DIAGRAM KEILMUAN PENDIDIKAN
Diagram Keilmuan
Pendidikan
Dianalisis oleh Yefie Virgiana (virgiana15shy@gmail.com)
Deskripsi Diagram Keilmuan Pendidikan
1. Hakikat Manusia
Munib (2010, 4-5) membahas beberapa pengertian
tentang hakikat manusia dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan.
§ Kepustakaan
Hindu (Ciwa) menyatakan bahwa atman
manusia datang langsung dari Tuhan (Bathara Ciwa), sekaligus menjadi jelmaannya.
§ Kepustakaan
Budha menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk sengsara, merupakan wadah dari
the absolute dengan kehidupan penuh
kegelapan, sehingga tak sanggup melihat kenyataan.
§ Socrates
menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada budi yang memungkinkan untuk
menentukan hikmah dan kebaikan.
§ Plato
lebih menonjolkan peran pikir yang dapat melahirkan budi baik, dan dengan
demikian hakikat manusia terletak pada hatinya.
§ Aristoteles
menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada pikirnya tetapi perlu dilengkapi
dengan hasil pengamatan indera.
§ Dari
aliran humanistik dinyatakan bahwa hakikat manusia merupakan kemenyeluruhan
dalam segala dimensinya.
§ Spinosa,
hakikat manusia sama dengan hakikat Tuhan dan alam.
§ Notonegoro
menyatakan bahwa manusia merupakan bentuk makhluk monodualistis antara jiwa dan
raga yang tidak dapat dipisahkan.
§ Ahli
biologi cenderung melihat hakikat manusia dari segi fisik. Maka dari itu,
Democritus menganggap manusia adalah atom.
§ Al
Jammaly, manusia dan jagat pada hakikatnya adalah satu kesatuan.
§ Pancasila,
manusia adalah monodualistik-monopluralistik; keselarasan, keserasian,
keseimbangan; integralistik; kebersamaan dan kekeluargaan.
Maka
dapat saya disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah kesatuan antara jiwa, raga,
pikiran, dan hatinya. Selain itu, hakikat manusia juga kesatuan dirinya bersama
Tuhan dan alam semesta di mana manusia itu berada.
Selanjutnya juga dijelaskan oleh Munib (2010
: 13-17) tentang manusia yang memiliki beberapa dimensi kemanusiaan, di
antaranya : manusia sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius.
Sebagai makhluk individu, manusia bersifat unik atau khas, dan berbeda satu
sama lain. Sebagai makhluk sosial, berarti bahwa tidak ada manusia yang mampu
hidup (lahir dan dibesarkan, tumbuh berkembang) tanpa bantuan orang laing.
Paling tidak manusia perlu dibantu oleh orang-orang terdekatnya, yaitu orangtua
dan keluarga. Manusia sebagai makhluk susila berarti mereka sadar nilai dan
menjadi pengabdi bagi norma-norma (Noor Syam, 1983). Manusia juga mengetahui
nilai-nilai dan mampu menilai (Morris and Pai, 1976). Sebagai makhluk religi,
manusia sadar dan mengakui adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang
supranatural, yang secara umum disebut Tuhan. Religi berarti kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan suatu agama tertentu.
Bersama keempat dimensi tersebut, manusia
tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang lebih dewasa, lebih bersahabat, lebih
cerdas dan bijaksana, serta lebih agamis. Namun sekali lagi ditegaskan bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dan dukungan dari
luar dirinya. Adalah pendidikan yang dapat pula membantu dan mendukung manusia
di seluruh dunia untuk hidup dan mencapai tujuan hidupnya. Pendidikan bagi
Munib (2010 : 7) adalah bantuan dari manusia lain untuk mengembangkan potensi
seorang manusia. Sementara
itu Pidarta (2013) berpendapat bahwa pendidikan berupaya membudayakan manusia, dengan
upaya yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan perkembangan manusia agar
tumbuh dan berkembang menjadi insan yang semakin sempurna. Berdasarkan kedua
pemikiran tersebut, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan akan mengembangkan
potensi dari seorang manusia agar tumbuh dan berkembang menjadi insan yang
semakin sempurna; itulah tujuan utama pendidikan.
