibat dalam situasi pendidikan yang di dalamnya terjadi kegiatan pembelajaran tentang beberapa materi dan dibantu landasan keilmuan yang mendukung.

 

5.     Situasi Pendidikan

Situasi pendidikan terdiri atas interaksi pendidikan dan bentuk pendidikan. Pendidikan pada dasarnya yaitu interaksi saling mempengaruh di antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan di dalam satu lingkungan pendidikan (Sukmadinata, 2016:2). Pendidikan berjalan dalam bentuk bimbingan, pengajaran, dan latihan. Bimbingan adalah upaya pendidikan yang fokus mengembangkan domain afektif (nilai, sikap, minat, emosi, apresiasi, dsb). Pengajaran fokus pada mengembangkan domain kognitif, selagi latihan pada domain psikomotorik. Saat membimbing, metode harus bersifat konsultatif, individual, teladan, atau metode lain yang mengandung hubungan bersahabat, akrab, dan dekat. Pengajaran terjadi dengan metode yang lebih formal, baik secara ekspositori atau diskaveri. Latihan lebih ditekankan pada drilling, repetisi, atau pembiasaan. Tiga bentuk pendidikan tersebut yang selanjutnya dijalankan dalam sebuah proses pembelajaran, yang di dalamnya terdapat interaksi di antara pendidik dan peserta didik.

a.     Mikro Paedagogik (high touch)

High touch berarti komitmen kemanusiaan yang kuat sebagai lawan dari istilah low touch. High touch sebagai mikro paedagogik, artinya dia juga menjadi bagian dari kompetensi paedagogik seorang pendidik. Umumnya disebut sebagai kewibawaan yang meliputi kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan mendidik. Pendidik percaya diri dalam mendidik dan membangkitkan potensi peserta didik dengan penuh kasih sayang dengan cara sedia berkorban dalam pengabdian kerja. Pendidik tidak boleh enggan mengembangkan kemampuan mendidiknya sehingga dia  mampu melangsungkan inovasi pembelajaran di hadapan peserta didik.

b.     Kegiatan Pembelajaran (high tech)

High tech berasal dari kosakata high technology yang berarti teknologi tinggi. Alat ini digunakan pendidik dalam hubungan interpersonal dengan peserta didik dengan didukung oleh sikap percaya, sikap sportif, dan sikap terbuka untuk  menciptakan hubungan belajar mengajar yang saling menghargai, menghormati penuh dengan rasa kasih sayang. Dengan begitu, high tech ini berkaitan dengan kewiyataan atau sikap penuh kasih sayang dan kelembutan.

6.     Landasan Keilmuan Pendukung

Saat menyelenggarakan proses pendidikan yang meliputi menddik, mengajar, dan melatih, pendidik memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan yang relevan. Namun sudah pasti jika para pendidik di seluruh jenjang pendidikan memerlukan ilmu psikologi (atau landasan psikologi pendidikan). hal tersebut diperkuat oleh pendapat para ahli berikut. Pidarta (2013) menyatakan bahwa pemahaman tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan kesiapan belajar serta aspek individu berimplikasi terhadap pendidikan. Kebanyakan implikasinya terlihat dalam kurikulum sebab materi belajar dan prosesnya harus serasi dengan psikologi peserta didik. Sukmadinata (2016:21-22) juga setuju bahwa pemahaman psikologi penting bagi pendidik dalam menjalankan proses pendidikan. Dalam hal memberikan layanan dan perlakuan yang tepat pada orang lain, perlu terlebih dulu memahami karakter, sifat, sikap, kemampuan, dan hal-hal yang melatarbelakangi perilaku orang yang dihadapi. Seseorang pembelajar psikologi diharapkan dapat dapat mengerti dirinya dan orang lain, juga mampu memberi perlakuan bijaksana.

Sebagai bukti, Edizer, dkk (2007) pernah meneliti 11 guru prasekolah di Turki tentang penerapan teori belajar konstruktivis. Timnya menemukan bahwa sampel guru paham teori tersebut dalam mengajak siswanya aktif dalam hal belajar secara penyajian-mengalami-penemuan. Namun mereka berpikir jika teori tersebut sulit diberlakukan sebab terjadi kekurangan bahan belajar selagi jumlah siswa per kelas tinggi. Mengesampingkan kelemahan sekolah di Turki tersebut, para guru sampel tahu tentang teori belajar konstruktivis (tentang metode, peran guru, peran siswa, penilaian, aktivitas belajar). Itu berarti bahwa guru perlu paham psikologi belajar.