Sebaiknya pendidikan diselenggarakan sesuai
dengan konsep dasarnya, yaitu : harus berlangsung seumur hidup (life long education), tanggung jawab
pendidikan menjadi tanggungan keluarga, masyarakat/ sekolah, dan pemerintah;
bagi seorang manusia, pendidikan adalah keharusan demi mengembangkan
kepribadian serta kemampuan dirinya (Munib, 2010 : 26-27). Pendidikan juga
hanya berlaku bagi manusia, sebab manusia memang perlu dididik (melalui
pendidikan). Untuk itu, manusia pada hakikatnya pasti terlibat di
dalam pendidikan, sehingga nantinya muncul pihak yang disebut sebagai pendidik
dan peserta didik.
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan
menyangkut seluruh aspek kepribadian manusia (hati nurani, nilai-nilai,
perasaan, pengetahuan, dan keterampilan (Munib, 2010 : 27-28). Pendidikan akan
mengolah hati manusia (mendidik), mengolah otak manusia (pengajaran), dan
mengolah lidah dan tangan manusia (melatih). Ketika proses tersebut menjadi
sebuah tujuan pendidikan yaitu mendidik, mengajar, dan melatih seorang manusia
agar menjadi sosok yang beriman, cerdas, dan terampil.
Sementara
itu Sukmadinata (2016 : 4) menyatakan bahwa tujuan pendidikan menyakut pada
kepentingan peserta didik, kepentingan masyarakat, dan tuntutan lapangan
pekerjaan, atau ketiga-tiganya sekaligus. Proses pendidikan terarah pada
peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan
sikap, dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri peserta
didik. Yang tidak kalah penting, perbuatan pendidikan selalu diarahkan kepada
kemaslahatan dan kesejahteraan peserta didik dan masyarakat.
Perlu
diketahui bahwa tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan tujuan
pendidikan di negara lain, sesuai dengan dasar negara, falsafah hidup atau
ideologi negara tersebut. Adapun tujuan pendidikan Indonesia atau yang disebut
dengan tujuan nasional pendidikan saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Pada Pasal 13 dinyatakan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab”.
Pada pasal
tersebut tersirat tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu untuk menciptakan
Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS). Manusia tersebut adalah sosok manusia Indonesia ideal yang
Pancasilais sehingga mampu menempatkan dimensi kemanusiaan (sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religi) secara serasi,
selaras, dan seimbang. Hingga kini harapan tersebut masih didambakan karena
termasuk dalam rumusan kerangka besar pembangunan PAUD 2011-2025 dalam menciptakan
AIH (Anak Indonesia Harapan) sebagai Kado 100 Tahun Indonesia Merdeka di tahun
2045. Di tahun penciptaan rumusan tersebut, Dirjen PAUD (2011) menyatakan bahwa
sosok Anak Indonesia Harapan adalah benih dari generasi Manusia Indonesia
Seutuhnya.
Demi mencapai
tujuan pendidikan nasional tersebut, diperlukan unsur-unsur yang terlibat di
setiap kegiatan pendidikan, di samping beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
prosesnya. Menurut
Munib (2010 : 42), pendidikan diiringi unsur berikut : pendidik, peserta didik,
tujuan, isi pendidikan, metode, dan lingkungan. Pendidik dan peserta didik
menjadi dua pihak yang terlibat langsung dalam proses pendidikan dalam kegiatan
saling memberi dan menerima informasi pendidikan, bahkan saat ini keduanya bisa saling bertukar dan berbagi
informasi.
Jadi dapat
saya sarikan bahwa pendidikan dengan cara mendidik, mengajar, dan melatih bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik menjadi lebih dewasa dan mampu dalam
kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan.
Tujuan
adalah hasil apa yang ingin diraih melalui penyelenggaraan pendidikan dan
biasanya didukung oleh isi pendidikan—segala sesuatu yang langsung dioper oleh
pendidik kepada peserta didik dalam bentuk materi yang harus sesuai dengan
tujuan pendidikan dan sesuai dengan peserta didik (Munib, 2010 : 50-51). Sebagai
mahasiswa program studi PAUD, saya kaitkan hal tersebut dengan saran
dari Morisson (2012) bahwa pendidik PAUD agar mengerti pentingnya setiap bidang
pelajaran tentang perkembangan dan belajar anak; memperlihatkan keahlian dan
pengetahuan inti untuk menciptakan lingkungan yang mendukung proses belajar;
dan memperlihatkan pengetahuan dasar tentang dasar penelitian bidang pelajaran.
Metode berfungsi sebagai sarana mencapai
tujuan. Dalam pendidikan, metode dipilih dengan mempertimbangkan tujuan dan
kebutuhan peserta pendidikan itu sendiri. Untuk PAUD tentu saja harus
menerapkan metode yang menyenangkan, menarik, dan sesuai dengan tugas perkembangan
anak. Sementara itu lingkungan memegang peran sebagai pendukung atau justru
menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Lingkungan tersebut meliputi:
lingkungan sosial budaya, lingkungan fisik (teknik, bangunan, gedung, dsb), dan
lingkungan alam (cuaca, iklim, dsb). Lingkungan yang mendukung dapat menjadi
bahan ajar sesuai rencana pendidik.
3. Pendidik
Pendidik atau
agen pembelajaran (Rifa’i & Tri Anni, 2010 : 5) adalah jabatan pemberi
layanan ahli yang mampu secara akademik, paedagogik, dan profesional. Pendidik
menurut jabatannya akan menerima tanggung jawab mendidik dari tiga pihak, yaitu
: orangtua, masyarakat, dan negara (pemerintah). Sebagaimana PP No 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional dan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
kualifikasi dan kompetensi pendidik di jenjang PAUD diatur dalam Permendikbud
No 137 Tahun 2014. Mereka ialah tenaga profesional dengan tugas merencanakan,
melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil pembelajaran, serta melakukan
pembimbingan, pelatihan, pengasuhan, dan perlindungan. Baik guru, dosen, atau
pendidik PAUD, mereka harus memenuhi kualifikasi akademik; juga memiliki
kompetensi paedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Sementara itu
Sukmadinata (2016: 252-254) menyatakan bahwa pendidik atau guru memiliki peran
sebagai pendidik dan pengajar, serta pembimbing.
Hubungannya dengan kompetensi paedagogik, Pidarta (2013) menyatakan
jika pemahaman tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi
sosial, dan kesiapan belajar serta aspek keindividuan berimplikasi terhadap
pendidikan. Sukmadinata juga setuju bahwa pemahaman psikologi penting dimiliki
pendidik dalam menjalankan proses pendidikan (2016: 21-22).
Kompetensi
profesional erat hubungannya dengan kompetensi paedagogik, di dalam kemampuan
menguasai materi pembelajaran hingga seluas-luasnya dalam membimbing peserta
didik dan sesuai dengan standar yang diberlakukan. Dengan profesionalismenya,
pendidik lalu berinovasi kreatif dalam memanfaatkan segala teknologi informasi,
dan komunikasi dalam proses pendidikan. Kompetensi sosial berkaitan dengan
kemampuan dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi bersama: peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/ wali peserta didik, atau
msyarakat sekitar. Sementara itu kompetensi kepribadian berkaitan dengan
performa diri sebagai pendidik yang berakhlak mulia, berpribadi mantap, stabil,
dewasa, arif, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta didik.
Simpulan
dari saya, pendidik sebaiknya mampu memenuhi syarat kualifikasi akademik dan
empat kompetensi untuk menunjang keprofesionalannya di dalam menjalankan
tugasnya sebagai pembimbing, pengajar, serta pengembang potensi peserta didik.