Selanjutnya Sanyata (2012) yang menyatakan bahwa konseling akan berjalan efektif jika konselor tahu dan menguasai pendekatan teori dalam konseling untuk merubah pikiran, perasaan dan sikap klien. Konseling termasuk upaya mendidik, dalam merubah pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Di sini ilmu psikologi berperan sebagai petunjuk konselor dalam menjalankan tugas. Terdengar serupa dengan pemikiran Waluyo dan Latiana (2014) bahwa pendidik PAUD sebaiknya mampu menyusun-implementasi pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan dengan tujuan mengembangkan potensi anak agar lebih mandiri, kreatif, berani ambil risiko, kepemimpinan, kerja keras, orientasi pada aksi, jujur, disiplin, inovatif, tanggung jawab, kerjasama, persisten, komitmen, logis, penuh rasa ingin tahu, komunikatif, dan bermotivasi tinggi agar sukses. Maka kemampuan untuk susun-implementasi pembelajaran kewirausahaan akan dimiliki pendidik PAUD setelah paham tentang psikologi, yaitu menyesuaikan pembelajaran kewirausahaan yang sesuai dengan tugas perkembangan, kesiapan belajar dan sosial anak.

Selain ilmu psikologi, pendidik juga didukung oleh disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, para pendidik PAUD memerlukan ilmu PAUD dalam mengembangkan potensi anak usia dini di lembaga. Ilmu pada dasarnya membantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari, termasuk dalam hal mendidik anak (Suriasumantri, 2003 : 91). Maka di sanalah peran ilmu PAUD tersebut. Jika dijelajahi mendalam, ilmu PAUD berawal dari ilmu sosial (social sciences) yang bercabang menjadi cabang-cabang ilmu lain di mana dia dekat prinsipnya dengan ilmu psikologi yang merupakan cabang dari ilmu sosial. Adapun yang menjadi isi atau obyek material ilmu PAUD adalah hal-hal yang menjadi sasaran kajian baik yang konkret maupun abstrak. Obyek tersebut mencakup hal-hal dalam lingkup PAUD seperti anak usia dini (atau peserta didik input dan output), guru/ pendidik (harus kompeten dan profesional), tenaga/staf kependidikan, kurikulum, strategi/ metode/ pendekatan pembelajaran, evaluasi, manajemen sekolah, sarana prasana (di PAUD disebut dengan APE—Alat Permainan Edukatif), dsb.

Setelah meneliti obyek material ilmu PAUD tersebut, maka akan ditemukan cabang ilmu lain yang mendukung penyelenggaraan PAUD. Utamanya tentu ilmu psikologi yang berhubungan dengan anak, pendidik, dan kurikulum. Sementara itu dukungan ilmu lain datang dari : ilmu ekonomi untuk evaluasi, ilmu manajemen untuk mengelola lembaga, ilmu tata ruang untuk penataan sarana prasarana, ilmu kesehatan untuk mencegah-obati penyakit/ sakit—UKS, ilmu biologi untuk sentra bahan alam/ kegiatan kelas outdoor, ilmu tata boga untuk sentra memasak, ilmu kebahasaan untuk mengasah bahasa ekspresif dan reseptif, dan lain-lain. Dengan begitu, jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan memerlukan dukungan ilmu/ landasan keilmuan yang biasanya tidak hanya satu atau dua cabang saja.

 

Sumber Referensi :

Awalya. (2012). Benefits of Early Childhood Education for Personal Development And Children Social. Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies, [S.l.], v. 1, n. 2, nov. 2012. ISSN 2476-9584. doi: http://dx.doi.org/10.15294/ijeces.v1i2.9206.

Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025 (Penelitian). Jakarta : Kementerian Pendidikan Nasional

Edizer, Filiz Shine, et. al. (2007). Perceptions of Teacher towards Constructivism in Early Childhood Classroom in Southearstern Turkey. International Journal of Early Childhood Education Research Vol.1, No.2, 51-75

Kewibawaan dalam Pembelajaran. Diakses dari novamardianis.blogspot.com

Morisson, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta : PT INDEKS

Munib, Achmad., dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/ MKDK-LP3 Unnes

Permendikbud RI No. 137 Tahun 2014 Tentang Standar PAUD

Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Rakhmat, Jalaluddin. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Rifa’i, Achmad dan Catharina Tri Anni. (2010). Psikologi Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/ MKDK-LP3 Unnes

Sanyata, Sigit. (2012). Teori & Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling. Jurnal Paradigma,  No. 14 Th. VII, Juli 2012, ISSN 1907-297X

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2016). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Rosdakarya Offset

Suriasumantri, Jujun. S,. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Waluyo, Edi & Lita Latiana. (2014). Entrepreneurship Learning in Early Childhood Programs. Indonesian Journal of  Early Childhood Education Studies 3 (1) (2014) 59-64 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DANA PENDIDIKAN 20% DARI APBN & ABPD? BENARKAH?

AUD YANG BERETIKA DI ERA KEMAJUAN PERADABAN