Dengan begitu, tujuan pendidikan akan tercapai maksimal. Selain itu, pendidik
juga perlu memiliki unsur kewibawaan dan kewiyataan sebagai bukti bahwa dia
adalah sosok dewasa yang matang dan siap mendidik peserta didik.
a. Kewibawaan
Kewibawaan
atau keluasan batin dalam mendidik merupakan alat yang digunakan pendidik untuk menjangkau (to touch) peserta didik dalam hubungan pendidikan. Hal tersebut
mengarah pada kondisi high touch,
pendidik menyentuh secara positif,
konstruktif, dan komprehensif terhadap aspek kemanusiaan peserta didik yaitu
memfasilitasi pengembangan peserta didik dalam suasana penuh dengan kehangatan,
penerimaan, keterbukaan, ketulusan, penghargaan, kecintaan, empati,
kepercayaan, pemahaman, dan penuh perhatian (Rogers, 1969: Gordon, 1974; Smith,
1978; Barry & King, 1993; Hendricks, 1994). Yaitu dengan bahasa yang lembut
dan tidak meledak-ledak (Silberman, 1970 dan Gordon, 1974).
Kewibawaan
termasuk dalam kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik. Kewibawaan pendidik muncul jika pribadi dirinya telah matang atau
menjadi makhluk individu yang dewasa. Sukmadinata (2016, 254-255) menyatakan
pendidik boleh disebut dewasa, jika : (1) memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), (2) mampu melihat
segala sesuatu secara obyektif dan bertindak sesuai obyektivitas tersebut, dan
(3) sudah merdeka/ bebas dengan tetap bertanggungjawab. Kewibawaan pendidik
juga terlihat dari segi fisik dan mental yang sehat serta terhindar dari
berbagai macam penyakit. Kesehatan fisik juga berarti bahwa pendidik tidak
memiliki cacat tubuh yang menonjol sebab dikhawatirkan dapat mendistraksi
peserta didik selama pembelajaran. Kesehatan mental berkaitan dengan kompetensi
kepribadian dan sosial pendidik dalam hal mampu menciptakan hubungan yang
hangat, bersahabat, penuh kasih sayang, dan penuh pengertian terhadap para
peserta didik. Sebagai contoh, pendidik memberi nasihat pada peserta didik di
akhir pembelajaran tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh ikhlas
dan sabar, bukannya menyombongkan diri dengan menceritakan pencapaian materi
oleh kemampuan dirinya.
Terdapat
tiga indikator kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan.
Pendidik harus percaya bahwa dirinya mampu mendidik dan harus percaya bahwa
peserta didik akan mampu mengembangkan diri sehingga dalam proses pembelajaran
pendidik bertindak sebagai pembangkit potensi peserta didik. Kasih sayang
mengandung penyerahan diri kepada yang disayangi—yaitu peserta didik jika di
bidang pendidikan, dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi
dalam batasan yang tidak merugikan, serta kesediaan untuk berkorban dalam
pengabdian kerja. Sedangkan kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui :
pengkajian ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman
kerja, atau mengikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mampu
melangsungkan inovasi pembelajaran.
b. Kewiyataan (kasih sayang dana kelembutan)
Rahmat
(2008) menjelaskan bahwa di dalam proses pembelajaran di kelas terjadi
interaksi hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola
kerjasama yang baik dengan syarat: (1) sikap percaya, (2) sikap sportif, dan (3) sikap terbuka. Ketiga sikap tersebut
mengantar hubungan atau interaksi yang saling menghargai, menghormati yang akan
bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara pendidik dan peserta didik
dalam proses pembelajaran.
Apabila
telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta di antara pendidik dan
perserta didik, maka akan timbul rasa percaya, sikap terbuka, saling
menghormati dan menghargai. Dengan demikian kisah sayang, kelembutan dan
suasana pembelajaran yang diperoleh peserta didik merupakan bentuk bimbingan
dari pendidik, yang akan merangsang mereka untuk bereaksi positif, tindakan
kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam belajar mandiri.
4. Peserta didik
Sesuai
hakikatnya sebagai makhluk sosial, manusia adalah peserta didik yang dibantu
oleh pendidik dengan prinsip 3A (diasah, diasihi, diasuh). Namun, peserta didik
masa kini tidak lagi dianggap pasif dalam menerima informasi pendidikan. Telah berubah
istilah teacher-centered learning menjadi
yang student-centered, berarti bahwa
pendidikan berpusat pada peserta didik sebagai pelaku aktif yang difasilitasi
oleh pendidik. Pendekatan pembelajaran masa kini juga ikut berubah lebih
konstruktif memancing peserta didik untuk membangun pemahaman melalui
pengalaman dan kognisinya. Yang dimaksud tentu saja pendekatan
saintifik yang berupaya membangun ide bebas berekspresi, daya khayal, dan
krativitas dalam menyokong aspek perkembangan peserta didik. Penerapannya yaitu
secara 5M : mengamati, menanya, mengumpulkan, mengasosiasi, dan
mengkomunikasikan.
Setiap peserta didik dilahirkan dengan
karunia aspek-aspek keindividuan yang dicap Pidarta (2013: 235) sebagai perlengkapan menjadi pusat proses
pendidikan yang ala pedosentris, meliputi : watak (sifat bawaan), IQ (kemampuan umum), bakat (kemampuan
khusus), kepribadian, dan latar belakang lingkungan keluarga. Meskipun setiap
individu adalah unik, namun aspek keindividuan mereka tersusun dalam struktur
jiwa manusia yang sama, yaitu terbagi menjadi fungsi afeksi atau sikap, kognisi
atau pengetahuan, dan psikomotorik atau keterampilan.
Di PAUD Indonesia, peserta didik adalah
anak usia dini yang oleh UUSPN No 20 Tahun 2003 digambarkan
sebagai anak-anak berusia 0 s.d 6 tahun. Meski begitu, beberapa penelitian
tentang anak usia dini dari beberapa negara mengukur jangkauan usia untuk
anak-anak usia dini pada usia 0 s.d 8 tahun (Awalya, 2012 : 2). Bersama
pendidik, peserta didik terlibat dalam situasi pendidikan yang di dalamnya terjadi
kegiatan pembelajaran tentang beberapa materi dan dibantu landasan keilmuan
yang mendukung.
5. Situasi Pendidikan
Situasi
pendidikan terdiri atas interaksi pendidikan dan bentuk pendidikan. Pendidikan
pada dasarnya yaitu interaksi saling mempengaruh di antara pendidik dengan
peserta didik untuk mencapai tujuan di dalam satu lingkungan pendidikan (Sukmadinata,
2016:2). Pendidikan berjalan dalam bentuk bimbingan, pengajaran, dan latihan.
Bimbingan adalah upaya pendidikan yang fokus mengembangkan domain afektif (nilai,
sikap, minat, emosi, apresiasi, dsb). Pengajaran fokus pada mengembangkan domain
kognitif, selagi latihan pada domain psikomotorik. Saat membimbing, metode harus
bersifat konsultatif, individual, teladan, atau metode lain yang mengandung
hubungan bersahabat, akrab, dan dekat. Pengajaran terjadi dengan metode yang
lebih formal, baik secara ekspositori atau diskaveri. Latihan lebih ditekankan
pada drilling, repetisi, atau
pembiasaan. Tiga bentuk pendidikan tersebut yang selanjutnya dijalankan dalam
sebuah proses pembelajaran, yang di
dalamnya terdapat interaksi di antara pendidik dan peserta didik.
a. Mikro Paedagogik (high touch)
High touch berarti komitmen kemanusiaan yang kuat
sebagai lawan dari istilah low touch. High
touch sebagai mikro paedagogik, artinya dia juga menjadi bagian dari
kompetensi paedagogik seorang pendidik. Umumnya disebut sebagai kewibawaan yang
meliputi kepercayaan, kasih sayang, dan kemampuan mendidik. Pendidik percaya
diri dalam mendidik dan membangkitkan potensi peserta didik dengan penuh kasih
sayang dengan cara sedia berkorban dalam pengabdian kerja. Pendidik tidak boleh
enggan mengembangkan kemampuan mendidiknya sehingga dia mampu melangsungkan inovasi pembelajaran di
hadapan peserta didik.
b. Kegiatan Pembelajaran (high tech)
High tech berasal dari kosakata high technology yang berarti teknologi tinggi. Alat ini digunakan
pendidik dalam hubungan interpersonal dengan peserta didik dengan didukung oleh
sikap percaya, sikap sportif, dan sikap terbuka untuk menciptakan hubungan belajar mengajar yang
saling menghargai, menghormati penuh dengan rasa kasih sayang. Dengan begitu, high tech ini berkaitan dengan
kewiyataan atau sikap penuh kasih sayang dan kelembutan.
6. Landasan Keilmuan Pendukung
Saat
menyelenggarakan proses pendidikan yang meliputi menddik, mengajar, dan
melatih, pendidik memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan yang relevan. Namun
sudah pasti jika para pendidik di seluruh jenjang pendidikan memerlukan ilmu
psikologi (atau landasan psikologi pendidikan). hal tersebut diperkuat oleh
pendapat para ahli berikut. Pidarta (2013) menyatakan bahwa pemahaman
tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, psikologi sosial, dan
kesiapan belajar serta aspek individu berimplikasi terhadap pendidikan.
Kebanyakan implikasinya terlihat dalam kurikulum sebab materi belajar dan
prosesnya harus serasi dengan psikologi peserta didik. Sukmadinata (2016:21-22)
juga setuju bahwa pemahaman psikologi penting bagi pendidik dalam menjalankan
proses pendidikan. Dalam hal memberikan layanan dan perlakuan yang tepat pada
orang lain, perlu terlebih dulu memahami karakter, sifat, sikap, kemampuan, dan
hal-hal yang melatarbelakangi perilaku orang yang dihadapi. Seseorang
pembelajar psikologi diharapkan dapat dapat mengerti dirinya dan orang lain,
juga mampu memberi perlakuan bijaksana.
Sebagai bukti, Edizer, dkk (2007) pernah meneliti 11 guru
prasekolah di Turki tentang penerapan teori belajar konstruktivis. Timnya
menemukan bahwa sampel guru paham teori tersebut dalam mengajak siswanya aktif
dalam hal belajar secara penyajian-mengalami-penemuan. Namun mereka berpikir
jika teori tersebut sulit diberlakukan sebab terjadi kekurangan bahan belajar
selagi jumlah siswa per kelas tinggi. Mengesampingkan kelemahan sekolah di
Turki tersebut, para guru sampel tahu tentang teori belajar konstruktivis (tentang
metode, peran guru, peran siswa, penilaian, aktivitas belajar). Itu berarti
bahwa guru perlu paham psikologi belajar.
Selanjutnya Sanyata (2012) yang menyatakan bahwa
konseling akan berjalan efektif jika konselor tahu dan menguasai pendekatan
teori dalam konseling untuk merubah pikiran, perasaan dan sikap klien. Konseling
termasuk upaya mendidik, dalam merubah pikiran, perasaan, dan perilaku orang
lain. Di sini ilmu psikologi berperan sebagai petunjuk konselor dalam
menjalankan tugas. Terdengar serupa dengan pemikiran Waluyo dan Latiana (2014) bahwa
pendidik PAUD sebaiknya mampu menyusun-implementasi pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan
dengan tujuan mengembangkan potensi anak agar lebih mandiri, kreatif, berani
ambil risiko, kepemimpinan, kerja keras, orientasi pada aksi, jujur, disiplin,
inovatif, tanggung jawab, kerjasama, persisten, komitmen, logis, penuh rasa
ingin tahu, komunikatif, dan bermotivasi tinggi agar sukses. Maka kemampuan
untuk susun-implementasi pembelajaran kewirausahaan akan dimiliki pendidik PAUD
setelah paham tentang psikologi, yaitu menyesuaikan pembelajaran kewirausahaan
yang sesuai dengan tugas perkembangan, kesiapan belajar dan sosial anak.
Selain ilmu psikologi, pendidik juga didukung oleh
disiplin ilmu lain. Sebagai
contoh, para pendidik PAUD memerlukan ilmu PAUD dalam mengembangkan potensi
anak usia dini di lembaga. Ilmu pada dasarnya
membantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari,
termasuk dalam hal mendidik anak (Suriasumantri, 2003 : 91). Maka di sanalah
peran ilmu PAUD tersebut. Jika dijelajahi mendalam, ilmu PAUD berawal dari ilmu
sosial (social sciences) yang
bercabang menjadi cabang-cabang ilmu lain di mana dia dekat prinsipnya dengan
ilmu psikologi yang merupakan cabang dari ilmu sosial. Adapun yang menjadi isi
atau obyek material ilmu
PAUD adalah hal-hal yang menjadi sasaran kajian baik yang konkret maupun
abstrak. Obyek tersebut mencakup hal-hal dalam lingkup PAUD seperti anak usia
dini (atau peserta didik input dan output), guru/ pendidik (harus kompeten
dan profesional), tenaga/staf kependidikan, kurikulum, strategi/ metode/
pendekatan pembelajaran, evaluasi, manajemen sekolah, sarana prasana (di PAUD
disebut dengan APE—Alat Permainan Edukatif), dsb.
Setelah meneliti
obyek material ilmu PAUD tersebut, maka akan ditemukan cabang ilmu lain yang
mendukung penyelenggaraan PAUD. Utamanya tentu ilmu psikologi yang berhubungan
dengan anak, pendidik, dan kurikulum. Sementara itu dukungan ilmu lain datang
dari : ilmu ekonomi untuk evaluasi, ilmu manajemen untuk mengelola lembaga,
ilmu tata ruang untuk penataan sarana prasarana, ilmu kesehatan untuk
mencegah-obati penyakit/ sakit—UKS, ilmu biologi untuk sentra bahan alam/
kegiatan kelas outdoor, ilmu tata
boga untuk sentra memasak, ilmu kebahasaan untuk mengasah bahasa ekspresif dan
reseptif, dan lain-lain. Dengan begitu, jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan
memerlukan dukungan ilmu/ landasan keilmuan yang biasanya tidak hanya satu atau
dua cabang saja.
Sumber Referensi :
Awalya. (2012). Benefits
of Early Childhood Education for Personal Development And Children Social.
Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies, [S.l.], v. 1, n.
2, nov. 2012. ISSN 2476-9584. doi: http://dx.doi.org/10.15294/ijeces.v1i2.9206.
Dirjen PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia 2011-2025 (Penelitian). Jakarta
: Kementerian Pendidikan Nasional
Edizer, Filiz Shine, et. al.
(2007). Perceptions of Teacher towards Constructivism
in Early Childhood Classroom in Southearstern Turkey. International Journal
of Early Childhood Education Research Vol.1, No.2, 51-75
Kewibawaan dalam Pembelajaran. Diakses dari novamardianis.blogspot.com
Morisson, George. S,. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Edisi Bahasa Indonesia).
Jakarta : PT INDEKS
Munib, Achmad., dkk. (2010). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : Pusat Pengembangan MKU/
MKDK-LP3 Unnes
Permendikbud RI No. 137 Tahun 2014
Tentang Standar PAUD
Pidarta, Made. (2013). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Rakhmat, Jalaluddin. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rifa’i, Achmad dan Catharina Tri Anni. (2010). Psikologi Pendidikan. Semarang : Pusat
Pengembangan MKU/ MKDK-LP3 Unnes
Sanyata, Sigit. (2012). Teori & Aplikasi Pendekatan
Behavioristik dalam Konseling. Jurnal Paradigma, No. 14 Th. VII, Juli 2012, ISSN 1907-297X
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2016).
Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung : PT Rosdakarya Offset
Suriasumantri,
Jujun. S,. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Waluyo, Edi & Lita Latiana. (2014). Entrepreneurship Learning in Early Childhood Programs. Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies 3 (1) (2014) 59-64
Komentar
Posting Komentar
[tetaplah sopan, bersahabat dan bijaksana]